Arwah Denial

4 1 0
                                    

"Aduh, dimana sih orang itu? Udah mati tapi tetep bikin repot!" Seorang perempuan dengan warna serta gaya rambut mencolok terlihat celingak-celinguk di tengah trotoar dekat tempat kecelakaan terjadi. 

Kini mobil yang terbalik itu sudah tidak lagi ada dan jalan raya kembali beroprasi seperti biasanya. Tapi perempuan dengan rambut ungu terkepang dua itu masih saja berdiri di tepi trotoar sembari menyisir lingkungan sekitar dengan pandangannya dengan gelisah. 

"Jangan-jangan dia tipe arwah yang denial lagi!? Haduh, bisa-bisanya dapet manusia repot begini sebagai tugas pertama setelah skors, bisa-bisa aku diskors lagi selama setahun!" Perempuan itu menggaruk kesal kepalanya, membuat kepangannya jadi sedikit berantakan. 

"Tau ah! Yang penting cari dulu." Setelah berdecak kesal, perempuan itu lantas melayang terbang begitu saja meninggalkan trotoar tersebut dan orang-orang yang sama sekali tidak memedulikan bahwa ada seorang perempuan yang baru saja terbang, seolah perempuan itu tak kasat mata. 

"Mungkin lebih baik aku mencari di rumahnya dulu," gumam perempuan itu setelah dirinya berada tinggi di atas langit. Beberapa saat setelahnya, perempuan tersebut melesat cepat di udara, terbang ke tujuan berikutnya. 

*****

Pagi hari, rumah kembali kosong. Aku yang baru bangun langsung kebingungan begitu melihat kamar Mama yang berantakan dan keberadaannnya yang tidak ada di rumah ini, padahal tidak biasanya Mama pergi tanpa pamit.

"Apa sih? Dari kemarin aneh banget deh." Aku berdecak sembari berjalan keluar rumah. Oke anggap saja Mama mungkin hanya pergi ke pasar, tapi kenapa tidak beritahu aku mau keluar? 

"Apa Mama marah ya ..." Kucoba mengingat-ingat kesalahan yang aku buat selama beberapa hari terakhir. "AH! Jangan-jangan Mama tau aku beli game baru? Aish, pasti si Danes yang kasih tau." 

Memikirkan anak itu membeberkan tentang kepergianku ke toko game beberapa hari lalu sungguh membuatku kesal, buru-buru aku menggunakan sepatuku dan berlari menuju rumahnya yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumahku. 

"DANEESSS!!!" Begitu sampai di depan gerbang rumahnya, langsung kupanggil namanya keras-keras.

BRAK!

Bukannya dia yang terkejut, justru malah aku yang kaget dengan pitu rumahnya yang dibuka dengan kasar. Dilihat dari raut wajahnya yang kacau dan matanya yang sedikit memerah seolah menahan tangis, sepertinya dia tidak menyadari keberadaanku di depan rumahnya atau bahkan teriakanku tadi. 

"Dane-"

Pemuda yang juga baru menginjak umur 20 tahun sepertiku itu membuka pagar tanpa sedikit pun menoleh atau melirik padaku. Tapi dari semua itu, apa-apaan wajahnya yang pias itu? Sebenarnya dia ini kenapa sampai terlihat sesedih itu?

Begitu pagarnya terbuka, Danes kembali masuk ke rumah setelah dia membuka pintu belakang mobilnya. Tanpa pikir panjang, aku masuk dan duduk di dalamnya. 

"Pak, Danes pinjem dulu mobilnya ya!" Seruan Danes terdengar dekat, aku refleks menoleh. Dia datang dengan membawa tas besarnya, entah apa isinya. Melihat dia mendekat ke arahku dengan tasnya, aku refleks bergeser hingga menyisakan tempat yang cukup untuk tas Danes dilempar masuk olehnya.

Mobil langsung bergerak begitu Danes berada di kursi pengemudi. Wajahnya tidak berubah dari saat pertama kali aku melihatnya hari ini. 

Tiba-tiba, bunyi dering ponsel memecah keheningan di dalam mobil. Tanpa mengalihkann pandangannya dari depan, Danes menyambar ponselnya yang berada di samping kursi pengemudi sebelum aku sempat melihat nama pada layarnya. 

Danes hanya menjawab pendek-pendek lantas dia menutup panggilannya begitu saja. 

"Siapa?" Aku bertanya, tapi tidak digubrisnya. 

Am I Dead!?Where stories live. Discover now