Enam Belas

8 1 0
                                    

Verdi jadi lebih sering menjemput Ren pulang sekolah. Cowok itu akan mengajak Ren jalan-jalan dan mencari makan, atau sekedar duduk-duduk santai di teras rumahnya. Beragam kegiatan absurdnya sudah tidak mengherankan lagi di mata Ren. Ren sudah terbiasa.

Seperti sekarang ini, Verdi sedang sibuk menata kerikil menjadi menara di halaman rumah Ren. Lagu-lagu dari playlistnya setia menemani. Sementara kameranya yang dipasangi tripod sudah merekam sejak lima belas menit lalu.

Ren berjongkok di samping Verdi, menatap menara kerikil setinggi betis itu dengan tatapan jenuh.

"Perrr," panggilnya malas.

"Apa?" balas Verdi tanpa mengalihkan pandangannya dari menara kerikil, dia benar-benar fokus.

"Lo ngapain sih?"

"Bikin Monas."

"Puncaknya dikasih emas gak?"

"Boleh juga tuh."

"Serius lo?"

"Iya."

Ren menghela napas panjang. Baiklah, Verdi memang anak orang kaya. Duitnya nggak habis-habis. Hari ini saja kendaraan yang dibawanya sudah beda lagi. Bukan pajero ataupun beat, melainkan mobil fortuner hitam yang katanya milik ayahnya. Jadi, membeli emas untuk pelengkap menara kerikilnya bukan sesuatu yang mustahil.

"Ya udahlah, gue mau ke dalem, mau minum. Lo mau gak?"

"Mau. Air putih ya."

Ren mengangguk kemudian beranjak dari tempatnya. Belakangan ini dia jadi agak baik kepada Verdi. Soalnya cowok itu sudah keluar uang banyak untuk membelikan dia makanan. Meskipun bagi Verdi itu bukan masalah besar tapi Ren cukup tau diri. Walau tidak bisa mengganti uang tersebut dengan uang juga, setidaknya Ren bisa berbuat sedikit baik. Sedikit.

Perubahan sikap Ren sebenarnya cukup mengusik Verdi. Aneh rasanya ketika cecaran yang dia terima tidak sebrutal sebelumnya. Tapi Verdi memilih untuk tidak membahas hal ini dengan Ren selama beberapa waktu ke depan. Dia mau melihat sisi baik Ren sebentar.

"Permisi." Suara dari luar pagar menarik perhatian Verdi.

Verdi segera meletakan kerikil di tangannya ke tanah, kemudian berdiri menyambut kedatangan orang asing itu. Dilihat dari tampilannya, umur mereka tidak jauh beda. Mungkin Verdi 2 atau 3 tahun lebih muda.

"Iya, kenapa?" tanya Verdi, menepuk-nepuk kedua tangannya yang berdebu.

"Anu, Mas, ini rumahnya nenek Wita bukan ya?" Orang asing itu bertanya sopan, matanya sesekali melirik ke pintu rumah yang terbuka. Kemudian ke menara buatan Verdi yang agak menarik perhatian.

"Bukan," jawab Verdi tanpa perlu berpikir ulang. "Ini rumah Ren. Dia bukan nenek-nenek."

"Oh, bener berarti rumahnya Nek Wita."

"Ha? Ini rumah Ren, bukan rumah nek Wita."

"Iya, Mas, Ren itu cucunya nek Wita."

"Ohh, gitu." Verdi manggut-manggut, sedikit malu karena sempat lemot. "Ada apa ya, Bang? Kalau nyari nenek-nenek kayaknya gak ada deh. Saya gak pernah lihat ada nenek-nenek di rumah ini."

"Enggak, kok, Mas. Saya mau ketemu Ren. Nek Wita kan sudah meninggal."

"Ohh, gitu." Verdi manggut-manggut lagi. "Ada perlu apa sama Ren? Abang ini siapa?"

"Saya Andi. Adik dari ibunya Ren."

"Omnya ya?"

"Iya, bisa dibilang begitu. Ada yang mau diomongin sama Ren. Ren-nya ada?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 11, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LimitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang