𝐈

585 53 8
                                    

Happy reading, sweetie ♥︎
║▌│█║▌│ █║▌│█│║▌║
➫ ˗ˏˋ꒰ vote and comment, please. ꒱

Takdir memang tak dapat diprediksi, banyak misteri dibalik berjalannya takdir. Bagai kanvas putih yang tergores kuas, begitulah umpama takdir berjalan dengan mengisi lembar demi lembar kehidupan tiap hari.

Senja ini terasa begitu sempurna. Taman yang biasanya ramai kini menjadi sepi, hanya terdapat anak-anak yang bermain serta muda-mudi yang dimabuk asmara. Orang-orang berusia senja yang turut menikmati hari hanya duduk termenung menatap matahari, bernostalgia dan tenggelam dalam dunia renung.

Goresan pensil pada buku berkertas tebal terdengar walau samar, sesekali jemari sawo matang menyusupkan anak surai yang berjatuhan ditelinga yang tersumpal headset. Lagu yang populer pada masanya ia dengarkan sembari sesekali bersenandung mengikuti irama.

"Boleh aku duduk disini?" Suara seorang perempuan menginterupsi.

Si sawo matang lantas melepas headset kemudian mengangkat kepalanya, menampilkan manik legam besar khas ras Mongoloid. Bibir polos menarik senyum lebar yang terkesan ramah, dengan ceria ia mempersilakan perempuan tadi untuk duduk disampingnya.

"Hai! Aku (fullname), kau bisa panggil aku (name). Dan kau?" (Name) buka suara.

"Mikasa Ackerman, dan yang duduk di kursi roda ini sepupu jauhku, Levi Ackerman," jemari pucat Mikasa terangkat bermaksud untuk berjabat tangan, dan dengan senang hati dibalas oleh (name).

"Kulit putih pucat, kau pasti bukan orang Indonesia. Iya, kan?" Terka (name).

Mikasa terkekeh dibuatnya, "kau benar. Aku sebenarnya berasal dari Jepang, tapi aku dipaksa pindah kemari dan berakhir menetap disini bersama paman dan sepupu cebol ku ini."

Mikasa melirik Levi, pria bersurai undercut yang duduk dikursi roda karena dua tulang kaki yang patah dengan tatapan puas. Levi terlihat mencoba menahan amarahnya dan hanya memandang Mikasa sinis, sementara Mikasa yang ditatap sinis, balik menatap tajam pada si undercut.

Bila digambarkan, mungkin ada kilatan petir imajiner yang menghiasi tatapan sengit mereka berdua.

(Name) sendiri mencoba untuk menahan tawa melihat keakraban kedua sepupu ini yang bagai kucing dan tikus. Apalagi wajah Levi yang nampak kesal ketika ia diejek cebol oleh Mikasa. Jujur, itu menjadi hiburan tersendiri untuk (name).

'lanjutkan drama kalian! Ayo berkelahi!' seru (name) dalam hati.

Namun nyatanya ekspetasi tak sesuai realita. Perkelahian serta drama yang diharapkan oleh surai (h/c) tak terjadi sebab Levi yang memilih memalingkan wajah kesal, tanda ia mengalah.

Desah kecewa tak dapat (name) tahan, membuat Levi meliriknya tajam, mengetahui maksud dari desah kecewa yang dikeluarkan (name). Levi hanya menghela nafas berat, manik arangnya mengerling ke Mikasa yang menatapnya tajam.

"Oi bocah," panggil Levi dan hanya dibalas kernyitan oleh Mikasa.

"Belikan aku teh hitam, cepat," Levi menyodorkan beberapa lembar uang sembari membuang wajahnya.

Perintah itu mendapat tatapan tajam dari Mikasa, seolah tatapan itu dapat membunuh siapapun yang ditargetkan. Tak banyak bicara, Mikasa lantas menyambar uang tersebut dan pergi untuk membeli teh hitam pesanan sepupu pendeknya.

Keadaan hening setelahnya, (name) kembali sibuk dengan buku gambar serta pensil di tangannya, sesekali melirik kedepan sembari mengangguk pelan dan bergumam. Levi sendiri hanya diam dan menatap langit sembari merutuki Mikasa yang meninggalkannya di taman bersama seorang perempuan asing.

Tak lama suara buku tertutup membuat Levi melirik, terlihat (name) yang memasukkan buku serta pensil dan penghapusnya kedalam totebag cream bergambar panel manga. Hening lagi setelahnya, kedua orang itu tak berniat membuka suara untuk sekedar menyapa ataupun membuka topik percakapan.

Suara anak-anak yang berlarian tak jelas sedikit mengganggu kegiatan Levi yang memandangi langit sembari bernostalgia kala bersama kawan-kawannya di Jepang. Ia bohong kalau bilang tak rindu dengan kawan-kawannya.

"Levi tertarik dengan langit ya?" Suara (name) yang memecah hening membuat Levi mengerling tajam pada si surai (h/c).

"Katakan saja begitu, tapi aku lebih tertarik membuat mu bungkam dengan sepatuku," balasan sinis Levi tak mempan pada (name). (Name) hanya tertawa terbahak mendengar balasan sinis Levi yang terdengar menggelikan di telinganya. "Langit memang selalu membuat seseorang tertarik. Warnanya yang menenangkan dan segala misteri dibalik langit terkadang membuatku menatapnya berjam-jam," ujar (name) sembari terkekeh.

"Apalagi kalau langit senja ini. Aku jadi bernostalgia saat masa SMP sewaktu perjalanan karya wisata di dalam bis. Tol yang panjang dengan pemandangan senja, matahari terasa begitu indah dengan balutan awan tipis disekitarnya. Saat itu aku mengaguminya dengan camilan di tanganku dan lagu opening Ousama Ranking, aku yakin kau pasti tahu lagu berjudul Oz milik Yama, aku bahkan masih mendengarkan lagunya sampai sekarang, merindukan suasana saat itu," sambung (name).

Levi tak menanggapi ocehan (name) dan hanya mendengarkan saja. Walaupun tangannya sudah gatal untuk menyumpal mulut itu dengan rerumputan, namun disisi lain Levi juga menikmati suara yang tak terdengar feminim itu.

Dari cerita (name), Levi juga turut bernostalgia masa-masa bersama kekasihnya. Kenangan manis ketika bergandeng tangan sembari menyusuri jalanan taman, menyapa beberapa orang, menikmati teh bersama dibawah cahaya senja. Ahh, Levi jadi ingin mengunjungi kekasihnya sekarang.

"Dan ku tebak, kau pasti menggambar suasana didalam bis di buku gambarmu itu," tebak Levi.

"Gah, penerawang!"

"Hanya menebak, bodoh."

(Name) tertawa terbahak sebelahnya, wajah Levi menjadi masam mendengar tawa menggelegar disampingnya.

Setelah tawa mereda, (name) kamudian menarik resleting totebag miliknya agar tas cream itu tertutup. Sedikit membenahi tali sepatunya yang terasa agak melonggar juga membenahi tata surai pendeknya, (name) kemudian berdiri. Menepuk-nepuk kulot jeans hitam yang ia sendiri yakin bahwa celana itu tidaklah kotor, kemudian mengangkat totebag miliknya.

"Yah, ku rasa hanya sampai sini perbincangan kita. Hampir pukul lima sore," ucap (name) sembari menyugar surai (h/c)nya.

"Ya, lebih baik kau pulang sana," balas Levi ketus.

"Kau terlalu judes, kalau mau temui aku, kembali saja ke taman ini besok sambil membawa lima kotak ayam goreng. Aku selalu berada di taman dari pukul dua hingga lima. Adieu!"

(Name) mulai melangkah pergi dengan tangan yang memasang kembali headset.

"Oi!" Seruan itu membuat (name) menoleh.

"Apa?" Balasnya yang ditanggapi kernyitan.

"Aku tidak memanggil mu aneh, aku memanggil Mikasa, bodoh."

"Sialan kau cebol tampan! Lain kali ku balas kau!"

Setelah berucap demikian, (name) kembali melanjutkan langkahnya dengan tangan yang menutup wajahnya. Ia malu sampai ke sum-sum tulang belakang! Bahkan wajahnya pasti sudah merona hebat saking malunya.

Hingga beberapa kali menabrak orang dan tiang listrik, (name) bahkan tak menyingkirkan tangannya pada wajah, membuat Levi terkekeh pelan dan berakhir dipukul Mikasa dengan ranting kayu.

"Siapa kau?! Kembalikan cebol ketus itu!" Seru Mikasa sembari menatap tajam.

𖥻 𝗘𝗡𝗖𝗛𝗔𝗡𝗧𝗘𝗗 ✦ レヴィアッカーマンWhere stories live. Discover now