Breakup

1K 114 7
                                    

Langkah kaki gue semakin berat ketika gue mendekati meja kafe itu. Dari awal di dalam mobil pun semua udah terasa berat. Ada bagian dari dalam diri gue yang gak rela untuk melakukan semua ini. Ada bagian dalam diri gue yang bilang kalau hey, Jessica mungkin cuma ngetes lo! Tapi, ada bagian lain dalam diri gue juga yang berkata Daniel, lo udah gede. A man has to do what man has to do.

Gue duduk dengan berat di kursi kayu itu. Rasanya kayak kursi itu dibawahnya ada arangnya. Gue gak bisa duduk dengan nyaman. Semuanya terasa gak nyaman buat gue.

Nunggu setengah jam rasanya kayak nunggu 3 tahun. Di beberapa kesempatan, gue merasakan kaki gue melompat dari kursi dan pengen masuk mobil untuk membatalkan rencana gue ini. Kemudian gue pulang ke rumah dan telponan sama Jessica seperti biasa. Seperti hari-hari normal pada umumnya.

Terakhir, setelah Jessica molor 20 menit, gue mulai berpikir mungkin Tuhan mengijinkan hubungan ini untuk lanjut. Baru gue ingin bangkit dan masuk mobil...

"Dan! Sori, nunggu lama, ya?"

Bulu kuduk gue meremang seluruh tubuh. Goosebump.

Pantat gue kembali menempel di kursi secara otomatis. Jessica duduk di depan gue dan tersenyum ke arah gue dengan amat sangat manis. Rambutnya yang digerai dan poni yang dijepit, parfumnya yang wangi bunga, lipgloss tipisnya, dan baju-baju bermodel longgar yang menonjolkan collar bone Jessica yang bagus. Kepala gue seperti berputar.

"Kenapa kamu lesu banget, sih?" tanya Jessica.

Gue menggeleng. "Gak pa-pa," jawab gue tersendat. "Gimana kuliahnya tadi?"

Dan serentetan cerita Jessica pun dimulai. Dia bercerita tentang materi kuliahnya yang semakin sulit di semester-semester awal ini, dia bercerita soal ujian dan tugas-tugas yang menghabiskan uangnya dan membuat dia sering pergi ke tukang fotokopi dan rental karena tidak punya printer, dan dia bercerita soal teman-teman absurdnya.

Lorong waktu itu beneran ada gak? Karena saat ini, setelah beberapa hari merasa bahwa kami berdua adalah serangkaian hubungan yang gagal, gue kembali melihat Jessica yang sama seperti yang gue lihat dulu. Yang membuat gue jatuh cinta in a first place. Di trotoar bau pesing dekat sekolah gue dan dia itu.

Seakan gue kembali ke masa SMA kami dimana kami berdua bersebelahan membaca novel sambil mendengarkan lagu dengan headset yang sama. Kemudian kami berdua rebutan ganti lagu, atau sesekali tukeran novel bacaan. Jaman dimana dia masih pake Samsung-Samsung busuknya yang kecil-kecil (berbanding terbalik dengan jarinya yang cukup besar) dan berkali-kali ilang melulu, dan gue masih pake Lumia kuning gue yang isinya games semua itu.

Seperti itulah prinsip lorong waktu di sudut pikiranmu, anak-anak. Menarik kamu kembali pada kenangan pahit yang sebenarnya manis, tapi datang di saat yang tidak tepat.

Tapi... ada satu hal dalam hati gue yang benar-benar kuat. Hubungan ini harus berakhir. Dia terlalu berharga untuk sebuah hubungan yang terancam rusak. Jessica terlalu berharga untuk sesuatu yang tidak bisa dijamin keabadiannya. Ini bukan yang terbaik buat gue dan Jessica.

"Jess, aku harus ngomong sesuatu sama kamu."

Jessica tersenyum dan menopang dagunya. "Yaa? Bilang aja, gak usah takut!" katanya dengan manis, seakan kemarin dia gak maki-maki dan manggil gue 'bencong' karena memohon sama dia untuk berhenti berkelahi dan mencari solusi damai.

Sekali tarikan napas, gue berkata:

"Jess, kita putus."

Yap, sad ending.

Inilah akhir dari cerita cinta yang selalu gue banggakan di depan mereka. Maap ya, Om Glenn, minjem lagunya untuk mewakili perasaan saya yang tersayat-sayat ini.

Wajah cantik yang bersinar itu tiba-tiba pudar cahaya dan kilauannya. Pipinya mulai merah dan matanya mulai berkaca-kaca.

"Kita... putus?"

Gue membuang pandangan gue ke arah lain karena gak kuat melihat kabut tebal di wajah Jessica gue yang selama ini selalu bersinar itu. Gue pun mencoba menjelaskan sejelas mungkin pada Jessica "Ada yang udah beda dari kita. Banyak. Banyak banget. Kamu beda, aku beda, kita beda. Aku sayang sama kamu... tapi perbedaan ini bikin aku pusing. Maaf."

Dahi Jessica mengkerut. Matanya menyipit dan memeras airmata yang dari tadi ngegantung di pelupuk matanya. Tangan Jessica meremas-remas tisu kuat-kuat. Rasanya pasti sekarang dia sedang mencoba mencerna realita yang dia terima.

Gue iba ngeliat Jessica yang ada di depan gue saat ini. Perlahan, gue mengulurkan tangan gue untuk mengenggam tangan Jessica dan menenangkan dia. Tapi, dia menepisnya dan dia lari gitu aja ninggalin gue dengan tangannya yang nutupin tangisannya.

"JESSICA!" seru gue.

"Eeeh, Mas, Mas! Mentang-mentang putus, jangan lupa bayar billnya!" cegat salah satu waiters.

Cepat-cepat gue merogoh kantong gue, dan damn! Karena acara gosip sialan si Widi dan Andi, gue ninggalin dompet gue gitu aja di atas TV.

"Bentar! Gue bakal balik lagi! Nih, jaminannya kunci mobil gue!" Gue menjejalkan kunci mobil gue pada waiters reseh itu dan ngejar Jessica lagi.

Jessica masih belum jauh. Dia gagal kabur karena kelamaan nyari taksi. Buru-buru gue mencekal tangannya dan menyiapkan segenap keberanian gue untuk menatap mata cewek yang udah gue sakiti sampai seperti sekarang dan berkata...

"Aku gak bawa duit. Bisa bayarin billnya gak?"

Nista banget hidup gue.

Dengan muka berkerut, Jessica ngeluarin dompetnya dan ngejejelin tujuh puluh ribu ke dada gue, dan lari ninggalin gue ke sebuah taksi yang berhasil distop sama dia.

Gue memperhatikan taksi itu menjauh dari hadapan gue. Siluet Jessica yang awalnya jelas makin lama makin gak jelas. Akhirnya, gue berbalik dan kembali ke kafe untuk bayar bill.

Yep. Inilah Daniel Adiwijaya si labil pemikir bodoh.

Man On A Wire  (Breakeven Side Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang