14 7 85
                                    


"Tuhan yang maha baik... Terimakasih karena sampai detik ini, aku dan mama masih diberi kesempatan untuk hidup bersama."

___________________________________________

"Kak, kenapa dalam hidup selalu ada perpisahan?" Gadis itu bertanya padaku.

Aku juga selalu bertanya hal yang sama pada semesta. Tentang mengapa ada perpisahan, mengapa Tuhan kadang tak berikan jalan, mengapa yang bahagia bersama, tak bisa selamanya terus bersama.

"Karena ini dunia, hidup dan mati bukanlah kehendak kita. Seringkali takdir tak berjalan sesuai harapan, inilah kehidupan." Itu opiniku. Kesimpulan yang dapat kutarik setelah lelah menganalisa.

Benar, kan? Manusia selalu punya keinginan, tapi Tuhan selalu punya ketentuan. Kadang memang yang kita mau sebenarnya bukanlah yang kita butuhkan, maka tidak Tuhan berikan.

Laras mendongak. Malam ketujuh kami duduk di bawah hamparan bintang-bintang, di pukul satu malam, membahas rumitnya jalan hidup, mencari kedamaian dalam diri melalui kalimat-kalimat yang saling kami ucapkan.

"Kenapa, ya, orang bisa sampai tua hidup bareng orang tuanya?"

Dia bilang sudah ikhlas.

"Sulit di terima, ya?" Aku menimpali. Rasanya tak adil melihat postingan Dila yang begitu bahagia, punya kakak dan adik yang selalu mengurai tawa, juga Pak Muh dan istrinya yang begitu periang. 

"Kenapa waktu aku bersama Ibu sebentar banget?" Dia melempar pertanyaan lagi. Kali ini, tubuhnya ia baringkan, langsung menghadap pada taburan bintang tak beraturan yang menghiasi gelapnya langit malam.

Aku terdiam. Lalu ikut berbaring seperti dirinya.

Langit yang tinggi dan mampu berubah warna tanpa penopang saja, ditemani oleh bintang, bulan, matahari, bahkan pelangi. Lantas mengapa yang rapuh dan debu di mata dunia justru Tuhan biarkan ia hidup sendiri?

'Kadang, semesta sebercanda itu' benar adanya.

"Semua barang-barang udah masuk ke dalem tas, kan?" Aku memecah keheningan setelah setengah jam lamanya kami saling berdiam.

Laras mengangguk. Besok, Laras dan Ina akan di boyong oleh keluarga almarhum ayahnya ke kampung halaman mereka. Entah di mana, jauh yang pasti.

Benakku berkecamuk ingin bertanya banyak hal. Tapi aku urungkan, Laras tak pernah menceritakan apapun soal keluarga besarnya, yang kuyakini kisah mereka amatlah privasi.

Tidak semua kebenaran harus diberitahukan, aku tak berhak bertanya atas urusan mereka.

"Kak ... Makasih banyak, ya? Terimakasih udah perduli sama aku dan Ina selama tujuh hari kemarin. Terimakasih sudah mau jadi pendengarku yang terus bertanya ditengah malam begini selama tujuh malam belakangan." Dia terkekeh di akhir kalimat. Merasa konyol mungkin atas kebiasaan kami yang satu ini.

"Ngomong-ngomong, nama Kakak siapa?"

Aku terbahak. Aku juga lupa memperkenalkan diri sejak hari pertama di sini.

"Aku Gea."

*

"Dadah Kak Gea! Besok-besok main ke sini lagi, yah!" Seru Ina melambai tangan padaku yang sudah memutar mobil.

Aku tersenyum dari dalam mobil. Menatap lamat-lamat gubuk tua juga kedua penghuni intinya, perlahan kendaraanku melaju, melewati jalan yang tujuh hari lalu aku jejaki tanpa sengaja.

Aku pulang setelah menemukan tempat untuk memutar arah. Bukan hanya arah kendaraanku, tapi juga arah pikiranku, arah hidupku.

Perjalanan singkat, pelajaran hebat, satu waktu dalam keadaan yang mencekat.

Sungguh sempurna skenario yang telah Tuhan ciptakan, perjalanan singkat yang membawaku pada pelajaran berharga. Yang mengajarkanku bahwa aku bisa hidup dengan masalalu, bisa terus mengulur waktu untuk berdamai dengan keadaan, tapi dunia takkan pernah mau menunggu. Sebab aku bukan pemeran utama di semesta.

Tuhan gambarkan bahwasannya Mama bisa pergi kapan saja, seperti Bu Nia. Tuhan gambarkan bahwa yang berbakti seperti Laras dan Ina saja masih merasakan sakit yang luar biasa, apalagi aku yang tega mendiami Mama dalam jangka waktu lama. Tuhan tak biarkan aku hidup dalam penyesalan.

Untung saja, saat sampai di rumah, aroma nasi goreng masih menyambutku, lalu di meja makan, Mama masih setia menunggu.

"Mama... aku pulang."

Mama mendongak. Raut sebalnya sebab panggilan telponnya tak aku angkat perlahan sirna. Beliau memelukku sangat erat, mengecup keningku bertubi-tubi, lalu memasang tampang galak. "Udah Mama bilang, kalau Mama nelpon tuh diangkat!" Mama menjewer telingaku tak ada rasa.

Mama selalu begitu. Biasanya, aku akan langsung kesal karena diperlakukan seperti anak kecil yang bodoh. Tapi sekarang tidak lagi, rupanya aku yang terlalu tenggelam di masalalu. Aku mengabaikan fakta yang ada, bahwa kami, sama sakitnya.

Mataku memanas. Kueratkan pelukan kami yang belum terlepas, untung saja, dekapannya masih terasa hangat, juga menenangkan.

Terimakasih, Tuhan.

Ending.

Cerita singkat ini terinspirasi dari aku yang suka overthinking atas kesuksesan hidup di masa depan. Sore itu, aku lagi nyuci piring sambil mikirin temen-temen SMA-ku yang sekarang pada kuliah.

Fikiranku mengabsen satu-satu muka dan nama mereka, dan sampelah aku di sebuah nama. Temenku yang satu ini, cantik, baik, putih, tinggi, langsing, pinter semua pelajaran, gak milih temen, orang kaya, kakak-kakaknya dan orang tuanya jadi orang sukses semua. Terusan-terusan nih aku sampe malem mikirin dia. Sampe besok paginya, aku buka pesan di grup angkatan, salah satu temenku ngabarin bahwa ibunya si temenku yg tadi malem aku jadiin bahan ovt itu meninggal.

Aku kaget. Aku nangis. Dalam benakku, kok bisa? Padahal masih muda.

Terus beberpa harinya lagi, temennya mamaku juga meninggal, padahal anaknya banyak, ada yang masih SMA, SMP kelas 8, dan SD kelas 3.

Kok bisa? Padahal masih muda.

Akhirnya aku sadar, bahwa takdir Allah yang satu itu bakalan dateng, dan syaratnya nggak harus berusia tua. Terlepas dari semua bebanku saat ini, aku selalu tengok bahwa di sampingku, ada mama papa dan adek yg selalu ada buat aku.

Dunia bakal ninggalin aku kalo aku nggak bisa apa-apa, tapi mereka bakal selalu ada walaupun aku nggak bisa jadi siapa-siapa.
Itu yang terpenting.

Hargai selagi ada.

Perfect Scenario✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang