Ketidakmungkinan

88 13 19
                                    





***





"Aku ingin menjadi tentara angkatan udara."

"Wah! Cita-cita yang sangat hebat! Apa alasannya?"

"Karena aku ingin terbang."

Kedua sudut bibirku tertarik ke atas usai mengingat kembali ingatan masa kecilku yang benar-benar simpel. Namun ... angkatan udara, eh? Seharusnya tidak perlu berusaha sejauh itu jika hanya ingin terbang. Aku hanya tinggal melangkahkan satu langkah kakiku lagi ke depan. Setelah itu, aku tinggal berharap agar diriku dapat terjatuh menuju langit dari gedung ini.

Yah, sayangnya itu mustahil.

Aku bersidekap dada, lalu merenung saat udara mulai beranjak dingin di atap tertinggi dari gedung ini.

"Sungguh," celetukku sambil menghela napas panjang, "langitnya terlalu indah sore ini."

Aku mendesah seraya mengusap mataku perlahan ketika matahari mulai tenggelam, menyembunyikan sosoknya dan meninggalkan pendar cahaya oranye yang membuat mataku menyipit perih. Jika dipikir berkali-kali, di pukul yang sama, setiap hari, aku selalu datang kemari hanya untuk menunggu matahari terbenam. Aku sampai heran, karena, bukankah apa yang kulakukan ini romantis?

Tidak? Hey, menunggu sesuatu itu hal yang romant- ah, lupakan.

Aku menggelengkan kepala.

Lalu tanpa sadar, seketika semilir angin bisu menghembuskan surai hitamku yang membuatnya menutupi pandanganku, hingga aku harus repot-repot mengawaskannya dengan cara menyelipkan rambutku ke belakang telinga.

"Dasar angin, kau membuatku jadi ingin terbang," aku bergumam tiba-tiba seperti tak waras di atas gedung ini. "Oke, Aku akan terbang, sekarang juga!" lanjutku geram.

Aku menepuk dadaku dua kali, berusaha menenangkan diri. Di detik-detik ini, rasanya berbagai macam pertanyaan menghujam pikiranku. Seperti pertanyaan, 'mengapa aku tak jadi burung saja agar bisa terbang?'

Namun kini kurasa, diriku tak lagi perlu membebankan masalahku kepada pikiranku yang malang, karena aku akan pergi, terbebas.

Kakiku berpijak selangkah kedepan, memijaki pijakan hampa yang akan membuat gravitasi menarikku ke bawah, dan membuat keberadaanku menghilang.

Saat setengah dari tubuhku telah siap untuk terjatuh menembus ketinggian ribuan kaki, tanganku tiba-tiba ditarik oleh seseorang.

Aku terkejut. "Hey! Apa yang kau lakukan?" tanyaku yang sontak membuat mataku dapat melihat tampang dari pelaku yang menarikku; ia seorang lelaki, bersurai coklat pendek dengan perban yang menutupi leher serta tangannya yang menggenggam lenganku.

DEG!

Dadaku seketika nyeri, dan aku merasa takut.

Ah, aku, aku akan melihat hal yang memuakkan lag---

Eh?

Alisku bertaut dengan tatapan tajam menatap si empu, mulutku pun mengaga. Lelaki itu mengedip dua kali, tampak bingung karena melihat ekspresiku yang melongok. Aku pun bingung.

"Mengapa ...."

Aku mundur beberapa langkah ke belakang setelah bergumam tak percaya—sedikit lagi, maka aku akan kembali terjatuh. Namun, lelaki itu kembali menarik tanganku sampai membuat kakiku terseleo saking tak siapnya.

Aku menahan rasa nyeri di kaki dengan senyuman palsu. Ah, persetan dengan rasa sakit, kini aku penasaran, dan hanya ingin melanjutkan perkataanku.

"Mengapa aku tak melihat apapun?"

Lelaki yang tak kuketahui namanya itu memiringkan kepalanya. "'Tak melihat apapun'?"

Aku tak bergeming, seolah tak mendengarnya mengulangi perkataanku.

"Kematian ...

"aku tak melihatnya. Darimu, tidak ada. Mengapa?"

Bibirku seketika terasa kelu. Mataku mulai memanas.

"Tak mungkin."

Kata itulah, yang kuucapkan ketika air mata mulai membasahi pipi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 13, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

━ 𝘌𝘯𝘤𝘩𝘢𝘯𝘵𝘦𝘥  ▗Dazai Osamu▘Where stories live. Discover now