29. Langit tanpa cahaya.

340 32 4
                                    

Percaya pada satu kata tentang pergi yang selalu ada di setiap kedatangan. Hari itu di tengah awan yang menghitam di langit, ada dua pemuda beda usia yang duduk bersebelahan, menatapi malam dengan fikiran kacau.

Kalau Alfad mau bicara, Langit justru mengaduk-aduk tanah di bawah kakinya. Yang lebih tua tertawa.
"Mikir apa?"

Langit menggeleng.
"Langit mau pulang aja," usianya masih begitu muda waktu itu, waktu dimana dia menyadari ada banyak orang yang menolak hadirnya.

"Pulang kemana, disini rumah lo."

Sekali lagi Langit menggeleng.
"Abang berantem, mama jadi sakit, terus papa pergi semuanya gara-gara Langit."

Retakan tanpa suara masih bisa di tangkap oleh yang dewasa, di rangkulnya bahu adiknya kemudian tertawa meski dalam diri juga merasa kecewa.
"Bukan, Abang sama papa cuma lagi salah paham nanti juga papa pasti pulang lagi."

"Tapi Abang tetep benci Langit."

Darimana anak kecil ini belajar menahan emosi, padahal jelas sekali Alfad melihat linangan tertahan di kelopaknya, tapi masih sekuat itu Langit bertahan untuk tidak menjatuhkan airmata.

"Revan ngga benci, dia cuma lagi marah."

Di penghujung malam seusai usapan Alfad pada punggung Langit melemah mendengar mama jika jatuh pingsan, dia berlari. Menutun Langit untuk menghampiri mama yang tiba-tiba hilang pertahanan diri.

Seperti malam ini, dengan linangan airmata yang sudah membanjiri pipi Alfad berlari, semakin berat beban yang menimpa pundak ketika di hadapan sana sudah ada Awan yang meluruh depan pintu ruang tertutup.

Nafasnya memburu, lupa cara memamerkan raut bahagia ketika Awan sudah penuh linangan airmata. Di belakang ada Mama dengan kursi rodanya yang di tuntun Revan, mereka sama kalut menuntut perawat yang mulai keluar dari ruangan.

"Keluarga Langit Dirgantara?"

Alfad mengangguk, maju paling dulu hanya untuk mendapati hela nafas berat si perawat.
"Mari, dokter mau bicara. Pasien bisa di temui setelah di pindah ke ruang rawat."

Langkahnya berat, mama dan Revan ikut serta mengekor si perawat pada satu ruang tak jauh dari tempat Langit, di dalam sana sudah ada paruh baya yang sama sekali tidak menampilkan raut tenang, begitu saja Alfad sudah mau melarikan diri, tidak ingin perduli apalagi mendengar kebenaran yang selalu di hindarinya.

Tapi pada akhirnya, mereka tetap harus menghadapi garis takdir yang sudah tuhan tetapi.

"Kami sudah memantau perkembangannya beberapa hari terakhir ini, belum ada perubahan. Tumor yang tumbuh justru menyebar membentuk gumpalan darah yang hampir mendekat pada jantungnya-" paruh baya itu meletakan lembar kertas informasi kesehatan Langit, kemudian tersenyum pedih.
"Gumpalan darahnya pecah, dan itu cukup fatal-"

"Tapi masih ada cara kan dok?" Revan menyela dengan pandang penuh harap, sebelum harapannya di hancurkan dengan senyum putus asa dokter berseragam itu.

"Kami akan terus memantaunya dalam 24jam ini, jika ada perkembangan kami bisa langsung mengambil tindakan pengangkatan tumornya meski resiko cukup besar."

"Asal Langit bisa di selamatkan, saya akan membayar semuanya jadi tolong lakukan yang terbaik untuk putra saya."

Alfad sedari tadi hanya bisa diam, tergugu dengan semua penjelasan tanpa harapan, meski dokter meyakinkan masih ada kemungkinan, tapi tatapan kosongnya menjelaskan segala hal.

_______

Tangannya semakin mendingin, wajahnya memucat, mama sudah menangis banyak tapi tangannya masih tegas menggenggam putranya. Berharap banyak dengan lirihan perih yang menunggu mata terpejam itu terbuka.

Pada Langit || Choi YeonjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang