Dhisan Azriel
"Maaf, semua salah saya."
Itu adalah kalimat terakhir yang gue ucapkan sebelum menggandeng Sheza keluar dari ruang meeting Gandara Project. Sekilas, gue sempat melihat gimana tajamnya tatapan Luna saat melihat semua yang gue lakukan ke Sheza. Tapi sumpah demi apapun, bukan itu maksud gue menyusul. Gue emang berniat membuat Luna membenci gue, tapi bukan dengan melibatkan orang lain, termasuk Sheza. Gue emang pengecut, tapi gue bukan pecundang.
Gue menyusul semata-mata karena gue merasa bersalah.
Gue merasa bersalah karena nggak mendampingi Si Anak Kucing, gue juga merasa bersalah karena nggak membimbing dengan total. Gue merasa bersalah karena seenaknya nunjuk dia jadi Project Manager tanpa persetujuannya, dan gue juga merasa bersalah karena ... gue menganggap dia sebagai anak kucing.
Sekarang kita berdua udah terkurung di dalam mobil gue. Gue berencana untuk mengantarkan Si Anak Kucing pulang saja, biar dia beristirahat dulu setelah melewati meeting yang memusingkan hari ini.
Baru aja gue mau minta Amos untuk share location tempat tinggal Sheza lewat whatsapp, cewek di samping gue membuat perhatian gue teralihkan dengan suara bersitan hidungnya. Sisa-sisa tangisnya ternyata masih ada.
Well ya, dia kan bukan anak kucing. Dia manusia biasa yang punya perasaan. Nggak bisa melakukan apa-apa di meeting tadi pasti melukai harga dirinya. Kesadaran itu pula yang akhirnya membuat gue batal mengirim pesan pada Amos, memilih fokus pada cewek rapuh di sebelah gue.
Belum sempat memikirkan cara menghibur dengan tepat, Sheza lebih dulu menyerang gue. "Sudah berapa lama Bapak di sana? Bapak pasti melihat semua hal memalukan yang sudah saya lakukan kan?"
Gue mengembus napas pendek. "Cukup lama untuk tahu kalau kamu nggak melakukan hal yang memalukan sama sekali."
Dia tertawa sinis. "Nggak memalukan gimana? Saya bahkan nggak bisa menjawab hal-hal mendasar semacam target audience, masa yang cocok untuk penjualan tiket, strategi penjualan, strategi Pre-Order Ticket, Promosi yang sesuai, dan ... entahlah yang lainnya. Saya bahkan nggak sempat merinci ulang lagi," ringisnya diiringi setetes air mata yang kembali meluncur membasahi sebelah pipinya.
"Kamu nggak bisa menjawab? Atau kamu nggak punya kesempatan untuk menjawab?" tanya gue memastikan. Karena dari apa yang gue lihat, Luna selalu mendahului Sheza untuk memberi jawaban di tengah-tengah forum saat di meeting tadi. Seolah sengaja nggak memberi kesempatan untuk Sheza unjuk kemampuan.
Dia hanya mengedikkan bahu. Seolah ingin menyatakan bahwa apapun alasannya nggak jadi masalah sekarang ini, toh, semuanya udah berlalu.
Seperti yang gue bilang sebelumnya, ini memang salah gue. Gue yang menempatkan cewek ingusan ini di situasi sulit seperti tadi. Selain pengetahuan dan pengalamannya masih minim, mentalnya juga mungkin belum cukup kuat. Meskipun bisa menjawab dan memberi pendapat, mungkin dia belum cukup percaya diri untuk mengutarakannya. Untuk itu gue merasa perlu melakukan sesuatu untuk menebus kesalahan gue. Gue harus bisa mengembalikan kepercayaan dirinya yang anjlok.
Alih-alih mengantar pulang, gue akhirnya membawa Sheza untuk bertemu dengan Tante Gaby. Tante Gaby merupakan salah seorang sahabat karib Mama. Seorang sosialita yang memiliki jaringan spa house exclusive yang tersebar beberapa titik di Ibu kota. Mama menjadi salah seorang pelanggan tetapnya. Beliau merupakan klien pertama yang memercayakan event-nya pada perusahaan gue.
Awalnya gue paham Tante Gaby hanya memilih Giant Organizer hanya untuk menghargai persahabatannya dengan Mama. Dia ingin ikut memberi support pada gue, anak sahabatnya, yang terpuruk banget waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Gift is My Curse
RomanceDhisan Azriel menjadi alasan tunangannya bunuh diri di depan kedua matanya. Mimpi buruk tentang kematian itu terus menghantui, membuat Dhisan tidak pernah tenang dan memutuskan untuk berhenti berhubungan dengan dunia luar. Beruntung Dhisan punya dua...