File 1.7.11 - Whether Yes or No

382 130 19
                                    

Pemicu perceraian Qenea dan Theo adalah sang suami yang gampang bosan. Menurut pandangan dari Hilary Jacobs Hendel, bosan adalah hal yang wajar. Tetapi, ketika rasa bosan terjadi secara berulang dan membuat seseorang tak tertarik dalam menjalani hidup, itu disebut bosan kronis.

Theo tidak begitu. Menilik sifatnya yang playboy, sepertinya dia hanya mengincar wanita dengan spek yang memuaskan nafsunya. Mungkin saja sebelum menjadi seorang ibu beranak dua, Qenea memenuhi kriteria 'wanita' yang ideal bagi Theo, makanya dia mau menikahi Qenea.

Seiring bertambahnya usia, Qenea perlahan menua. Theo yang kecewa pun memilih bercerai lantas mencari wanita lain. Dari awal dia hanya lelaki maniak dengan wanita berwajah cantik.

"Aku sudah dapat garis besarnya..." gumam Watson menatap papan kaca berisi linimasa kasus Qenea, menghela napas kasar. "Tapi yang tidak kumengerti adalah rumor tentang Qenea seorang psikopat dan remaja bernama Davin itu diserang olehnya. Aku harus tahu apa sebenarnya yang terjadi antara Davin dan Qenea."

Poin ini terus mengusik pikiran Watson. Alasan mengapa wali si Davin itu tidak merespon apa-apa. Giloya kan namanya? Ke mana beliau? Apa mereka sudah pergi dari Arohara?

NGUOONG~

Gelap yang datang tiba-tiba seakan ada plastik hitam membungkus matahari. Suara paus yang menggetarkan lantai ruang klub. Ketenangan yang didapatkan berubah menjadi ketegangan.

Watson menelan ludah, tidak berani menoleh atau lebih-lebih menyingkap gorden jendela. Jika dia lemah mental, maka yang menyambutnya di luar jendela itu adalah sosok Mela serta Violet. Kali ini Watson harus mengabaikan paus itu.

Mempunyai tulpa bukanlah keadaan yang baik. Kita tak bisa bersorak hepi mempunyai teman imajinasi. Ia merupakan ilusi dari Watson yang pikirannya stres. Paus terbang? Untuk anak genius seperti Watson, jelas sangat mustahil.

"Aku hanya berkhayal... Aku hanya berkhayal..."

Entah bagaimana caranya, Watson harus mengusir keberadaan paus itu. Dia ingin kembali normal. Kalau paus sialan itu masih berwujud, pasti ada yang salah dengan mental Watson.

Jika benar begitu, artinya Watson perlahan kehilangan akal sehatnya alias 'GILA'.

"Lho, Dan? Kamu sudah tiba di sekolah sepagi ini?" Suara Aiden membuat Watson terbengong tanpa ekspresi. Gadis itu melihat jam tangan, berdecak kagum. "Woah, kamu tipe murid rajin rupanya. Ini masih jam setengah tujuh kurang."

Kamu sendiri kenapa datang cepat ke sekolah?

"Kebetulan sekali, Aiden..." Watson menghampiri pemilik nama, menyerahkan buku kamus Oxford yang tebal dengan tatapan datar. "Kamu atletis, bukan? Aku ingin kamu memukul kepalaku menggunakan buku ini sekuat yang kamu bisa."

"Apa yang kamu bicarakan?" Aiden bingung, menatap Watson tidak mengerti. Hari ini rambutnya half up do ponytail, memakai pita satin berdasar kain warna hijau bermotif floral.

"Bertanyanya nanti saja. Lakukan dulu permintaanku. Ini penting sekali buatku," desak Watson menyuruh Aiden menggenggam kamus.

"Tidak! Mana mungkin aku mau melakukannya?! Kamu kenapa sih?" Aiden menolak. Tebal kamus itu bukan main. Apalagi Watson memintanya pakai segenap tenaga. Sherlock Pemurung itu bisa pingsan atau mengalami gegar otak ringan.

"Lakukan saja! Aku tidak ingin jadi gila—"

BUGH! Jeremy yang kebetulan lewat dan mendengar percakapan mereka berdua, dengan senang hati melakukan permintaan Watson.

"DAN!" Kepala Aiden berputar ke arah Jeremy yang bersenandung tak tahu, melotot. "Kamu! Apa yang kamu lakukan?! Aduh, suara jatuhnya kencang sekali. Kamu baik-baik saja, Dan?!"

"Kan dia yang minta." Jeremy tidak punya dendam sih. Cuman, niatnya untuk menghajar detektif pemuram itu akhirnya kesampaian juga.

"Ukh..." Watson meringis, gemetar. Untunglah Jeremy tidak benar-benar menggunakan seluruh tenaganya. Bisa-bisa hidungnya lepas.

Kabar baik. Begitu Watson menatap ke jendela, paus sialan itu sudah tidak ada. Dia berbinar. Ini kali pertama Watson merasa senang dipukul.

"Aduh, Dan, hidungmu berdarah. Kita ke uks—"

"Tidak apa, Aiden. Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah memukulku, Bari. Ini membuatku kembali seperti diriku yang biasa. Aku lega."

Aiden dan Jeremy bergidik. Apa lagi yang salah dengan Sherlock Pemurung itu?! Dia baru saja dipukul lho! Tapi dia justru berterima kasih? Jangan-jangan Watson belok ke jalan masokis?!

Watson mengusap darah di hidungnya dengan jari, wajah serius. "Kita ke Arohara siang nanti."

-

Pulang sekolah, setibanya di Arohara, mereka dikejutkan oleh dua mobil polisi terparkir di depan rumah Ketua Lurah. Hanya satu yang terpikirkan oleh Watson saat itu: klub detektif Madoka terlambat. Penduduk desa tak bisa menunggu lagi. Mereka akan mengusir Qenea.

"Bagaimana sekarang, Watson? Ada Lydia di dalam kerumunan. Ini takkan mudah bagi kita."

Maksud Hellen adalah, Lydia sudah melihat wajah mereka berempat. Dia akan menuntut Watson dan yang lain jika mereka kedapatan masuk ke desa. Hellen benar. Ini ide yang buruk.

"Kita tidak boleh membiarkan polisi menangkap Qenea sampai kita menemukan bukti sah. Benda itu pasti ada di rumahnya. Aku bertaruh kalau Qenea itu sangat lah sehat. Dia bukan psikopat."

"Aku akan mengulur waktu untuk kalian."

Watson menatap Saho, menggeleng. Meski hari sudah malam, dengan warna rambut terangnya, para penjaga di Bar Sarhan terlanjur tahu jumlah mereka malam itu lima orang. Bahaya mengirim Saho ke kerumunan. Rencana mereka bisa gagal.

"Penjaga-penjaga itu hanya melihat rambut pendek berwarna pink, kan? Aku sudah membawa wig untuk jaga-jaga." Saho mengeluarkan rambut palsu warna cokelat dari tas beserta rok.

Watson melotot, menoleh cepat. "Stern! Aiden!"

Mereka berdua mengangguk. Hellen cekatan menutup mata Jeremy, sedangkan Aiden menutup telinganya. Obrolan ini tak boleh dia dengar.

"Hei! Apa yang terjadi?! Kenapa kalian begini??"

Watson beringsut ke dekat Saho. "Ini penting diingat, Shepherd. Bari memiliki trauma dengan baju perempuan. Jangan pernah crossdressing atau berpenampilan seperti cewek di depannya."

"M-maaf, aku tidak tahu soal itu."

"Tapi, apa kamu sungguh ingin memakainya? Aku bisa memikirkan cara lain. Kamu tak perlu merepotkan dirimu. Kamu baru sembuh, kan?"

"Katamu sudah tak ada waktu, kan?" Saho tetap memakai wig tersebut. Sial, julukan 'Beautiful Boy' benar-benar cocok untuknya. "Biar aku urus soal waktunya. Kalian carilah petunjuk itu."

"Baiklah. Segera pergi jika situasinya mulai ricuh. Aku akan mengirimmu pesan di Line. Paham?"

Saho mengangguk, melompat turun ke desa.

"Memangnya kamu tahu id line Saho, Wat?" celetuk Hellen membuat Watson ber-ah pelan. "Sudah kuduga. Kamu tak mempunyai id-nya."

"Hei! Lepaskan dulu ini! Kalian bicara apa sih?"

"Kita urus itu nanti. Sekarang kita mengendap ke rumah Qenea. Jangan lepas tangan kalian sampai Saho benar-benar menghilang dari pandangan. Ayo!" Sherlock Pemurung itu hati-hati turun dari bukit, nanti tergelincir dan jatuh. Bikin ribet.

Tak susah mencari rumah Qenea, apalagi mereka sudah lihat bentukan rumahnya di rekaman. Hanya memakan waktu 12 menit. Terima kasih pada Lydia. Walau menyesatkan, dia membantu.

"Tempat ini kosong, kan? Mereka semua di depan kediaman Ketua Lurah." Aiden bermonolog, melepaskan pegangan terhadap telinga Jeremy. Aduh, Aiden. Pertanyaannya mengandung retorik.

"Kenapa sih kalian tadi? Pakai acara tutup mata segala. Ke mana Saho? Dia misah?" Jeremy mengucek mata yang perih karena silau.

"Merantau," jawab Watson asal. "Kita tidak boleh menunda-nunda lagi. Geledah rumah ini!"









[END] Detective Moufrobi : Animals CrisisWhere stories live. Discover now