Bab 12

231 59 23
                                    

Mobil yang gue tumpangi baru masuk halaman rumah Najaendra. Gugup banget rasanya, sampai kedua telapak tangan gue keringat dingin.

"Yok!" Najaendra bersiap keluar. Sedangkan gue masih mematung di tempat. Rasa cemas gue udah nggak tertolong lagi. Demi apapun, gue memang setakut ini berhadapan sama keluarga Najaendra.

"Kara?"

"Eh, iya. Ayo." Setengah hati, akhirnya gue keluar dari mobil. Menarik napas dalam-dalam, menyiapkan mental.

Najaendra berjalan mendekat, menggandeng tangan gue, tapi langsung gue lepas. Nggak tau, lebih ke sungkan aja sebenernya.

Ini pertama kali gue mau ketemu ibunda tercinta Najaend. Wajar kalau gue gerogi.

"Berantakan banget nggak sih?" Gue bercermin ke jendela kaca besar di samping pintu. Sedikit benerin tatanan rambut panjang gue biar lebih rapi.

Seharusnya gue minta pulang dulu, make over sesempurna mungkin biar terlihat cantik paripurna. Ah, tapi ya udah lah. Udah sampai sini juga.

"Nggak kok." Nana bantu rapihin rambut gue. Modus sih, emang dia aja suka ngelus-ngelus. "Cantik banget sih."

"Ssst! Na!" Gue singkirin tangan Nana dari kepala gue. Malu kalau dilihat calon mamer. Seenggaknya gue harus jaim di depan orang tuanya.

Ah! Gue baru sadar satu hal. Hari ini gue nggak mungkin manggil Najaendra cuma pakai nama panggilan. Jarak umur tujuh tahun, nggak etis banget manggil tanpa sebutan -kak. Tapi ... gue nggak pernah manggil dia pakai embel-embel -kak, -bang, -mas, -bli, apalagi -oppa.

"Kak." Tanpa sadar, mulut gue latihan manggil Nana dengan -kak.

Kening Najaendra langsung berkerut heran. "Hn? Apa? Manggil apa barusan?"

Gue cuma bisa nyengir malu, apalagi lihat ekspresi kaget Najaendra.

"Coba ulangi?!"

Ah, sial! Segini susahnya lidah gue buat manggil -Kak.

"Kak," jawab gue ragu.

"Iya, Dek."

"AAISHHH!!!" Gue auto geli dengar Nana balas manggil 'Dek', wich is gue belum pernah dengar dia manggil kayak gitu.

"NGGAK BISA! MERINDING GUE!" Anjir. Malah gue yang ngereog. Astaga! Mana gue nggak bisa sembarangan ngumpat di sini.

Gue pukulin lengan Nana kebawa kesel sendiri. Tapi dia makin ketawa lihat gue salah tingkah.

"Lagi dong!" Tangan Najaendra udah bertengger di kedua pipi gue. "Panggil Kak lagi coba," pintanya dengan senyum dan tatapan penuh harap.

"Na!" Seberusaha apapun gue meneleng kepala ke kanan, ke kiri biar bisa lepas, pipi gue makin diuyel sama Nana.

"Gemesin banget, mmh!" Remasan tangannya berakhir membetuk bibir gue yang sensual ini jadi monyong persis bibir ikan. Nggak tau lah, Najaendra seneng banget giniin gue.

"My favorite fish lips!" Mmuah. Muah. Mmuuahh!!!

Kedua mata gue melotot penuh.

"I wish I could kiss you longer than this," ujarnya tanpa beban setelah berhasil mencuri tiga ciuman singkat di bibir gue.

Berani-beraninya, padahal ada orang tua dia di dalam sana. Gue malah nge-freeze, cuma bisa diam, ngang ngong ngang ngong like a stupid.

"Ayok ah! Jangan bengong, nanti kesurupan gimana."

HEY!!! AGATHIAS NAJAENDRA!
YANG BIKIN SAYA KESURUPAN NGEREOG ITU YA ANDA! PAHAM NGGAK SIH, PAK? TOLONG KERJASAMA-NYA!

Gue digandeng masuk ke dalam rumah. Rumah Najaend yang super besar ini, jauh banget dibanding rumah gue. Dua ruangannya hampir seukuran satu rumah gue.

NAJAENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang