Empat

16 3 0
                                    

Ren dan Verdi turun dari atap gedung setelah satpam bersusah payah membuka pintu yang telah disegel oleh Ren sebelumnya. Mereka digiring dengan tongkat hitam menuju lift. Pak satpam berdiri di tengah-tengah dengan tampang sok seram. Sesekali dia melirik wajah Ren dan Verdi yang sejak tadi diam saja.

"Kamu harus berhenti ke atap bangunan ini, Nak Verdi," satpam itu tiba-tiba berbicara.

Ren refleks menolehkan kepala. Dia cukup terkejut mengetahui satpam ini kenal dengan Verdi, si Cowok Prik.

"Saya cuman cari angin kok, Pakde," balas Verdi ramah. Senyuman yang dia tampilkan benar-benar membuat Ren mual dan merinding.

Pintu lift terbuka di lantai dasar. Ren segera keluar tanpa menunggu Verdi maupun pak satpam lebih dulu. Dia melangkah lebar-lebar menyusuri lobi yang cukup sepi.

Buk!

Bahu Ren tersenggol. Sangking kuat benturan yang dia dapat, Ren sampai tergeser dua langkah dan nyaris jatuh ke lantai.

"Sori," ucap cowok yang menabraknya barusan. Kemudian tanpa basa-basi, cowok itu pergi dari sana.

Ren berdecak kesal. "Mati aja lo anjing!" ketusnya.

Cowok asing itu tidak mendengar sumpah serapah Ren sebab fokusnya hanya tertuju pada satu titik, yaitu Verdi. Dan tanpa basa-basi, dia langsung menendang kaki Verdi kuat-kuat, tidak peduli jika perlakuan kasarnya barusan dilihat oleh pak satpam. Ren dibuat menganga lebar, terlebih lagi ketika melihat pak satpam yang hanya diam menyaksikan.

"Woi! Sini lo!" seru cowok itu saat Verdi berlari ke arah Ren.

"Ren, ayo lari!" Verdi menarik tas sekolah Ren yang masih terdiam di depan pintu lobi.

Nyaris terjungkal, Ren akhirnya terpaksa mengimbangi langkah kaki Verdi yang lebar-lebar.

"Woi! Berhenti gak lo!" cowok asing yang menabrak Ren menyusul tak jauh di belakang.

Ren menoleh sebentar, kemudian menatap punggung Verdi. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini. Hanya karena tasnya ditarik, dia jadi terpaksa ikutan berlari dari kejaran cowok asing berseragam sama sepertinya.

"Eh?" Ren menoleh lagi. Ditelitinya lebih detail penampilan orang yang mengejar. Agaknya, wajah itu tidak asing di ingatan. Ren merasa pernah bertemu sebelumnya.

"Regi!" seru Ren tertahan. "Itu Regi kan?"

Verdi menoleh sebentar kemudian menarik Ren masuk ke gang sempit  yang dihimpit dua gedung perumahan.

"Kamu kenal dia, Ren?" tanyanya sambil membawa Ren bersembunyi di balik WC umum. Verdi memastikan cowok bernama Regi tidak mengetahui tempat persembunyian mereka, lantas dia menarik Ren lebih jauh, bersembunyi di balik pohon-pohon pisang. "Kamu kenal dia?" tanyanya sekali lagi.

Dengan napas ngos-ngosan, Ren mengangguk. "Kakel," jawabnya singkat.

Verdi mengangguk dan tidak bicara apa-apa lagi sebab napasnya sama seperti Ren, ngos-ngosan. Malahan dia lebih parah, hampir seperti orang yang asmanya kumat.

"Ck! Lari ke mana sih?" Regi yang tiba di depan WC umum berseru kesal. Cowok itu mengelap keringatnya sebentar, kemudian masuk ke bilik toilet, mencari Verdi dengan brutal. "Gak usah ngumpet lo! Buruan keluar!" ujarnya emosi.

Muka Verdi tegang, takut ketahuan. Beberapa kali dia menahan napasnya yang ngos-ngosan. Melihat itu, Ren ikut melakukan hal yang sama.

Tunggu dulu! Ren menatap baik-baik wajah Verdi kemudian melirik Regi dari balik dinding WC umum. Buat apa dia ikut-ikutan bersembunyi padahal dia sama sekali tidak punya urusan apa-apa dengan Regi? Lagipula, bukannya akan seru jika dia membuat Verdi terkena masalah? Dengan begitu dia akan terbebas dari Verdi kan?

Ren menyeringai saat muncul niat licik di benaknya.

"Jangan teriak, Ren," bisik Verdi seolah bisa membaca isi pikiran anak SMA itu. "Atau kita berdua bakalan mampus," lanjutnya serius.

Ren mengerutkan dahi. "Emangnya kenapa sih?"

"Ssssttt!" Verdi bergeser melihat Regi pergi dari WC umum dan berlari kencang lurus ke depan. Setelah memastikan aman, dia keluar dari tempat persembunyian, membawa serta Ren yang masih tidak paham akan situasi yang agak gak jelas ini.

"Lepas!" sentak Ren menyadari pergelangan tangannya berada dalam genggaman Verdi.

Verdi menoleh sedikit terkejut. "Sori," ujarnya singkat.

Ren merasa deja vu. Matanya menyorot tajam wajah Verdi, mencari alasan mengapa dia mendadak tidak asing dengan orang ini.

"Saya tau saya ganteng, Ren, gak usah dipelototin gitu dong."

"Najis!" Ren langsung berbalik, melangkah lebar-lebar ke arah berlawanan dengan Regi.

"Ren, tunggu!" Verdi segera menyusul. Tanpa perlu usaha lebih berarti, dia sudah berjalan bersisian dengan cewek SMA itu.

"Lo mau apa lagi sih?" tanya Ren galak.

"Mau nemenin kamu pulang."

"Kayak tau aja rumah gue di mana."

"Emangnya di mana?"

Ren melayangkan tatapan risih, yang hanya dibalas Verdi dengan senyum lebar dan ekspresi sok polos. Sumpah, mengingat umur Verdi yang sudah 21 tahun tapi kelakuannya seperti anak SMA polos,  membuat Ren ingin membanting cowok itu di jalan beraspal ini dengan kekuatan penuh.

"Ren, udah saya bilang saya tau saya ganteng. Jadi gak usah dilihatin gitu lah."

"Cuih! Pih! Najis! Mati aja lo!"

Ren mempercepat langkahnya, setengah berlari. Dia tidak tau apa maksud dan tujuan Verdi yang terus mengikutinya ke mana-mana. Dia juga tidak tau kenapa Verdi tadi dikejar-kejar Regi bak buronan.

Yang Ren tau adalah dia terpaksa pulang ke rumahnya lagi, terpaksa berurusan dengan piring-piring dan pakaian kotornya lagi, dan terpaksa mencari cara terbaik untuk mengakhiri hidupnya lagi.

Dalam hati, Ren berharap tidak ada hari esok lagi untuknya.

***

4 November 2022

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

4 November 2022

LimitWhere stories live. Discover now