Wow!

8 2 14
                                    

Seorang gadis sudah duduk di sofa dan menghadap ke arah kami. Posisinya, hanya dia yang duduk dengan sofa empuk berwarna hitam pekat dan kami-para anggota redaksi duduk dengan menyilangkan kaki di atas karpet berbulu. Ini sangat menggelikan. Aku tidak betah, jika duduk di bahan yang seperti ini. Rasanya, tuh, aneh. Akan tetapi, hal yang harus diketahui bahwa gadis yang ada di hadapanku ini adalah Ghinta Nadia. Perasaan senang, heran dan bingung mengelilingi pikiranku. Pasalnya, Ghinta yang kulihat saat ini sangatlah cantik. Kulitnya mulus, wajahnya bersih dan terlihat licin. Apalagi sekarang dia sudah berani memakai pewarna bibir, juga polesan bedak.

Ini tidak wajar. Ini benar-benar di luar dugaan. Apakah dia benar-benar Ghinta yang kukenal? Sungguh! Aku masih tidak percaya. Dahulu, Ghinta berkulit gelap dan sering ingusan. Rambutnya pendek, bergaya bak laki-laki. Cara bicaranya pun lantang, sering berteriak dan juga blak-blakan. Tidak ada rasa malu di dalam kamusnya Ghinta. Yang penting bisa mengekspresikan diri tanpa takut dirundung. Jika dia sudah tertawa, suaranya sangat keras. Nada tawanya pun mirip orang yang sedang kumat asma. Kebayang, 'kan?

Namun, kali ini Ghinta yang ada di depanku berbeda. Dia sangat anggun. Nada bicaranya lemah lembut dan untuk sekadar tersenyum pun ditutupi oleh tangan. Sungguh perubahan yang sangat drastis. Apa karena dahulu saat kita masih kecil tidak perlu memikirkan apa-apa? Lalu, sejak beranjak dewasa, semua hal yang dilakukan pada masa kecil adalah hal memalukan dan tidak patut untuk dipertahankan di masa depan? Begitu?

Aku jadi menatap diri sendiri. Apa yang berbeda denganku? Cara berpakaianku sama saja seperti dahulu. Sangat cuek dan tidak peduli mau dipandang bagus atau tidak. Wajahku pun tidak terawat dan terdapat beberapa noda hitam bekas jerawat. Mana berminyak pula. Tidak ada polesan bedak, apalagi lipstik. Alisku yang tidak beraturan ini tidak pernah kugambar, seperti alis miliknya. Pantas saja tidak ada yang melirikku. Tidak menarik, sih.

"Apa alasanmu untuk menjadi seorang penulis? Bisa diceritakan awalnya?"

Seketika pikiranku menjadi buyar saat mendengar pertanyaan dari Kak Adib kepada Ghinta. Sesekali aku menatap mereka yang saling bertukar pandang. Ghinta pun memberikan senyuman manis untuk Kak Adib sebelum memberikan jawaban.

"Awalnya saya hanya iseng. Biasalah, kalau zaman SD tuh suka ada jodoh-jodohan antar teman sekelas. Dari sana saya membuat berita semacam lembaran berita, gitu. Lalu, saya menulis cerita tentang A menyukai B dan menyebarkannya kepada teman-teman di kelas agar mereka baca. Kadang, saya juga menyimpan lembaran kertas tersebut di kolong meja mereka atau disimpan di atas meja begitu saja. Saya senang melakukan hal itu dan akhirnya keterusan sampai saya bisa menulis versi novelnya. Ya ... walaupun pada saat itu tulisan saya masih jelek dan masih ditulis tangan dalam buku," jelasnya.

"Apakah kamu lelah menulis dengan tanganmu di buku? Bukannya itu akan memakan banyak buku untuk sekadar menulis novel? Banyak juga waktu yang terbuang karena menulis di buku dulu, lalu menulis lagi di file. Lalu, bagaimana caranya kamu bisa menerbitkan karya? Apakah pada saat itu karyamu sudah masuk ke toko buku atau hanya tersebar di media massa saja?"

Ya ampun! Baru kali ini melihat Kak Adib bertanya sebanyak itu. Sepertinya dia tidak sabar, jikalau bertanya satu per satu. Mm, aku paham. Dia sudah tidak tahan dengan sesi wawancara ini karena sebenarnya dari awal Kak Adib sudah tahu kisah Ghinta. Kan yang pertama bertemu dengannya adalah Kak Adib, sudah pasti dia banyak bertanya di sebelumnya. Kali ini, dia sengaja memberikan banyak pertanyaan untuk mempercepat waktu. Dampak dari perbuatan Kak Adib yang tidak memberi jeda setiap pertanyaan dan jawabannya ini, aku jadi keteteran untuk menulis hal penting tentang Ghinta. Punya dendam apa, ya, Kak Adib sama para anak magang ini? Hobinya sungguh menyebalkan.

"Sebenarnya lelah, sih, Kak. Sejauh ini aku sudah habis puluhan buku sebelum membeli notebook. Memang benar juga, sudah banyak waktu yang saya buang hanya untuk menulis dan menyalin ulang secara manual. Dan cara saya bisa menerbitkan karya awalnya diminta oleh teman. Jadi, salah satu teman saya bernama Tena ini meminta naskah saya untuk diterbitkan di tempat dia magang. Salah satu redaksi gitulah. Nah, dari sana saya sering mengirim naskah secara rutin, sampai akhirnya ada salah satu penerbit yang tertarik untuk menerbitkan karya secara utuh. Sayangnya, untuk novel pertama saya tidak masuk ke toko buku, Kak. Karena novel tersebut terbit secara indie," jawabnya dengan tenang tanpa terbata-bata. Keren! Sepertinya Ghinta sudah sering diwawancarai, sehingga saat bicara suaranya sangat mulus dan tidak bergetar.

Bukain Aja [N9 SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now