🌿007

1.9K 263 3
                                    

"Eza ..." Eza menggumam sebagai tanggapan.

Sejak bergabung dengan dua saudaranya, Eza sibuk dengan lego-lego di hadapannya, sedangkan Sena sibuk mewarnai buku gambar, dan Arjuna sibuk dengan seperangkat mainan keretanya.

"Kok Eza panggil Kak May Mama sih?"

"Memangnya kenapa?"

"Bolehkah?" tanya Sena dengan menatap bingung sang adik, yang ditatap hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangan. "Berarti aku boleh dong panggil Mama juga?" lanjutnya bertanya.

"Boleh, bilang aja sama Mama." Jawab Eza santai.

"Ajun juga boleh kan? Pasti Ajun seneng deh." Ucap Sena bersemangat.

"Boleh, kita bertiga boleh panggil Mama dengan sebutan Mama kok."

Meski terlihat bersemangat, Sena tetap meragukan ucapan adiknya. Karena itu sekarang dia membuat tekad, sepulang dari rumah Oma nanti dia akan meminta izin langsung dengan Abimaya untuk memanggilnya Mama sama seperti Eza. Oke, suka-suka mereka saja.

Sepulang dari pantai Chandra memperhatikan gelagat kekasihnya sejak tadi. Banyak diam dan terlihat gelisah. Chandra yang bingung tentu saja ingin bertanya, tapi sebelum itu biarkan si manis beristirahat dulu, dia akan bertanya setelah Suta bangun dari tidurnya.

Lelaki itu melakukan apapun yang dapat menghilangkan bosannya. Menonton film di laptop Suta, bermain game, berguling-guling di karpet, dan berakhir memandangi wajah damai Suta.

"Nggak usah diliatin, aku nggak bakal kabur."

"Eh, udah bangun?" Chandra memundurkan wajahnya setelah Suta membuka mata. Namun hal berikutnya yang dilakukan kekasihnya itu cukup membuat jantung Chandra berdegup heboh.

Cup!

Chandra mematung kala Suta menarik tengkuknya kemudian menyatukan bibir mereka, hanya kecupan singkat kemudian dia di dorong menjauh oleh lelaki mungil itu. Membiarkan Suta beranjak ke dalam kamar mandi, sedangkan dirinya masih di atas kasur sambil meraba bibirnya sendiri. Detik kemudian pemuda itu tersenyum dengan pipi bersemu. Kekasihnya itu selalu mengejutkan.

"Kenapa sih, senyum-senyum terus kayak orang bego."

"Mulutnya!" bibir Suta dia capit sebelum membubuhkan kecupan bertubi-tubi.

"Arrghh, udah sana jauhan!" Chandra tersenyum semakin erat memeluk tubuh kekasihnya ketika pemuda itu memberontak.

Saat ini mereka berada di atas kasur besar milik Suta dengan Chandra yang duduk bersandar pada kepala ranjang, sedangkan si pemilik kamar menyandarkan kepalanya di dada sang kekasih.

"Ta, aku mau tanya."

"Apa?"

"Kamu kenapa?"

"Hum?" Suta mendongak bingung menatap Chandra. "Aku kenapa? Nggak apa-apa kok."

Namun pemuda itu menggeleng. "Kamu pasti lagi kenapa-napa. Soalnya dari sejak pulang mantai aku perhatiin kamu diam terus, banyak ngelamun, keliatan gelisah. Kamu kenapa, hm?" Suta menghela napasnya. Mana bisa dia menghindar kalau begini?

"Aku mau berbagi beban pikiran, boleh?" Chandra dengan santainya mengangguk, kemudian Suta mulai bercerita sebab mengapa sejak tadi dia membungkam bibirnya.

"Begitu, Chan. Aku cuma nggak mau dia ke bawa peran yang bisa nyeret dia kembali dalam kekecewaan bahkan sakit hati buat yang kedua kalinya."

Chandra mengangguk paham, selain Suta dirinya pun sangat tahu tentang Abimaya. Tentang kisah percintaan lelaki itu. Tentang bagaimana dirinya setelah gagal membangun hubungan dengan teman SMA mereka. Tentang Abimaya yang sempat menutup rapat hatinya hingga sekarang dia bertemu dengan sepupu kekasihnya itu.

"Aku bukan nggak sependapat dengan kamu. Tapi coba kamu perhatikan lagi, sekarang Abi mulai berani buka hati lagi kan untuk orang lain? dia mulai jatuh cinta lagi, Suta."

"Tapi kenapa harus sama Mas Rama?"

"Dengar dulu, bukannya itu berarti dia tau dan mau menanggung konsekuensinya? Selama dia bisa mengatasi, itu nggak apa-apa Suta. Kita harus menghargai keputusannya. Tugas kita cuma nemenin dia, dukung apapun keputusannya. Paham?" Suta mengangguk pasrah, ucapan Chandra ada benarnya. Chandra sendiri hanya tersenyum kemudian mengecup dahi kekasihnya. "Jangan khawatir, sayang. Abimaya lebih tahu apa yang harus dia lakukan."

Rama tengah duduk di gazebo taman, memandang kosong area bermain anak kecil di sana. Satu jam lalu keluarga kecil itu baru tiba di rumah usai dua hari berlibur di rumah Oma. Anak-anaknya sudah tidur, jadilah dia sendirian di sana, melamunkan ucapan-ucapan sang ibu yang masih terngiang di telinganya.

"Aku bahkan nggak tau suka dia atau tidak, begitu juga dengan dia. Yang aku tau aku senang melihat anak-anak nyaman bersamanya." Pria dewasa itu bermonolog dengan dirinya sendiri, tentu tidak menyadari kehadiran seseorang yang sejak tadi memandanginya. Orang itu Abimaya, yang datang mengambil barangnya yang tertinggal. Pemuda manis itu menggigit bibirnya sebelum melesat ke kamar majikan kecilnya. "Ternyata emang nggak bisa ya."

Abimaya tersenyum getir, kemudian keluar dari kamar si kecil. Dan sialnya berpapasan dengan Rama, sejenak mata mereka saling bertemu sebelum Abimaya memutus kontak lebih dulu.

"Maaf, Pak, saya datang mau ambil barang yang ketinggalan di kamar anak-anak."

Rama mengangguk. "Langsung pulang?" pemuda itu mengangguk kecil. "Permi-"

"Tunggu, ikut saya dulu. Saya mau bicara sama kamu."

Kemudian disinilah keduanya berada, duduk di kursi taman kota dengan jarak cukup jauh dari keramaian.

"Pak Rama mau bicara apa?"

"Soal Eza." Abimaya mengangguk, menunggu sang majikan melanjutkan ucapannya. "Kamu nggak keberatan dengan Eza yang manggil kamu dengan sebutan Mama? Maksud saya, hal ini cukup sensitif dan mungkin bisa menimbulkan kesalahpahaman."

Abimaya tersenyum. "Kenapa harus dipermasalahkan? Eza cuma ingin eksistensi Mamanya lagi, dan saya tidak ingin mengecewakan dia atas permintaan sederhananya." Jauh di dalam hatinya, Abimaya berusaha untuk tetap kuat melawan emosinya. "Maaf mungkin saya lancang, tapi Bapak jangan khawatir, saya tidak ada niat untuk menyamakan atau bahkan menggeser posisi Ibunya anak-anak. Tujuan saya hanya satu, ingin memberikan porsi kasih sayang seorang Ibu yang cukup dan amat pantas mereka dapat. Tidak ada yang lain."

Rama diam seribu bahasa, terlebih mendapati pemuda di sampingnya menitikkan airmata. "May, maaf. Kata-kata saya menyinggung kamu. Saya sama sekali nggak ada niat-"

"Saya ngerti." Pemuda manis itu tiba-tiba mengangkat wajahnya menatap Rama, masih berusaha menampilkan senyum terbaiknya meski mata itu memerah menahan beban yang mungkin akan segera runtuh. "Bapak nggak perlu khawatir, saya jamin semuanya baik-baik aja seperti biasanya. Kalau begitu saya permisi."

"May." Jemari Rama melingkar di tangannya, menghentikan langkah pemuda itu. "Omanya anak-anak ingin bertemu kamu, ingin melihat seseorang yang membuat cucu-cucunya nyaman dan kembali mendapat kasih sayang Ibunya. Kamu mau kan pergi dengan saya nanti?"

Abimaya menghela napasnya, kemudian melepaskan jemari Rama dari tangannya dengan sopan, kemudian berbalik menatap pria yang lebih tinggi darinya itu. "Saya pikirkan dulu, Pak. Lebih baik sekarang Bapak pulang, udah malam anginnya makin dingin, nanti kalau Bapak sakit anak-anak sedih lagi."

Rama tersenyum kecil tanpa sadar mengusak surai Abimaya, tubuh lelaki itu spontan menegang, begitu juga dengan Rama yang telah menyadari perbuatannya.

"Ah, maaf-maaf, kalau begitu saya pulang, May. Selamat malam."

"Malam, Pak." Abimaya memandangi punggung Rama yang kian menjauh, pemuda itu menggelengkan kepalanya kemudian ikut meninggalkan taman tersebut untuk pulang ke rumah.



- t b c -

[END] Dolce | HeeJayWhere stories live. Discover now