Prologue

24 2 0
                                    




Jika dilihat dari jalan raya, kafe ini terlihat kecil. Pengunjung yang datang akan parkir di sebuah lahan kosong di pinggir jalan, lalu menyusuri anak tangga yang terbuat dari campuran beton dan batu-batu kerikil bundar.

Kafenya sendiri cukup tinggi: dibangun di atas lereng bukit, dengan pondasi dari balok-balok kayu untuk menahan bagian teras kafe yang menghadap langsung ke arah jurang.

Terdapat beberapa belas meja dengan jarak antar meja yang cukup jauh di tengah kafe, namun hanya ada tiga meja yang berada persis di teras kafe.
Teras kafe ini tertutup dinding kaca transparan, dan satu buah pintu kaca kecil yang hanya muat satu orang. Di pinggirannya, ada pagar kayu setinggi dada orang dewasa yang memisahkan meja dengan jurang di bawah.

Bila seseorang belum pernah datang ke sini, mungkin mereka akan berpikir kalau tempat ini sekadar kafe kecil, dan menaiki tangga-tangga tinggi itu terlihat terlalu melelahkan. Tidak heran kafe ini sepi, walaupun memiliki pemandangan indah langsung ke arah kota.

Beberapa tahun yang lalu, kafe ini sempat ramai dengan berita terbaru. Seseorang membagikan video pemandangan kota dari kafe. "KAFE ANEH! INI UDAH JAM 9 MALAM LOH!" ujar orang yang merekam video itu. Sedangkan, di belakangnya terlihat langit berwarna jingga bersih tanpa awan yang bergerak, dan siluet kota tanpa lalu-lalang kendaraan. Seakan-akan seseorang memotret pemandangan senja lalu menempelkannya ke dinding kaca.

Esoknya pemilik kafe dan beberapa karyawan kafe itu diwawancarai.
"Ya saya nggak tahu, memang dari zaman bapak saya dulu udah begini," jawab pemilik kafe yang terlihat terlalu muda untuk ukuran seorang pemilik kafe.
"Iya, kadang-kadang kejadian, kadang-kadang ya biasa aja," timpal salah satu perempuan berpakaian barista di belakangnya.
Orang-orang pun berbondong datang ke kafe untuk menyaksikan sendiri 'potret senja' di kafe itu. Perlahan orang-orang pun ragu dengan keaslian ceritanya. Ada yang bilang hoax, gimmick, editan, dan lain sebagainya.

Aku pun awalnya meragukan gosip itu, hampir setiap hari aku datang dan tidak ada yang namanya keajaiban 'potret senja'. Kafe pun kembali sepi, kadang-kadang hanya ada aku duduk sendiri di teras kafe.

Hingga satu hari, seorang perempuan datang dan duduk di meja sebelahku.

"Klik."
Tiba-tiba aku mendengar suara yang begitu jelas, seakan-akan suara itu berasal dari sebelah telingaku.
Aku menengok perempuan yang duduk di sebelahku. Ia terlihat sedang sibuk memotong shortcake lalu mengaduk minumannya.

Satu-dua jam berlalu, dan hari masih terlihat terang. Di jam tanganku tertulis pukul 19:00. Oh, jadi ini yang disebut potret senja itu.

Perempuan di sebelahku sudah menghabiskan makanannya sejak tadi. Kini, ia sedang sibuk meminum latte–minuman keduanya. Pikirannya sibuk entah ke mana, hingga tak menyadari pemandangan di hadapan kami kini.

"Oh, kejadian lagi," kata salah satu karyawan laki-laki kafe yang baru saja datang, dan mengambil piring dan gelas di meja perempuan di sebelahku.

"Kejadian apa, Mas?" kata perempuan itu.

"Ini Kak, Kakak nggak merhatiin ini sekarang jam berapa?"

Perempuan itu mengambil handphone dari dalam tas kecilnya yang ia taruh di atas meja. "Lah, iya ini udah jam 7 kenapa masih terang?" ucapnya dengan dahi yang mengernyit.

"Ya memang kadang kejadian Kak, kami juga nggak tahu, yang pasti dari dulu memang sudah begini," jawab karyawan itu, ia berbalik badan lalu pergi kembali ke dalam tanpa memberi penjelasan.

Perempuan itu menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mencari seseorang untuk diganggu dengan pertanyaannya. "Hmm... Om!" kata perempuan itu berbicara ke arahku. Om? Walaupun dia terlihat memiliki badan yang kecil, tapi aku cukup yakin umur kami tidak berbeda jauh. Ya setidaknya umurku belum lah cocok untuk dipanggil 'Om'.

"Aku nggak pernah nikah sama tantemu."

"Err... Mas?"

"Aku nggak pernah nikah sama mbakmu juga."

"Esttt... Kamu! Ya! Kamu! Kamu nggak heran sama pemandangan di luar? Ini udah jam 7 kok masih terang begini?" katanya sambil berdiri dari tempat duduknya, lalu duduk satu meja denganku.

"Memang dari dulu begitu."

Perempuan itu masih terlihat kebingungan. Ia menggaruk-garuk rambut short-bob-nya yang berwarna cokelat kemerahan terkena cahaya sore. Aku membayangkan rambut perempuan itu adalah ujung kuas, dan seseorang di atas sana menggoreskan rambut itu ke langit, melukis senja.

"Rambutmu bagus, Tante."

"HAH? TANTE? Emang aku nikah sama Ommu?" jawabnya meniru ucapanku. Alisnya terangkat satu, seakan-akan ia sudah memenangkan duel siapa yang paling tua?

"Short-bob, pilihan yang praktis dan sederhana. Populer di tahun 90-an karena citranya yang menggambarkan perempuan yang kuat dan mandiri. Di Indonesia, potongan rambut ini dipopulerkan oleh penyanyi Nike Ardila. Tetap menjadi pilihan populer khususnya bagi perempuan karir yang tidak ingin repot merawat dan menata rambut yang panjang. Terkadang rambut yang khas dengan perempuan tomboi, tapi di mataku gaya rambut ini punya kesan yang lucu, youth, dan semangat yang tinggi. Aku suka." Aku mengeluarkan jurus rahasiaku. Saat seseorang berekspetasi akan menerima pedang, mereka akan sulit menangkis tembakan peluru. Mungkin begitu alegorinya?

"Hah? ngomong apaan sih?" jawabnya. Ia mengambil topi cap putihnya dari atas meja, lalu menutupi rambut dan wajahnya dengan topi. Berhasil.

Sejak itu, hampir setiap minggu, aku dan dia akan duduk di meja paling ujung teras kafe. Waktu kami di sini lebih banyak dihabiskan untuk memperhatikan pemandangan dibandingkan mengobrol.
Sesekali ketika kami berkunjung, suara klik itu muncul dan pemandangan senja itu kembali tertempel di jendela kafe. Lama-lama kami berdua semakin terbiasa, dan dalam satu waktu kami dapat melihat dengan jelas burung-burung yang sedang terbang tiba-tiba terhenti di atas langit. Satu jam kemudian, burung itu tiba-tiba menghilang dan berganti pemandangan bintang-bintang dan lampu kota.

Potret senja tidak selalu hadir saat aku sedang duduk dengan Amanda. Tapi tidak pernah terjadi saat aku sedang duduk sendiri.
Satu hari aku berpikir, mungkin ini pertanda semesta. Sore nanti aku akan bertemu dengan Amanda. Di kafe itu, aku akan mengajak dia berpacaran.

***

"Ayo kita pacaran."

UHUK. Aku terbatuk, latte yang baru saja kuminum sekarang nyangkut di tenggorokan, hampir jadi ingus. Sudah empat bulan aku kenal Rian. Ya, nggak kenal juga, mungkin tepatnya duduk bersama minum kopi seminggu sekali. Pembicaraan kami biasanya berputar seputar hal-hal yang nggak begitu penting. Aku belum mengenal Rian dekat, yang ku tahu pasti dia tahu banyak hal-hal yang tidak penting, cuman minum Americano, dan ... entahlah. Kenapa lagi aku malah ikut-ikutan ngomong entahlah kayak Rian?

"Emang kamu cinta aku?"

"Entahlah, nggak tau. Kamu sendiri?" Rian mengangkat cangkirnya, lalu meneguk Americano yang kelihatannya sudah dingin sedari tadi.

"A-aku? Entahlah, aku juga nggak tau." Rasanya malu banget ditanya begituan. "Kamu nggak usah ngerjain aku, Rian."

"Hmm? Oh, aku serius banget, Manda. Makanya, ayo kita pacaran," jawab Rian, dia menegakkan duduknya sambil menggeser cangkirnya yang sudah kosong ke pinggir meja. Dia melipat tangannya di atas meja, lalu menonggakkan pandangannya ke arah mataku.

"Tapi kamu ngomongnya santai banget. Aku nggak yakin. Kita sama-sama nggak tahu apa kita cinta satu sama lain? Setidaknya, aku ingin mengenal kamu lebih dalam."

Rian menganggukkan kepalanya beberapa kali, lalu mengecap bibirnya. Beberapa kali mulutnya terbuka, namun tidak ada suara yang keluar. Seakan-akan kata-kata adalah duri yang tertahan di tenggorokannya. "Oh..." jawabnya singkat lalu kembali ke posisi duduknya semula--bersender ke jendela dengan tangan yang menompang dagu. Kami sama-sama terdiam selama beberapa menit, entah berapa lama. Detak jam bergerak lambat. Suara-suara perkakas dan alat di dapur dan counter barista terhenti. Jalanan di depan kafe terasa lenggang tanpa suara, sesekali suara klakson terdengar dan juga suara mobil yang mendesing berlalu cepat. Rian sibuk berpikir sendiri sambil menatap lampu-lampu kota. Hingga aku mendengar suara dari belakangku. Suara yang terdengar sangat jauh, seakan datang dari ujung dunia ini. Tapi aku dapat mendengarnya dengan begitu jelas.

Klik.

Americano dan LatteWhere stories live. Discover now