***Perjanjian dan Permintaan***

35 2 0
                                    


Mereka tiba di tempat itu. Bu Risa membawa buket bunga untuk Pak Amran. Sedang Leo sibuk dalam kecemasan sambil menarik nafas panjang. Ia mengetuk pintu lalu masuk. Pak Amran sudah menunggu sambil duduk di sofa. Tentu dengan tangan yang masih terhubung dengan infus.

Bu Risa dan Leo duduk dengan rasa cemas yang berkepanjangan. Dalam waktu singkat, Leo menerima lemparan kotak tisu yang terbuat dari besi ringan. Dan itu membuat pelipisnya berdarah.

"Pa, udah gila atau gimana?"teriak Bu Risa marah.

"Aku gak apa-apa, Ma."ucap Leo sambil mengusap darah itu. Dia menahan rasa sakit itu. Pak Amran memang luar biasa kalau sedang marah. Tapi kalau berada di mood yang baik, dia bisa melakukan hal yang tak diduga. Semacam membelikan apartemen untuk anaknya dan lain sebagainya.

"Aku tahu papa marah. Aku juga pantas menerima hukuman yang papa kasih barusan. Aku minta maaf, pa."

"Kamu mau apa sekarang? Kamu punya anak bersama wanita lain dan Deisy juga lagi hamil. Kamu benar-benar gila. Papa jadi menyesal ngasih perusahaan sama kamu."tegasnya dengan tatapan tajam.

"Aku janji akan ngeberesin masalah ini, Pa. Papa gak usah khawatir."

"Kamu mau beresin gimana? Kamu mau nikahin selingkuhanmu itu? Atau mau kau buang? Apa jadinya kalau seluruh dunia tahu?"

Memang sulit menentukan mau bagaimana. Leo memikirkannya sampai tidak bisa tidur. Andai Rindi tidak hamil, ia cukup memutuskan hubungan dari wanita itu. Argh, semua berubah jadi kacau. Leo bahkan sempat mengira kalau Deisy tak akan bisa memberinya anak. Tapi siapa sangka, momennya bisa pas. Momen yang bikin Leo kalut dan hampir gila.

"Ini semua karena kau tidak becus mengurus anak."ucap Pak Amran pada istrinya. Bu Risa tidak bisa mengatakan apapun. Dia takut mendapat lemparan barang dari Pak Amran.

"Pokoknya, aku akan bicara dengan Rindi. Aku harap dia mau mengerti."

"Kau berjanji akan menikahinya?"

"Ti-tidak, Pa."

"Jangan bohong!!"

"Iya, Pa."

Leo menjanjikan itu setelah berdiskusi dengan Bu Risa dan Icha. Solusi paling cepat memang cuma itu. Menceraikan Deisy dan menikah dengan Rindi. Tapi ternyata semesta menolak hal itu terjadi. Seketika, semua jadi rumit. Skenario yang dirancangnya hancur lebur.

"Papa akan bicara sama Deisy. Menurut papa, daripada wanita itu menghancurkan perusahaan, lebih baik dicari solusi secepat mungkin. Papa tidak akan membiarkan hal apapun menghancurkan Prasesa Group. Termasuk kamu."

Leo menundukkan kepalanya. Ada penyesalan disana. Dia juga tidak menyangka kalau Deisy ketemu Pak Amran kemarin. Wanita itu tidak mengatakan apa-apa. Mungkin efek hamil, dia jadi lebih pendiam.

"Perempuan itu sudah menjadi tanggung jawabmu. Anak yang dikandungnya adalah anakmu. Kalau kau lepas tanggung jawab, semua itu akan berbahaya untuk perusahaan. Oleh karena itu, dia bisa tinggal di rumah. Bukan sebagai istri sah, tapi sebagai wanita yang menuntut tanggung jawabmu."ucap Pak Amran. Fakta yang bikin Leo dan Bu Risa tercengang. Kaget hingga tak bisa berkata-kata. Ide itu tidak bisa dikatakan baik, tapi juga tidak bisa dikatakan buruk.

***

Malam itu, Deisy mendengar ide dari Pak  Amran. Bagi pria itu, perusahaan adalah segalanya. Jadi sangat wajar ia melakukannya demi reputasi. Yang penting untuknya hanya perusahaan itu. Meski terkesan jahat, tapi tidak lebih jahat dibanding Leo.

"Kamu akan tetap jadi istri sah. Setelah anak itu lahir, papa akan suruh  Leo berpisah dengannya. Papa janji."ucap Pak Amran mencoba meyakinkan Deisy.

"Baik. Aku tidak masalah, Pa. Tapi aku ingin meminta sesuatu."

"Ya, katakan saja. Apapun itu, pasti akan papa berikan."

"Aku merasa resah setelah resign dari kantor. Aku tidak punya penghasilan dan hanya bergantung pada Mas Leo. Aku ingin punya modal untuk melakukan sesuatu. Tidak bekerja bikin aku bosan dengan semua rutinitas."

"Ya, Papa ngerti maksud kamu."seru pria itu. Secara mengejutkan, Pak Amran memberinya uang 500 juta. Ya, setidaknya Deisy punya tabungan sekarang. Ia pasti bisa berjuang demi anak di dalam perutnya.

Wanita hamil tidak boleh stress.

Pesan dari dokter yang masih terngiang-ngiang di kepalanya. Agar tidak makin stress, ia pergi ke apartemennya Lilis. Cewek itu ada di rumah sebab ini hari sabtu.

"Deisy, kamu kan udah hamil. Apa lagi yang perlu dikhawatirkan?"seru Lilis sambil menyetrika bajunya yang seabrek. "Aku iri banget sama kamu. Duit udah gak perlu dicari dan punya suami penyayang."

Lilis belum tahu tentang kenyataan bahwa akan ada wanita simpanan yang tinggal di rumahnya. Itu akan jadi rahasia dan tidak boleh dipublikasikan. Mungkin khusus Lilis, Deisy akan jujur jika saatnya tiba.

"Aku gak lagi khawatir. Cuma malas aja di rumah. Pengaruh hormon kali ya."

"Hmm, mungkin. Saranku sih, kamu cari hal-hal yang menghibur diri. Semisal shopping, karaokean atau nonton film. Kayak hobi waktu single dulu."

"Ide bagus."

"Ayolah. Kamu harus melepaskan diri dari omelan ibu mertua yang menyebalkan itu. Kadang ya, melihat kamu tersiksa gini bikin aku enggan buat nikah."ucap Lilis. Deisy tidak akan berkomentar.

Walau sudah menikah, Deisy tidak mau menjadikan pernikahannya sebagai tolak ukur buat orang lain. Tidak ingin memamerkan kebahagiaan, begitupun kesedihan. Sebab tiap orang punya kisahnya sendiri. Tak bisa disama ratakan.

"Lis, kita shopping hari ini. Kamu temenin ya."

"Siap, bos!"ucap Lilis sambil membentuk tanda hormat di pelipisnya. "Kebetulan banget, aku mau hunting outfit. Buat baju kantor. Bosan juga pakai itu-itu mulu."

"Ih, bikin iri. Aku kangen ngantor juga, Lis."

"Nanti setelah lahiran, kamu balik aja. Dengan pengalaman kerja yang banyak, itu bukan hal sulit, Dei."

Tadinya, Deisy ingin melakukan hal itu. Mengambil setahun atau dua tahun untuk mengurus anak. Dan setelahnya, ia bisa bekerja lagi. Ia bisa menjamin kualitasnya tetap terjaga. Tapi semua itu tinggal kenangan.

Tujuannya sekarang adalah keluar dari jeruji pernikahan itu. Bukan dengan tangan kosong, tapi dengan pembalasan. Berat sekali menerima wanita itu di rumah. Tapi ia sudah keburu janji dengan Pak Amran.

Tidak pernah terbayangkan ada orang lain yang memiliki Leo. Meski membencinya, Deisy masih menyimpan rasa. Percayalah, jatuh cinta lebih cepat ketimbang melupakan.

Namun, Deisy yakin akan bisa melupakannya. Tentu dengan usaha yang tidak mudah. Ia bersiap untuk pergi shopping dengan Lilis. Apapun yang terjadi nanti, ia akan menghadapinya.

"Dei, bunyi tuh handphone. Kayaknya ada yang nelfon."ucap Lilis sambil mencatok rambutnya. Deisy langsung ke tempat handphonenya di charger. Panggilan dari suaminya.

"Halo, Mas!"

"Sayang, kamu dimana? Kenapa belum pulang?"

"Sehabis bicara sama papa, aku ketemu teman sebentar. Aku mau ke mall beli baju. Semua baik-baik aja khan?"

"Iya, sayang. Aku kangen banget sama kamu. Jadi, papa sudah cerita?"tanyanya kemudian.

Omong kosong! Dia menelpon hanya untuk tahu bagaimana reaksi Deisy. Tak ada rindu disana. Dia pasti bahagia bisa menemukan solusi untuk masalah ini. Pria brengsek itu. Argh, kenapa Deisy bisa berakhir pada pria seperti itu?

"Dei, kenapa? Kamu lagi marah?"ucap Lilis.

"Enggak. Yuk, udah siap kan?"

Jeruji PernikahanWhere stories live. Discover now