16. Another little mermaid story

161 18 4
                                    

Mentari menyusup ke dalam lipatan kegelapan nan mengukung jiwa. Menebar kehangatan yang mengusai kebekuan secara perlahan seperti lapisan es musim dingin yang menyusut ketika musim semi menampakkan hadirnya. Ia di sana lagi. Di antara barisan puluhan mawar yang mekar begitu indah. Seindah binar sepasang netranya ketika tak sengaja ku tatapi dari balik jendela berdebuku.

Sudah beberapa hari ini ada seorang pria asing yang rutin bekerja di kebun mawar di taman belakang. Dekat dengan kamarku. Awalnya aku hanya penasaran saja tapi lama-kelamaan menontoninya dari balik jendela menjadi rutinitas baru setiap hari menjelang petang.

Tok..tok..
Terdengar ketukan pintu dari luar diikuti suara pelayan yang mengingatkan jadwal makanku.

"Putri riel, waktunya makan siang."

Seorang pelayan yang sudah cukup berumur masuk menenteng baki berisikan makanan. Namanya Odette. Satu-satunya pelayan yang kerap berbicara padaku. Meski disebut putri, kenyataannya aku hanya anak seorang pelayan rendah yang ditiduri oleh raja secara tak sengaja. Ibuku meninggal saat melahirkan, sebab itu aku tidak punya kesempatan untuk mengenal wajahnya. Meski anak tak sah, ayah dan saudaraku yang lain mereka semua bersikap baik padaku. Aku bersyukur untuk itu semua. Tetapi sebab aku adalah sebuah aib tidak semua orang mengetahui keberadaanku. Hanya keluarga dekat dan beberapa pelayan saja. Segala informasi tentang aku adalah tabu untuk diperbincangkan. Siapapun tidak diizinkan membawa kisah tentang seorang Ariel keluar istana.

Belum usai Odette menata makanan yang ia bawa aku langsung menyerangnya dengan banyak pertanyaan. Siapa pemuda itu, darimana asalnya, apa ia akan bekerja selamanya dan yang terpenting, siapa namanya.

Odette bercerita jika ia putra dari Sam. Seorang pria yang biasa memasok buah dan sayur untuk istana. Ia hanya bekerja setengah hari saja sebab pagi hari ia berladang membantu sang ayah.

Adante. Begitu nama yang Odette sebutkan padaku. Nama yang menawan bukan? Terdengar seperti nama bangsawan atau pangeran-pangeran yang biasanya muncul di buku dongeng. Dan tentu saja rupa pemuda itu juga sesuai dengan namanya.

Adante selalu muncul di sana sekitar pukul tiga sore. Memangkas rumput, merapikan tanaman, menanam atau mencabuti juga menyiram bunga. Rutinitas sama yang selalu ia kerjakan tapi ia tampak menikmati pekerjaannya. Sesekali ia bekerja sambil bersenandung. Kadang dia tersenyum melihat kupu-kupu atau burung kecil yang singgah.

___

"bunga-bunga itu saling berbisik di kesunyian malam. Mereka bercerita tentang seorang pemuda yang merawat mereka dengan begitu baik. Katanya, terima kasih sudah merawat kami. Semoga harimu menyenangkan, tuan mawar."

Ku selipkan sepucuk surat singkat itu diantara roti dalam keranjang yang aku tutupi dengan sapu tangan agar tidak terkena debu. Aku jarang melihatnya menyantap sesuatu jadi ku kira mungkin ia tak dapat jatah makanan kerena hanya bekerja separuh hari. Tapi bukankah pekerjaannya juga cukup melelahkan? Sebab itu aku memutuskan untuk rutin meninggalkan beberapa potong roti di teras belakang. Tepat di depan jendela kamarku jadi aku bisa melihat saat ia mendekat. Tentu saja Adante tidak sadar ada yang memperhatikan karena kaca jendelaku sedikit gelap, hanya bisa melihat dari dalam keluar.

Aktifitasku bertambah satu lagi. Selain menatap dari balik jendela, aku kini menyediakan camilan dan menulis pesan singkat. Aku ingin mengenalnya tapi aku tidak tahu apakah hal itu dapat ku lakui. Aku takut jika tidak diperbolehkan dan malah menimbulkan masalah untuknya. Tapi selain itu ada sesuatu tentangku yang ku rasa akan membuatnya tidak menyukaiku.

"Riel, apa yang kau lihat?"

Ah, kakak. Sejak kapan ada di sini? Heran ku saat tiba-tiba Aster kakakku sudah berada di
dalam kamar. Ia muncul di belakangku yang tengah berdiri menatap jendela. Ku katakan padanya aku hanya melihat taman saja saat Aster bertanya apa yang aku lihat dari sana. Untung Adante belum datang jadi aku tidak ditanyai hal-hal aneh oleh Aster. Kakak bilang Ayah ingin bertemu denganku. Dengan perasaan senang aku langsung bergegas menemui Ayah. Karena tidak tinggal di istana utama cukup sulit bagiku untuk bertemu dengan ayah. Meski ia mengasingkanku tapi ayahku tak jahat. Ia baik padaku sama seperti ia bersikap pada saudaraku yang lainnya.

ShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang