[Dua]

2.5K 537 41
                                    

Sheza Widyanata

Sepertinya bos besar tidak mengada-ngada saat mengatakan dia selalu menolak tamu yang datang bahkan dengan membawa buah tangan. Buktinya, selama dua minggu aku bekerja di tempat ini, bos besar tidak pernah turun ke lantai satu selain untuk meeting internal. Dia benar-benar tidak pernah menerima tamu. Sama sekali.

Kalaupun ada orang yang berani naik ke lantai dua, orang itu adalah Mbak Luna Timothie, dan juga Bang Amos Siregar. Mereka berdua jelas tidak bisa dikategorikan sebagai tamu, karena dua sejoli itu adalah sahabat karibnya, sekaligus sesama pendiri Giant Organizer.

Mbak Luna sendiri dulunya adalah seorang PR (Public Relation) di stasiun televisi swasta. Namun dia memilih untuk berhenti demi meniti perusahaan baru bersama kedua sahabatnya. Tidak bisa dipungkiri jaringan luas Mbak Luna merupakan salah satu faktor yang membuat perusahaan ini cepat berkembang pesat.

Sementara bang Amos sendiri dulunya bekerja di EO lain, tapi sekarang dia menjabat sebagai Field Officer di perusahaan ini. Karena dia memang sudah terbiasa menangani persiapan venue, promosi, perizinan dan keamanan, serta segala tetek bengek urusan event. Dulunya dia bahkan tidak perlu staf untuk membantunya mengerjakan semuanya. Sekarang, seiring semakin besarnya perusahaan ini, barulah Bang Amos merasa perlu merekrutku. Aku dan dia sama-sama saling mengenal sejak menjadi anggota muda-mudi Gereja. Walau aku mengaku tidak punya pengalaman, dia tetap percaya aku bisa membantunya.

Untuk penyandang dana sendiri, sudah bisa ditebak kan siapa? Iyap, dia adalah Dhisan Azriel. Dia adalah putera sulung dari Duta Azriel, pendiri toko buku dan percetakan Tala Media. Sebenarnya dia sempat mengurus perusahaan orangtuanya selama beberapa tahun. Namun berhenti karena kasus kematian tunangannya. Aku sempat mendengar dia shock dan depresi berat selama beberapa tahun setelah kejadian naas itu. Kedua sahabatnyalah yang akhirnya menariknya keluar dari keterpurukan hingga bisa meniti karir baru seperti saat ini.

Aku jadi curiga sikap kasarnya ada kaitannya dengan trauma yang dialaminya.

"Emang dari dulu si bos bawaannya gitu ya, Mbar?" tanyaku pada Ambar, sang resepsionis yang sudah bekerja sejak perusahaan ini berdiri.

"Gitu gimana maksudnya? Pendiam?" sahut Ambar.

Daripada "pendiam", aku merasa istilah "dingin dan kasar" lebih cocok dialamatkan untuknya. Tapi karena Ambar jauh lebih mengenalnya daripada aku, kubiarkan Ambar melanjutkan penilaiannya.

"Ia sih, dari dulu emang dia pendiam. Tapi anehnya, dia bisa memikat hati perempuan manapun yang dia mau. Dulunya doi kan playboy kelas kakap!" Ambar mulai bercerita. "Lu tahu artis Saphira Diaz nggak? Nah, artis se-high class itu aja pernah jadi mantan si bos. Trus ada penulis Tari Maulida yang cantik banget itu, nah, itu juga pernah jadi mantan si bos. Presenter olahraga Dian Kamal yang seksi itu juga pernah pacaran sama si bos. Menurut lo sendiri gimana coba?"

"Oh ya?" Fakta ini cukup mengejutkan. Okelah, dari segi tampangnya yang sangat tampan, aku bisa jamin kalau dia pasti banyak diincar kaum hawa. Tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau dia sendiri akan menyambut semua godaan wanita. Yah, tapi ... wajar juga sih. Namanya juga lelaki!

"Gue kan adik kelasnya selama kuliah dulu. Ya gue cukup tahulah sepak terjangnya!" seru Ambar bersemangat.

"Trus, kenapa sekarang si bos jadi begini?" begini maksudku adalah pria antisosial yang jangankan pacar, teman pun dia hanya punya dua.

Ambar berdeham, mencoba mengecilkan volume suaranya. Ekspresinya kian serius saat meneruskan. "Menurut cerita yang gue denger sih, si bos akhirnya tobat dan bersedia dijodohin keluarganya sama Shila Lorenza. Nah, sama si Shila Lorenza inilah si bos cinta mati. Dan entah karena karma, cewek yang dicintainya malah mati bunuh diri. Makanya sampai sekarang ... udah hampir empat tahun nih, si bos menutup diri dari dunia luar."

"Hayooo ... pada ngomongin apa, bisik-bisik begitu?"

Sebuah suara renyah dari arah pintu membuatku dan Ambar sontak menegakkan punggung. Adalah Luna, gadis manis berambut panjang bergelombang, yang hari ini hanya mengenakan baju kaus putih ketat yang dipadankan dengan celana jeans biru-simple yet classy-yang menginterupsi obrolan kami. Di dalam pelukannya terdapat satu kantong kertas ukuran jumbo, yang kalau kutebak isinya pastilah bahan-bahan makanan yang biasa disediakannya untuk memenuhi kulkas bos besar di lantai dua.

"Mentang-mentang nggak ada kerjaan, pada ngegosip ya?" godanya.

Sungguh, Luna Timothie adalah sosok idaman bagi semua pria. Bagaimana tidak? Jangankan pria, aku saja yang notabene adalah seorang wanita begitu mengidolakannya. Dia cantik, ramah, pintar, juga mudah bergaul. Semua orang menyenanginya.

Anehnya, dia justru masih single.

Entahlah karena dia terlalu pemilih, atau justru ... dia menyukai bos besar?

**

Dhisan Azriel

"Mimpi buruk lagi?"

Tangan Luna yang begitu halus menghampiri wajah gue. Mengusap lembut area bawah mata gue dengan penuh perhatian. Membuat jantung gue berulah, seperti selalu.

Tapi hey! Gue juga harus ingat, cukup sudah urusan romantika membuat keselamatan oranglain terganggu. Gue nggak mau kejadian naas harus menimpa orang-orang yang gue cintai hanya karena keegoisan gue.

"Gue bawa bahan-bahan makanan untuk stok makanan lo seminggu ini. Ada banyak timun dan tomat. Lo bisa pakai untuk kompres mata lo yang menghitam itu," katanya sambil beralih membuka kulkas dan memasukkan belanjaan yang dibawanya ke dalam lemari pendingin itu.

"Berapa kali gue bilang, gue bisa urus makanan gue sendiri, Lun," kilah gue lembut. Anjir, kenapa kalo ngomong sama Luna gue nggak pernah bisa kasar ya?

"Lo bilang itu sejak EO ini berdiri, tapi lihat!" dia mengulurkan tangannya ke kulkas kosong gue. "Isi kulkas lo selalu begini! Gue jadi bertanya-tanya, kalau gue nggak pernah ngisi kulkas lo, lo bakal makan apa, Dhisan?"

Alih-alih menjawab, gue menarik tangan Luna yang masih sibuk memindahkan isi kantongan kertasnya ke dalam kulkas. Membuat tubuhnya memutar, dan berakhir berhadapan dengan gue. "Gue bisa urus sendiri, Lun. Kalau lo begini terus, kapan kita bisa move-on?"

Menghela napas panjang, Luna beringsut ke dalam pelukan gue. Dililitkannya kedua tangannya memenuhi pinggang gue. Sumpah, demi apapun, gue rasanya ingin waktu berhenti sekarang juga. "Harus berapa kali gue bilang? Gue nggak mau move-on. Gue sayang sama lo, San!"

"Tapi gue nggak bisa, Lun." Ingin mengurai, tapi tangan gue malah mengusap lembut rambut Luna. "Setelah Shila, gue nggak mau terjadi apa-apa sama Amos. Dia sayang sama lo, Lun."

"Trus, perasaan lo sendiri gimana? Kenapa harus memikirkan perasaan orang lain sih?" protes Luna.

"Terakhir kali gue memilih untuk jujur pada perasaan gue, gue kehilangan tunangan gue, Lun. Gue beneran nggak mau kehilangan sahabat gue kali ini."

**

My Gift is My CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang