1. Percakapan

9 1 0
                                    

"Jadi, sejak kapan kamu suka minum kopi?" tanyanya, sambil menopang dagu di atas meja. Aku dapat melihat matanya yang sedang berputar-putar searah jarum jam, mengikuti tanganku yang sedang mengaduk kopi.

"Entahlah, aku juga nggak memperhatikan."

"Entahlah, entahlah. Setiap pertanyaanku selalu kamu jawab 'entahlah,' kamu ini kayaknya memang nggak tahu apa-apa ya? Wahahaha." Ia mencolek pundakku, lalu menutupi mulutnya yang tertawa.

"Aku mau coba, boleh?" Ia memajukkan kursinya ke arah meja, lalu mengambil sesendok kopi dari gelasku. "Weeeek! Pahit banget," katanya sambil menjulurkan lidah dan menyipitkan mata.

"Ya, namanya juga kopi, kan? Untuk sebuah Americano, espressonya nggak begitu terasa, teksturnya masih terlalu kental, dan ini masih terlalu manis."

"Emangnya yang begitu enak?" Dengan cepat ia meminum Latte yang kini hanya tersisa setengah, mungkin ingin menghilangkan rasa kecut di lidahnya. "Enakan ini tau, rasa manisnya susu, terus ada sirupnya juga, terus......... rasa apa ya?" lanjutnya.

"Setiap orang punya kesukaan masing-masing, tapi untuk apa malam-malam gini kamu minum es?"

"Ya nggak apa-apa dong! Hehe," tawanya. Gingsul di sisi kanan mulutnya terlihat cukup jelas dari sini. "Tapi, orang-orang bilang cuman orang dewasa yang bisa mengapresiasi rasa pahit kopi."

"Jadi, kamu bukan orang dewasa gitu?"

Matanya melirik ke jendela, lalu berkata, "Hahahaha, mungkin..." Tangan kirinya menggapai kotak tisu yang ditempatkan di tengah meja, lalu membersihkan bekas lipstiknya di gelasku dengan tisu. Sejak satu jam tadi, dia selalu menghindari kontak mata denganku. Setiap kali berbicara, ia akan selalu menatap ke arah jendela, atau ke meja barista, atau ke meja-meja kosong di belakangku.

"Rian," katanya lalu mengatakan sesuatu dengan sangat pelan. Suaranya tertutup oleh denting gelas dan piring yang diangkat dari meja, juga suara klakson dari jalan raya di depan Cafe.

"Kenapa? Aku nggak dengar."

"Kenapa ya menjadi dewasa terasa begitu menyebalkan?" Suaranya masih terdengar pelan, nyaris tak terdengar. Di luar, gerimis turun dengan perlahan, entah sejak kapan. Satu hal yang pasti, udara di sekitar semakin lembab, dingin, dan abu-abu. Suara kendaraan di luar berganti dengan suara gerimis yang mengetuk atap dan jendela Kafe.

"Apakah ini pertanyaan retorika atau bukan?"

Dia tidak menjawab pertanyaanku. Suara hujan di luar lesap dihisap tanah, menyisakan keheningan yang panjang. Ada yang bilang, keheningan merupakan pertanda dimulainya obrolan yang panjang.

"Ketika aku kecil, dunia terasa begitu sempit. Terbatas sampai mana mataku dapat memandang, dan sejauh mana kaki kecilku membawaku melangkah. Sekarang, tinggiku hanya berbeda beberapa centimeter tapi rasanya mata ini dapat membawaku melihat hal-hal yang sangat jauh, melampaui tempat dan waktu. Mungkin aku takut ketinggian karena di tempat tinggi, seperti tempat ini." Dia menunjuk ke arah jendela. "Aku dapat melihat dengan jelas cakrawala. Langit terlihat seperti kubah besar yang mengurung kita, dan .... rasanya begitu mengerikan ya?" Lanjutnya, tersenyum dengan lugu. Ada aura kekanak-kanakan dalam ekspresinya, seakan ingin menegaskan bahwa dia bukanlah orang dewasa yang berbadan kecil, tetapi memanglah anak kecil yang tidak dapat tumbuh dewasa.

Pada saat ini, tidak banyak orang yang dapat mengapresiasi sifat kekanak-kanakan. Dibanding menyebutnya dengan kata 'tidak bertanggung jawab,' akan lebih tepat menggantinya dengan kata 'hidup untuk hari ini.' Dibanding menyebutnya dengan kata 'naive,' akan lebih tepat menggantinya dengan kata 'innocent.'

"Ah, ada-ada aja, Manda. Langit tetaplah langit. Sama saja, nggak ada yang mengerikan hanya khayalanmu terlalu out-of-the box," jawabku singkat namun dengan nada yang kasual untuk menenangkan pikiran dia.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 03, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Americano dan LatteWhere stories live. Discover now