Bab 8

3.5K 213 3
                                    


Tiga jam itu berlalu dengan sangat lamban bagi Raveen. Ia baru dapat bernapas lega ketika akhirnya ia berhasil menyeret Diane secara paksa untuk segera keluar dari bangunan sederhana yang membuatnya berang. Sebenarnya bukan karena bangunan itu, tapi karena suasana hati Raveen yang sedang tidak keruan.

Terutama karena Diane dan klien dokternya itu yang terus menerus membuat Raveen bosan dengan pembicaraan feminim mereka. Entah itu topik mode gaun terbaru, warna kesukaan, bahkan pembicaraan yang amat membosankan itu melebar sampai ke bagian karakter dan ego laki-laki.

Diane semestinya tahu bahwa ia dan Meilyn tidak pantas membahas hal itu di depan Raveen. Tapi Raveen berani bertaruh nampaknya Diane menikmati situasi yang membuat Raveen jengkel itu. Bahkan berusaha mengendalikannya dengan sangat baik.

Diane mengatakan bahwa semua lelaki itu sama kerasnya. Ia mengklaim pernyataan tersebut atas nama Shimon dan berulang kali mencuri-curi pandang dengan Raveen. Tersenyum ketika merasakan wajah Raveen mulai berwarna merah padam. Terus membangkitkan topiknya walaupun sang dokter sudah beralih pada topik lain.

Demi Tuhan, Raveen ingin sekali mencekik Diane dan memotong lidah tajamnya yang berani itu.
Tapi Raveen tahu bahwa semua itu hanya akan jadi fantasinya saja. Dalam kurun waktu yang tidak bisa ditentukan, Raveen harus membiasakan diri dengan sikap keras kepala dan lidah tajam Diane.

Ia cukup puas ketika melihat reaksi Diane yang kesal saat Raveen tidak berusaha mengunjukkan emosinya sedikitpun akan semua komentar itu. Bahkan terlihat begitu tenang seperti air. Dan sekarang mereka kembali duduk bersampingan di dalam mobil. Dengan suasana hati yang bukan hanya sekedar tidak menyenangkan, namun benar-benar tidak menyenangkan.

Ketika akhirnya Diane menghentikan salam perpisahannya dengan sang dokter dari balik kaca mobil, Raveen segera menginjak pedal gas dan membawa mobil menjauh dari bencana itu. Ia tersenyum singkat lalu menghela napas. Tapi seharusnya Raveen tahu bahwa pertaruangan tidak akan pernah berakhir.

"Aku tidak suka kalau kau mencampuri urusanku lagi, Detektif!" komentar ketus Diane tidak segera digubris oleh Raveen. Kemudian Diane menyentak wajahnya dengan kesal.

"Aku minta maaf," kata Raveen akhirnya. Ia memutar kemudi berbelok pada pertikungan jalan. "Aku pikir masalah klienmu tidak akan pernah selesai kalau kalian terus membicarakan soal warna kesukaan,,"

"Itu urusan kami!" sela Diane sambil memutar tatapan sengitnya. Ia mengacungkan jari telunjukkan ke wajah Raveen. "Kau, sebaiknya tidak melakukan hal yang sama dilain waktu atau aku akan memecatmu."

Raveen terkekeh. Diane berang.
"Aku tidak bekerja untukmu, Manis."

"Ya, kau bekerja pada Sam. Tapi kau menjagaku. Aku bisa dengan mudah mengatakan pada Sam untuk mencari pengawal lain yang jauh lebih baik."

"Memangnya ada yang jauh lebih baik dari aku?"

"Tentu ada," nada suara Diane berkesan yakin dan mantap. "Pasti ada."

"Lupakan saja, Sam menyewa aku untuk menjamin keselamatanmu. Dia tidak akan menuruti kemauanmu hanya karena kau tidak suka padaku."

"Sebaiknya kau diam!" pinta Diane dengan sedikit ketus. Wanita itu berdesekap dengan kesal.

"Aku lupa siapa yang memulai percakapan ini," tidak ada komentar sinis Diane yang menyusul, jadi Raveen melanjutkan tugasnya dengan rasa puas. "Baiklah, Miss Hampton kemana kita akan pergi sekarang?"

"Kau, sebaiknya pulang dan beristirahat. Aku akan menyetir sendiri."

"Jangan bodoh. Kau tahu aku tidak akan melakukannya."

"Kalau begitu jangan banyak berkomentar dan bawa saja aku ke kedai kopi pusat di kota!"

Matahari telah tenggelam dan cahaya jingga bagai kabut tebal yang mengelilingi awan mulai merekah ketika mereka sampai di kedai satu seperempat jam kemudian. Raveen berhasil menerobos kemacetan dan tiba di kedai sesuai waktu yang diminta Diane. Sebenarnya, mereka terlewat lima belas menit lamanya. Tapi Jules dan Regan mungkin bisa menolerir.

MurdererTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang