Menjadi Nyata

324 47 0
                                    

"kenapa sayang?" tanyanya. Dan langsung memeluk-ku. Aku menangis sesegukan, yang semakin membuat mas Wisnu kebingungan.

"Istigfar sayang, tidak apa-apa. Adek cuma mimpi buruk." ucapnya. Menenangkanku. Diraihnya gelas yang berada disamping tempat tidur.

"Minum dulu," perintahnya. Tak terasa, satu gelas air putih habis tak bersisa.

"mas, adek takut." keluhku. Ku eratkan lagi pelukanku. Aku benar-benar takut. Mungkinkah mimpiku barusan suatu pertanda? Pertanda buruk yang akan menimpa calon bayi kami?
Aku benar-benar merasa amat takut.

"Tenang sayang, Adek cuma mimpi. Sudah ya, ada Mas. Coba Adek cerita pelan-pelan." Mas Wisnu terus saja coba memenangkannya.

Dengan terbata, aku ceritakan mimpiku. Adanya sosok bayi laki-laki yang tampan bermain dipangkuanku, hingga datang sosok berbaju putih yang tak begitu nampak jelas wajahnya, mengambil dan membawa pergi bayi itu.

"Tenang sayang, itu kan cuma mimpi. Mimpi itu bunga tidur," ucapnya. Terus saja mencoba menenangkanku.

"Tapi Mas....." Ucapku menggantung. Mas Wisnu menggeleng, tanda tak setuju untuk aku berfikir yang macam-macam atas mimpiku barusan.

"Kita berdoa saja, semoga calon bayi kita sehat." Begitu perintahnya.

Adzan subuh berkumandang, mas Wisnu bergegas mandi. Tak seperti biasanya, selama masa bedrestku mas Wisnu salat Dirumah. Dimana mas Wisnu sebagai imam dan aku makmumnya.

Pagi ini. Seperti biasa, mas Wisnu mengantarkan sarapan kedalam kamar. Masih sama, kami makan sepiring berdua. Dengan telatennya mas Wisnu menyuapiku dan dirinya sendiri, hingga piring kosong tak bersisa.

Bahagia memang, tapi aku akan lebih bahagia jika aku yang meladeninya. Aku ingin sehat. Dan bisa menyiapkan segala keperluan suamiku. Memasak, dan menyiapkan baju setiap ia selesai mandi.
Ah.... Aku benar benar rindu, rindu dengan segala ritual-ritual ku sebagai istri.

Semoga, semoga segera pulih. Namun hingga sekarang, hampir 2minggu aku menjalani bedrest sesuai anjuran dokter. Pendarahanku belum juga berhenti. Tidak sederas haid dihari pertama memang. Tapi kata dokter ini berbahaya.

Tinggal beberapa hari jadwalku untuk kontrol, semoga hasilnya baik.

Hari ini mas Wisnu berangkat pagi, tinggal-lah aku dirumah bersama ibu. Seperti biasa, bapak pergi untuk menjaga bebek-bebeknya.

Perutku terasa sakit lagi, mulas sekali rasanya. Dan pinggangku, panas dan pegal. Rasanya ingin sekali bergeser posisi. Ku coba bangun dengan bertumpu pada kasur. Tanganku, tanganku menyentuh sesuatu yang basah. "Apa ini?" batinku. Dengan perasaan yang takut-takut, ku beranikan melihat apa yang tersentuh tanganku.

Darah!!!  Iya, ini darah. Betapa paniknya aku. Ku berteriak memanggil ibu.

"Ibu, Ibu, Ibu.." kukeraskan lagi suaraku. Aku terisak, pikiranku sudah tidak menentu.

"Kenapa nak?" Ibu terlihat bingung.

"Astagfirullah, Ayu. Kenapa ini nak?" Ibupun menangis.

"Ayu nggak tahu bu," tangisku semakin menjadi.

"Iu telpon Wisnu sekarang." ibu berlari kekamarnya untuk mengambil ponsel milikinya.

Tak berapa lama, terdengar suara motor Mas Wisnu memasuki pekarangan rumah. Aku masih saja terisak saat mas Wisnu masuk kedalam kamar. Aku tak berani bergerak sedikitpun, aku takut. Jika aku bergerak, darah semakin deras keluar. Aku tahu ini tidak baik, aku khawatir akan calon bayi kami.

Mas Wisnu membopongku untuk masuk kedalam mobil, Pak RT yang akan mengantarkan kami ke RSIA.

Pak RT memarkirkan mobilnya tepat didepan pintu masuk UGD. Tak menunggu waktu lama,  dua orang perawat dengan membawa kursi roda menghampiri kami.

Bersambung....

Selembar Jarit (TAMAT)Where stories live. Discover now