7. Sebuah Alasan

721 75 1
                                    

Usianya baru sepuluh tahun saat pertama kali menginjakkan kaki di bangunan mewah yang besarnya dua kali lipat dari tempat ia tinggal sebelumnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Usianya baru sepuluh tahun saat pertama kali menginjakkan kaki di bangunan mewah yang besarnya dua kali lipat dari tempat ia tinggal sebelumnya. Takjub, adalah satu kata yang cocok untuk mendeskripsikan ekspresi bocah kelas lima SD itu. Padahal rumah yang ia tinggali saat ini sudah sangat besar. Namun, ia tak menyangka akan tinggal di rumah yang lebih besar lagi.

Awalnya, semua berjalan lancar. Rei juga sama sekali tidak keberatan dengan pernikahan mamanya dengan Samuel meski sang ayah baru saja meninggal satu tahun lalu. Bocah itu sadar, bahwa sang ibu tampak begitu bahagia setiap kali bersama dengan Samuel.

Semua kemurungan usai ditinggal pergi oleh sang ayah seolah menguap begitu saja. Anak mana yang tidak bahagia ketika melihat sang bidadari tersenyum begitu lebarnya? Toh, sejauh ini Samuel sangat baik, jadi tanpa ragu Rei setuju saat pria itu datang melamar sang ibunda.

Namun, semesta memang suka bercanda. Hari pertama Rei menginap di rumah layaknya istana itu, dia sudah mendapat penolakan dari sosok yang kini berstatus sebagai kakaknya. Bocah bermata layaknya almond itu melempari Rei dengan sebuah sepatu saat keduanya pertama kali bertemu.

"Go away, I hate your existence!" pekiknya kembali melempar sepatu kirinya.

"Theo! Watch your words, he is your brother now." Samuel yang berdiri di samping Theo lantas mencegah bocah itu untuk bertindak lebih jauh

"I don't wanna him to be my brother! I hate him and her," teriak bocah bermata almond itu sembari menunjuk pada Rei dan sang ibu.

Saat itu, Rei tidak begitu mengerti dengan ucapan Theo. Namun, satu hal yang bocah itu tahu, bahwa Theo tak menyukai kehadirannya, pun dengan Celine yang menyandang status sebagai ibu baru.

Akan tetapi, penolakan itu tak menjadi hambatan, sebab kehidupan tetap berjalan. Dan lambat laun Rei mulai mempertanyakan satu hal. Apakah kebahagiaan baru ini pantas ia dapatkan?

"Kamu harus bisa lebih unggul dari dia, Rei. Mama nggak mau prestasi kamu kalah sama kakak kamu. Karena mau bagaimana pun, satu-satunya harapan Mama buat ngurus perusahaan cuma kamu. Theo sendiri harus jadi pewaris Papa."

Itu pertama kali Celine memberi sebuah permintaan pada Rei, yang dulunya dengan senang hati bocah itu setuju. Lagi pula, bukankah mewujudkan keinginan orang tua adalah arti dari berbakti?

"Semangat belajar kamu udah mulai kendor. Satu dua kali wajar, tapi mau sampai kapan jadi nomer dua terus? Mama sewa guru les mahal-mahal supaya kamu bisa selangkah lebih maju dari yang lain, loh. Kalau hasilnya seperti ini, bukannya sia-sia?"

Rei kira, dengan belajar giat dan menjadi penurut bisa membahagiakan sang ibu. Namun, suatu hari, Celine mengatakan hal itu. Dan tanpa sadar membuat Rei mulai meragukan soal kemampuan dirinya. Mampukah ia memenuhi janjinya?

"Gara-gara lo, hidup gue hancur. Bahkan satu-satunya orang orang yang gue punya udah kalian rebut."

Ah, itu kalimat yang sudah berulang kali ia dengar. Terlontar dari sosok Theo dengan wajah datar. Namun, Rei tidak buta untuk mengetahui bahwa sejatinya sang kakak terluka. Dia hanya pura-pura tak mengerti demi menjaga sebuah hati.

STRUGGLEWhere stories live. Discover now