30 9 73
                                    

Jalan yang aku pilih tadi, sebenarnya menuju ke mana?

————————————————————

"Aku pergi, Ma. Jangan pernah tunggu kapan aku akan pulang," tandasku pada Mama yang duduk di kursi meja makan.

Lagi-lagi, kami berseteru karena alasan yang sama. Mama dengan segudang larangannya, seolah aku ini bocah yang masih harus didkte, seolah aku ini seorang anak yang masih bodoh juga bakal selalu di kibulin dunia

Kutandaskan air putih di gelasku yang masih tersisa setengah, aku bangkit dengan raut bersungut-sungut. Terakhir ku tilik wajah Mama, ia tak bergeming, tak lagi mengeluarkan tetuahnya yang selalu itu-itu saja.

Terakhir, kusambar kuci mobil di atas meja sebelum pada akhirnya aku benar-benar meninggalkan pekarangan rumah dengan mobil matic kesayanganku.

Aku pergi. Perjalanan singkat mungkin akan menghilangkan penat.

Sepanjang jalan yang tujuannya entah kemana itu, aku terus berfikir mengenai pertengkaran aku bersama Mama. Mama dengan segala sifat kerasnya yang seketika mampu membuat aku emosi, tapi Mama juga dengan segala tatapan kecewanya, seolah minta di mengerti, yang seketika itu juga kontan membuatku merasa bersalah.

Aku pergi bersama segudang komplikasi di fikiranku. Aku merasa kesal pada Mama, juga merasa marah pada diri sendiri secara bersamaan.

Entah.

Entah aku kini ada di mana, yang jelas, aku masih sempat mengetahui dimana aku, saat aku masih di jalan raya tadi. Tidak seperti sekarang, aku bersama mobil yang ku kendarai memasuki jalan kecil, kanan dan kiri adalah pepohonan lebat.

Ah! Maps sialan!!!

"Dasar maps bego!" Makiku tak terima bahwa kini aku nyasar. Mengikuti perintah suara wanita yang sok melayani jasa penunjuk arah itu.

Aku yang kelewat marah juga tak menyadari bahwa tempat yang seharusku ku tuju itu masih beberapa kilo meter lagi sebelum berbelok, tapi kini, nasi sudah—hampir menjadi bubur.

Aku memegang setir pengemudi lagi, pelan-pelan ku injak pedal gas.

BRAKH!

Sial. Jalanan bebatuan ini... benar-benar membuat aku parno. Cepat-cepat aku turun mengitari mobil, lalu helaan nafas lega ku keluarkan banyak-banyak saat suara tadi tidak sampai memecahkan salah satu ban kendaraanku.

Benar-benar, nasi sudah menjadi bubur.

Ingin ku absen seluruh nama hewan, namun, kini aku berdiri sendiri di tengah hutan, yang katanya, kalau sendirian nanti akan didekati setan. Otomatis aku bergidik, membekap mulutku yang hampir berkata kasar.

Pada akhirnya, aku melajukan kendaraanku pelan-pelan ke depan sana, siapa tau gang kecil di yang membentang sepanjang hutan ini akan mengantarkanku pada dunia dongeng.

Sumpah, ya, sepanjang jalan, aku tak melihat adanya tanda-tanda kehidupan. Bahkan sudah sepanjang kurang lebih 2KM aku menyusuri jalan, yang ada hanya hutan-hutan luas membentang.

Meski begitu, aku adalah aku, aku yang paling enggan untuk berbalik, aku yang paling enggan untuk memutar arah. Jadi, hitung-hitungan ini juga healing.

Aku mulai penat. Ku keluarkan ponselku, memotret beberapa pemandangan hutan mungkin akan berguna. Kalau-kalau nanti aku innalilahi di jalan ini, setidaknya ponsel ini akan menceritakan apa yang terakhir kali aku lihat.

Aku terkekeh atas fikiran konyolku.

Namun... tunggu!

Mataku terbelalak dengan jantung yang nyaris melompat. Kamera ponsel yang ku arahkan ke sembarang arah, lebih tepatnya ke depan, pada jalan yang akan aku lalu setelah pemberhentian singkatku ini, dalam kamera itu tampak seorang gadis kecil. Dengan rambut terurai, tersedu di pinggir jalan.

Perfect Scenario✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang