39

470 44 5
                                    

"Jadi kapan Ayah akan dibebaskan?" Tanya seorang pria dengan antusias, pemuda yang menjadi lawan bicaranya hanya bisa terkekeh, membuat raut antusiasnya perlahan mengedur.

"Ayah sudah lupa? Ah, aku yang lupa, Ayah kan sudah tua, pasti sering melupakan beberapa hal, biar kuingatkan kembali." Lelaki itu hanya bisa menatap dengan helaan nafas yang bergetar.

"15 tahun lagi, Ayah akan dibebaskan 15 tahun lagi." Nafas pria itu tercekat, kedua matanya yang membola terlihat memerah dan bergetar. Ia hanya bisa tersenyum getir, bayangan hari-hari yang akan ia lalui di tempat ini membuat kepalanya hampir meledak.

"Lalu untuk apa kau datang kemari?" Ujarnya sarat akan kekecewaan dan amarah.

"Aku? Datang kemari? Hanya ingin memastikan saja jika Ayah hidup dengan baik di sini." Pria itu terkekeh dengan rahang mengeras.

"Bukankah seharusnya kau juga berada di sini bersama Ayah? Pasti akan sangat menyenangkan jika kita melewati hari-hari di penjara bersama." Beomgyu mengangguk dengan dahi mengerut.

"Pasti akan sangat menyenangkan juga melihat Ayah membusuk di penjara." Beomgyu nampak terkejut saat sang Ayah menggebrak meja yang menjadi pemisah keduanya.

"Kurang ajar!" Lirihnya penuh dengan penekanan.

"Tapi aku yakin, tak sampai 15 tahun, Ayah pasti sudah mati bunuh diri karena depresi."

"KURANG AJAR! TUTUP MULUTMU!"

"Ah, kau pasti tersinggung ya karena rencanamu sudah tertebak. Tapi mati lebih awal memang lebih baik daripada menanti 15 tahun di tempat seperti ini. Keluar dari tempat ini pun Ayah pasti menjadi gelandangan."

"CHOI BEOMGYU! JAGA UCAPANMU!"

"Aku akan mengajukan pernyataan ke pihak pengadilan bahwa kau juga ikut andil dalam kasus ini!" Beomgyu menganggukinya.

"Silahkan saja. Lagi pula Kakek dan Nenek tak akan membiarkan cucu kesayangan mereka mendekam di penjara."

"Sialan!"

"Lakukanlah apa yang Ayah mau, aku malah semakin senang melihat Ayah menggila. Kalau begitu aku pergi dulu, aku akan datang 1 bulan sekali untuk menjenguk Ayah sebagai anak yang baik." Beberapa anggota polisi langsung menahan pria tersebut saat hendak memukul Beomgyu.

"Aku harap Ayah hidup dengan baik di sini." Ujarnya sembari memberikan pelukan hangat yang malah membuat sang Ayah berapi-api.

"Kalau Ayahku tidak bisa diatur, pukuli saja dia. Buat dia merasakan bagaimana rasa sakit yang mendiang Ibuku rasakan karenanya." Ujar Beomgyu sebelum pergi.























"Nak?" Taehyun langsung menoleh pada wanita paruh baya di sampingnya. Dahinya mengerut saat melihat wanita tersebut terus memperhatikan ponselnya. Keduanya tengah berada di dapur, membuat pie apel untuk camilan di sore hari.

"Ada apa Ibu Kim? Kau membutuhkan bantuanku?" Wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya dan malah menyodorkan ponsel milik Taehyun.

"Nak, orang ini terus menelponmu sejak tadi, kenapa tak kau angkat?" Taehyun menghela nafas, ia tahu betul siapa yang dimaksud wanita paruh baya itu.

"Biarkan saja Ibu Kim. Dia akan berhenti dengan sendirinya." Ujarnya sembari memasukkan 2 loyang pie apel ke dalam oven.

"Tapi dia bukan Nak Beomgyu, kenapa kau tidak mau mengangkatnya, Nak? Jangan terlalu menutup diri kepada orang lain seperti ini."

"Ibu Kim, dia memang bukan Beomgyu hyung, tapi dia adalah nenek Beomgyu hyung." Wanita paruh baya itu terdiam.

"Apakah dia juga menjadi salah satu dari orang-orang yang sudah menyakitimu, Nak?" Taehyun menggelengkan kepala sembari duduk perlahan di kursi, di usia kandungannya yang menginjak bulan ke-5 ini, ia jadi merasa mudah lelah dan tak bisa bergerak dengan leluasa.

Hurt [Beomtae]Where stories live. Discover now