🌿002

2.5K 299 33
                                    

Sedan hitam itu berhenti tepat di depan sebuah bangunan sekolah. Seorang pria dewasa tengah membantu melepaskan seatbelt yang terpasang di tubuh mungil bocah laki-laki di sampingnya, setelah terlepas dia menoleh ke kursi belakang, di sana dua anak laki-laki lainnya telah siap dengan tas sekolah mereka. Rama, pria tiga anak itu tersenyum. "Ingat pesan Dad?"

"Huum!" ketiganya kompak mengangguk.

"Sebutkan."

"Jangan membeli es, jangan memberikan Ajun permen manis banyak-banyak, belajar dengan baik, "

"Dan?"

"Jangan berkelahi. Dan ini bersifat wajib untuk Eza!" pemilik nama yang disebutkan mendelik tak suka.

Rama tersenyum puas mendengarnya. "Anak pintar. Jangan nakal dan dengarkan ucapan Bu guru, mengerti?" pesannya setelah menitipkan uang saku untuk masing-masing kepada si sulung, Antasena.

"Ayay capt! Bye-bye Daddy!" ketiganya turun bersama usai memberi kecupan sayang di pipi Rama dengan susah payah. "Bye honey." Rama memandangi tiga buntalan itu berjalan beriringan bersama seorang wanita muda yang menyambut setiap muridnya di gerbang, kemudian dia alihkan pada sebuah bingkai kecil yang terpajang di dashboard. Potret dirinya bersama wanita yang sangat dia sayangi. "Mereka telah tumbuh menjadi anak-anak yang pintar, kamu pasti bangga melihatnya, kan?"

Di sudut lain, Suta tengah duduk di atas motor menunggu si tuan puteri selesai berdandan di dalam sana. Suta menghela napasnya lelah, setiap hari memang ini kegiatan rutin paginya, menjemput Abimaya untuk berangkat kuliah bersama. Abimaya sendiri yang meminta dengan imbalan akan dibelikan bensin katanya. Sebenarnya Suta tidak mengharapkan imbalan apapun mengingat kehidupan seorang Abimaya, hitung-hitung membantu mengurangi pengeluaran sahabatnya itu namun Abimaya bersikukuh untuk membayar jasanya, karena bagaimanapun Suta telah banyak membantu Abimaya, pemuda itu tak enak hati.

Lima menit kemudian Abimaya pun muncul dari kamar kosnya, menghampiri Suta yang terlihat bosan di depan gerbang sambil tersenyum menampilkan geligi rapinya.

"Lama lo, semedi dulu di toilet?"

"Iya ngumpulin emas biar kaya." Jawabnya menyebalkan. Suta mendengkus kemudian memberikan satu helm kepada Abimaya, lelaki itu menerima kemudian memakainya. Mata Suta tak lepas dari sang sahabat, tak ada angin ataupun hujan menggelegar tiba-tiba Suta mengucapkan suatu hal yang membuat Abimaya seakan tersambar petir.

"Bi, lo gemes banget tau."

"H-HAH?!"

"Gue semein mau nggak?"

"... Nyet, inget posisi. Masih suka desah di atas pangkuan Chandra aja sok mau jadi seme gue." Abimaya berucap enteng sambil menaiki motor Suta.

"Anjing banget mulut lo, Bi."

"Lo duluan ya!"

"Nanti jadi ke rumah Mas Rama?" tanya Suta tanpa melirik.

"Ya iya, sesuai kesepakatan." Suta tidak menjawab lagi, pria itu hanya mengangguk dan mempercepat laju motornya.

Keduanya sampai di kampus, berjalan bersama ke gedung fakultas keduanya tanpa obrolan. Tumben sekali, pikir Abimaya.

Lelaki yang memang sedikit berisik itu akhirnya membuka obrolan mereka. "Gimana lo sama Chandra?"

"Gimana? Ya gitu."

"Emm ..."

"Nanti mau gue anter kesananya?" Abimaya memberikan gelengan. "Gue naik ojol aja." Suta menangguk. "Ya udah, telepon aja kalo ada apa-apa nanti gue dateng." Tanpa menunggu jawaban sahabatnya, Suta berjalan cepat meninggalkan Abimaya di koridor gedung bisnis membuat lelaki itu membolakan matanya. "Heh mau kemana lo?!" teriaknya tanpa peduli tatapan mahasiswa yang berada di sana. "Lapangan bola!" tanpa menoleh Suta melambaikan tangannya. Abimaya mendengkus melihat tingkah sahabatnya, Suta mengabaikan dirinya jika sudah atau ingin bertemu kekasihnya.

[END] Dolce | HeeJayWhere stories live. Discover now