Chapter 18

13 12 6
                                    

"Bibia, lo gue taro di halte depan sekolah aja yah. Gue mau jemput Enjel dulu soalnya," ucap Angkasa mengundur kecepatan laju motornya agar suaranya bisa terdengar oleh Bia. "Iya, gak apa-apa."

Sepertinya Bia harus membiasakan diri tanpa Angkasa, meskipun itu akan sedikit sulit. Sekarang Angkasa sudah jadi milik Enjel, akan sangat merepotkan jika dia harus menjemput Bia dahulu kemudian menjemput Enjel yang rumahnya berlawanan arah.

Mengenai Axel, sebelum berangkat sekolah Bia mendapat pesan dari Axel yang mengatakan kalau dia akan menjemput Bia agar mereka berangkat bersama ke sekolah. Tapi, Bia menolak karena akan berangkat dengan Angkasa.

Meskipun beberapa hal dalam hidup Bia kembali terisi setelah kabar hubungannya dengan Axel yang hanya sebatas teman terungkap, tetapi sekarang Bia merasa ada ruang kosong yang menganga dalam hatinya. Seperti kobaran api yang membakar kayu hingga jadi abu. Tentang hadiah dari sang kakak, sang Mama, Angkasa, Kiki, dan banyak hal yang memenuhi pikirannya.

Bia seperti kehilangan banyak hal dalam dirinya, bahkan Bia tidak bisa lagi menangis sekarang. Bia lupa kapan terakhir kali dia menangis di hadapan sang Mama, Bia tidak pernah lagi menangis di hadapan semua orang semenjak dia melewati masa kritisnya.

Angkasa, hanya dia lah satu-satunya orang yang menjadi tempat Bia menampung air mata. Angkasa satu-satunya orang yang dia biarkan untuk melihat air matanya, selain karena Angkasa merupakan sepupunya, juga karena Angkasa adalah teman masa kecilnya yang selalu menggenggam tangannya, memberinya pelukan dan rasa nyaman. Meskipun Angkasa sendiri tidak mengetahui apapun, tapi dia selalu bisa mengerti Bia.

Bia, yang selalu terlihat baik-baik saja tapi tidak sepenuhnya baik. Tentang keluarga, ada banyak hal yang di sembunyikan darinya. Apakah hal itu masih bisa dikatakan disembunyikan darinya jika dia sendiri sudah mengetahuinya? Bia tahu semua yang terjadi dalam keluarganya, hanya saja dia memilih untuk tidak tahu, meskipun itu melukainya.

Sahabat, Kiki yang perlahan sudah hilang dari jangkauannya. Kiki yang bisa menjadi sosok Ibu untuk Bia, Kiki yang selalu mengkhawatirkan nya dan melindunginya. Dan sekarang, apakah Bia juga akan kehilangan sosok Angkasa? Tentu, Angkasa hanya sepupu yang merangkak jadi sahabatnya, sejak awal angkasa hanya figuran yang akan menghilang kapanpun saat dia sudah menemukan kebahagiaannya.

"Bia buruan turun, lo ngelamun apa lagi pingsang sih," ucap Angkasa saat Bia belum juga turun dari motornya. Bia menghela nafas panjang kemudian turun, membuka helm yang melindungi kepalanya lalu memberikannya kembali pada Angkasa.

"Udah masuk sana, gue pergi dulu," Bia hanya mengangguk, kemudian menyebrang jalan menuju sekolahnya. Sudah banyak siswa siswi yang datang, tidak ada lagi tatapan mata yang menatap Bia. Semua kembali seperti semula, Bia yang tidak dikenal.

Saat menaiki tangga menuju lantai dua, Bia berpapasan dengan Mariska bersama teman-temannya. Seolah tidak pernah terjadi apapun, mereka saling melewati tanpa senyum apalagi sapaan. Lagipula Bia juga tidak peduli, baginya sosok Mariska yang populer di sekolahnya bukan lagi sosok yang harus dikagumi dan dijadikan figur yang katanya patut dicontoh itu.

"Angga?" Bia memperhatikan dengan baik sosok laki-laki yang berjongkok di depan kelasnya, tubuhnya bersandar di tembok. "Angga, Lo sakit?" Tanya Bia panik saat melihat wajah Angga yang pucat, beberapa bulir keringat menguap di wajahnya.

"Gak," Angga berusaha berdiri, tangannya mengepal. Dia berusaha tersenyum pada Bia. "Lo gak baik-baik aja Angga, biar gue antar ke UKS," ucap Bia kemudian menarik tubuh Angga dan memapahnya ke UKS.

Di UKS, Angga berbaring sendiri. Dia sudah meminta Bia kembali ke kelas karena sudah masuk jam pelajaran pertama. "Maaf Bi, gue hanya bisa jadi laki-laki pengecut yang terus memendam perasaannya," gumam Angga. Matanya tertutup, sebutir air mata melesat keluar di ujung matanya. Bibirnya memancarkan senyuman, saat mengingat sosok perempuan yang bertengkar dengan Angkasa karena sebuah susu coklat.

Sedangkan di dalam kelas, Enjel dan Bia sedang mengikuti mata pelajaran yang membuat mereka senam jantung pagi-pagi. Kuis dadakan pada mata pelajaran matematika di jam pertama. Dulu ada Kiki yang selalu jadi penyelamat mereka saat ada kuis dadakan, lalu sekarang siapa yang akan menjadi penyelamat mereka? Apakah Tuhan bisa mengirimkannya Superman sekarang juga,

"Bintang, Angelia, Reza, dan lima orang yang di belakang," suara yang keluar dari mulut kecil yang terlihat imut itu ternyata lebih menyeramkan dari suara rawrr milik Dilanda kw. "Sekarang kalian pergi ke perpustakaan dan kerjakan masing-masing tiga soal dari buku paket, kerjakan dengan benar! Kumpul sebelum jam pelajaran saya selesai,"

"Sekarang Bu?" Reza emang gak ada otak. "Sekarang!!!" Nah, loh mampus. Mereka kemudian bergegas keluar kelas dengan membawa buku mereka ke perpustakaan. "Kalau sampai diantara kalian ada yang malah bolos ke kantin, siap-siap nilai kalian berwarna merah." Mengapa guru matematika selalu menyeramkan?

Di perpustakaan, Bia yang sebelumnya sudah fokus mengerjakan tugasnya, ralat bukan mengerjakan tapi memperhatikan soal-soal yang membuatnya pusing. Menoleh saat seorang laki-laki duduk di dekatnya. "Hai Bia, gue Vano, ingat kan?" Ucap Vano melambaikan tangannya, menyapa.

Sekarang rambutnya tidak diikat dua, tapi diikat jadi tiga bagian. Rasanya Bia ingin mengusirnya dari dunia, lihatlah bagaimana dia tersenyum memamerkan giginya, tampak mengesalkan. "Kak Vano, gue lagi kerja tugas. Bisa jangan ganggu dulu!" Ucap Bia pelan namun penuh penekanan.

Vano melirik buku yang berisikan goresan-goresan beberapa angka dan simbol. "Soal ini doang? Gampang, sini gue yang kerja," Ucap Vano kemudian menarik buku Bia dan mengambil pulpen yang ada di saku bajunya. Mengerjakannya dengan teliti.

Sekarang tersisa Bia yang belum menyelesaikan tugas ini, Enjel sudah lebih dulu selesai karena mendapat tugas yang lebih mudah. Dan yang lainnya entahlah mereka benar-benar sudah selesai atau belum, yang pasti mereka sudah tidak ada di perpustakaan.

"Udah selesai," saat Bia hendak mengambil bukunya, Vano menariknya menjauh sehingga tidak digapai oleh Bia. "Gue perlu bayaran," ucap Vano menaik-turunkan alisnya. "Apa?" Tanya Bia malas.

"Bagi ke gue nomor teman lo yang pakai poni itu," ucap Vano lagi-lagi memamerkan giginya. "Enjel? Dia pacar Angkasa," tutur Bia pelan.

"Wah gak boleh dibiarin nih," ucap Vano membuat Bia mencibir, "Emang lo berani?" Tanya Bia sukses membuat Vano cengengesan, "Nggak sih, hehehe,"

"Atau gue culik Lo aja, biar lo jadi tahanan gue," Vano tampak berpikir dengan serius, melipat tangannya di depan dada. "Terus?" Tanya Bia, sepertinya Vano tidak buruk untuk dijadikan teman mengobrol.

"Setelah gue culik lo, gue bakalan telpon Angkasa terus bilang gini -Halo, ini saya yang menculik Bia, silahkan kirim uang satu miliar untuk menebusnya," ucap Vano menirukan cara menelpon dengan suara yang berbeda.

"Satu miliar doang? Murah banget, gue ini berharga tau," ucap Bia pelan diakhir kalimatnya, "Kalau gitu kita ganti jadi satu triliun deh. Tapi, emang Angkasa punya uang satu triliun?" Tanya Vano, sedangkan Bia hanya mengangkat bahunya tidak tahu.

"Kalau dia gak mau bayar gimana?" Tanya Bia mulai kembali meladeni Vano yang sepertinya masih memikirkan apakah Angkasa punya uang satu triliun atau tidak. "Kalau dia gak mau bayar gue bakalan bunuh lo, gitu aja nanya,"

"Emang Lo tau cara bunuh orang?" Bia kembali bertanya mengalihkan konsentrasi Vano yang masih berusaha berpikir, sepertinya dia sedang menghitung perkiraan harta kekayaan Angkasa.

"Belum tau pasti sih. Tapi setau gue, bunuh orang bisa pakai pisau atau racun," ucap Vano. Dia kemudian mengambil hpnya yang ada di saku celananya, "Tunggu, gue cari tutorial dulu,"

'Tutorial cara membunuh orang yang disandera'

•••••
Heii, saya kembali pemisra🐈

Selamat membaca, jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen 😻

See you chapter selanjutnya, much😽

Nightmare ~17Where stories live. Discover now