Ghinta Rekor MURI

18 3 14
                                    

'Kisah seorang siswa yang sangat inspiratif karena memanfaatkan rasa bosan menjadi sebuah prestasi. Ghinta Nadia, siswa SMK Cerama Tamam—seorang penulis muda yang memecahkan rekor MURI dan membawa nama harum sekolahnya. Ghinta mengaku bahwa selama dia menulis novel hanya untuk mengisi rasa bosan saja. Ghinta menambahkan bahwa awalnya dia tidak tahu ada yang mendaftarkan dirinya ke Museum Rekor. Ghinta dinobatkan sebagai penulis muda yang berhasil menulis novel sebanyak 60 karya fiksi, motivasi dan inspiratif dalam kurun waktu kurang dari setahun. Ghinta menyatakan bahwa semua itu adalah keberuntungan.'

"Gila! Ini beneran dia? Keren!" Aku melotot ketika membaca koran yang baru saja selesai cetak di tempatku magang, yaitu percetakan Bukain Aja. Aku masih tidak bisa percaya dengan berita yang baru saja kulihat. Pasalnya, nama yang tertulis di sana mirip sekali dengan nama teman lamaku. Lalu, aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya kepada salah satu rekan kerja yang sombong itu mengenai sosok Ghinta Nadia ini. Barang kali, dia memang benar orang yang kukenal.

"Mm, maaf. Ini yang wawancara siapa, ya?" tanyaku sambil menunjukkan berita itu kepada Kak Adib yang sedang fokus dengan komputernya. Aku tahu, mengganggu Kak Adib pada saat yang tidak tepat akan membuatnya kesal. Sebentar lagi, dia pun akan mendelik ke arahku. Tidak salah, jika aku menilainya sombong. Benar saja. Kak Adib melirik dengan mata tajamnya dan aku tidak bisa menghindar dari tatapan itu.

"Maaf, mengganggu. Cuma penasaran," tambahku cengengesan, menutupi rasa malu dan gugup.

"Jangan males baca!" sahutnya datar tanpa menengok ke arahku. Bikin kesal saja.

Sontak, aku langsung melihat kembali isi koran tersebut. Ah, betapa tidak terkejutnya aku, ternyata yang mewawancarai penulis itu adalah Kak Adib sendiri. Seharusnya aku sudah menebak itu dari awal sebelum bertanya kepadanya secara langsung. Sebuah kesialan, jika aku harus bertanya-tanya kepadanya. Di dalam kamus Kak Adib, tidak menerima orang cerewet dan lamban seperti diriku. Mana setiap berita tidak pernah bagus dan selalu mendapatkan penolakan dari Pimred. Beda dengan dia yang selalu mendapatkan pujian dan beritanya selalu dimuat di halaman pertama. Mungkin dari itu Kak Adib tidak pernah mau berdiskusi denganku mengenai bahan berita.

"Hei, Bul! Lagi ngapain?" tanya Oka yang baru saja datang ke kantor. Segera aku menghampirinya dan memperlihatkan berita besar ini kepadanya.

"Eh, sini, deh. Kamu lihat berita ini. Ini Ghinta temen SD kita, bukan?"

Oka mulai fokus membaca. Kepalanya mengangguk pelan, seakan memberi tahu bahwa yang ada di dalam pikiranku sama dengannya. Aku jadi tidak sabar, mendengar pendapat dari Oka mengenai Ghinta ini.

Oka menatapku. "Kurasa ini emang beneran dia, deh! Seingatku, Ghinta emang masuk sekolah sana dan ambil jurusan Broadcasting. Wajar aja, sih, kalo dia punya prestasi yang bikin bangga sekolahnya."

Aku menghela napas. Ternyata keinginan Ghinta menjadi penulis terkenal dan berprestasi, akhirnya membuahkan hasil juga. Aku jadi penasaran dengan perjalanan dari awal sampai akhirnya mendapatkan sertifikat yang berharga dan membanggakan banyak orang. Kali saja, aku dapat mengikuti jejaknya untuk menjadi seorang murid yang sukses dan terlepas dari pekerjaan magang ini yang memaksaku untuk terus mencari berita terbaru.

"Kamu tahu rumahnya?" tanyaku bersemangat.

"Enggak. Emangnya kenapa?"

"Yah!" Nada suaraku berubah menjadi rendah.

Tiba-tiba Oka menarik tanganku menjauhi tempat sebelumnya. Tampak Kak Adib melirik ke arah kami, kemudian mengabaikan. Oka mulai berbisik, "Ini berita yang dibuat oleh Kak Adib, 'kan? Kamu yakin mau tahu rumahnya Ghinta?"

"Terus hubungannya apa, rumah Ghinta sama Kak Adib?" Aku jadi ikut berbisik.

Oka mengintip Kak Adib yang masih fokus mengetik naskah.

Bukain Aja [N9 SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now