XLV

5.2K 607 48
                                    

TAK disangka berita patah hatinya Lius jadi benalu baru dalam hubungan Marco dan Clarissa. Wanita itu langsung memasang pagar tinggi, membatasi segala jalan yang bisa buat pria itu bertemu Sharena. Ia tak sebaik dulu menerima ajakan Sharena untuk makan siang dan membawa suaminya turut serta. Mungkin hanya Sharena yang tak tahu bahwa rahasianya sudah terbongkar.

Hari demi hari hubungan Lius makin memburuk, tentu itu adalah sinyal bahaya untuk Clarissa. Sharena harus tetap bersama Lius, apapun alasannya. Perlahan wanita itu jadi lebih peduli, menanyakan soal kondisi hati Lius. Merengek pada Marco untuk memaksa Lius kembali merayu Sharena. Suaminya sampai kesal sendiri.

"Ini bukan urusan kita." Clarissa cemberut dengan tangan yang bersidekap.

"Tapi harus ada yang kasih arahan ke Pak Lius." Marco menghela nafas kasar. Bahkan wanita itu sendiri yang bilang kalau Lius harus hadapi sendiri, lantas mengapa tiba-tiba ibu hamil ini begitu peduli?

"Babe, udah dong. Mending kita cuddle gak usah pikirin mereka." Wanita itu makin murung, matanya berkaca-kaca. Sungguh dia sebenarnya tak ingin menangis, namun bayangan ditinggalkan suaminya saat hamil besar begitu menghantuinya. Jauh dalam lubuk hati kecilnya, Clarissa tak sepercaya diri itu.

Dia bukan opsi pertama yang Marco pikirkan saat memilih pasangan. Ya itu pun karena faktor waktu, namun Clarissa tak bisa menyingkirkan ketakutan itu begitu saja. Kembali lagi, Sharena itu bibit unggul. Bahkan janin dalam rahimnya saja tak bisa membuatnya tenang begitu saja. Dia sangat kesal karena tiba-tiba tak mempercayai suaminya sendiri. Dia kesal menjadi lebih sensitif dibanding biasanya.

Tangisannya kembali pecah, ia peluk suaminya erat-erat. Lalu nyaman dia rasakan ketika usapan lembut Marco berikan di kepalanya. "Udah dong babe, aku beneran cinta mati sama kamu. Gimana caranya buktiin? Aku juga gak ngerti sayang. Sumpah aku betulan cuma sayang sama kamu."

Ucapan Marco sama sekali tak menghiburnya. Pikirannya benar-benar kacau. Clarissa hanya bisa bersembunyi dibalik hormon kehamilannya. Katanya karena anaknya posesif, padahal dia yang enggan mengaku kalau cintanya sama besarnya dengan Marco. Wanita itu sudah jatuh sejatuh-jatuhnya pada Marco.

"Jangan tidur dulu sebelum aku tidur." Pintanya dengan suara parau. Marco tersenyum lembut, mengecup bibir merah itu lembut.

"Iya babe, kamu tidur duluan." Wanita itu sandarkan kepalanya di dada Marco. Merebahkan segala lelahnya akan beban kasat mata. Dia perlu beristirahat.

"Clar, kenapa sih kamu sedih banget akhir-akhir ini?" Clarissa terisak lagi, tangannya mencengkeram erat kaos yang dikenakan suaminya. Marco seketika menyesali pertanyaannya.

"Takut." Gumamnya lirih. Tangan besar Marco merengkuhnya makin erat.

"Gak ada yang perlu kamu takutin. Kamu itu segalanya buat aku, ya?" Wanita itu mendongak, menatap mata tajam itu sendu. Bolehkah dia menyerahkan segala keyakinannya pada Marco?

Ah sial, tak seharusnya dia meragukan pria itu hanya karena Sharena. Clarissa merapatkan tubuhnya lagi, tanpa jarak. Ia dekap hangat-hangat rumah yang selama ini ia impikan. Satu persatu ragunya hilang. Ya, dia hanya butuh Marco di sisinya.

"Sayang, aku gak jadi resign." Marco mengernyit.

"Kenapa?"

"Mau sama kamu terus, gak mau ditinggal sendirian di rumah." Rengeknya pelan. Pria itu tertawa pelan diiringi kecupan berkali-kali di kening Clarissa. Rasanya Marco sanggup hidup ratusan tahun hanya dengan memeluk Clarissa.

"Iya, aku ikutin maunya kamu aja." Wanita itu mengangguk pelan.

Keduanya kembali tenang menikmati malam panjang yang terasa singkat sebab dihabiskan berdua. Sampai pria itu rasakan kebas di sekitar lengannya, Marco tetap enggan meletakkan kepala istrinya di bantal. Namun pria itu tak bisa menahan sesuatu dalam dirinya.

A Night To RememberWhere stories live. Discover now