Chapter 5

594 100 3
                                    

~~~ Happy Reading ~~~


Aneh, dari jauh Widya melihat sesosok manusia tengah menelungkup, seakan memasang pose sedang menari. Ia berlenggak-lenggok mengikuti irama musik gamelan yang terus ditabuh dengan ritme yang cepat. Widya berusaha menatapnya
dengan saksama, lalu dibuat terperangah dengan pemandangan itu, sebelum akhirnya bayangan itu perlahan menghilang.

Pemandangan itu lenyap ketika motor berbelok, tertutup oleh kokoh garis pohon di sepanjang hutan.

'Widya hanya membatin, 'Siapa yang menari di malam gulita seperti ini?'

Seperti dugaan sebelumnya, tiga puluh menit sudah berlalu, dan sayup-sayup atap rumah terlihat samar-samar dengan cahaya yang meski temaram bisa dilihat jelas oleh mata.

"Kita sudah sampai di desanya, Mbak," kata Pak Waryan, yang suaranya tertelan kencangnya angin.

Widya bisa melihat gapura, kedatangannya dengan beberapa orang yang tengah menanti kehadiran rombongan KKN. Semua motor yang
mengangkut rombongan pun berhenti. Widya bisa melihat wajah-wajah warga desa yang tampak senang. Mereka menyalami Widya
dan rombongannya, mengatakan "selamat datang"dengan bahasa Jawa ketimuran mereka, yang disambut Widya dengan ucapan terima kasih.

Ia tidak menyangka akan disambut seperti ini, tapi tiba-tiba pikirannya tertuju pada rasa penasaran yang sedari tadi menghantuinya. Satu yang menjadi pertanyaannya, di mana hajatan yang ia pikir diadakan di desa itu? Sejauh mata memandang, Widya hanya melihat rumah-rumah penduduk, tanpa ada hinggar bingar seperti diadakannya sebuah acara. Widya, merasa aneh.

"Ada apa Wid? Kenapa mukamu seperti mencari sesuatu?" tanya (Name) yang juga baru sampai.

"Tadi elu dengar suara bunyi gamelan kan? Kayak ada yang mau hajatan gitu," kata Widya kepada sahabat masa kecilnya itu.

(Name) terdiam sejenak. "Elu dengar juga, Wid?"

"Iya, gue dengar jelas tadi."

"Elu lihat juga ada seseorang yang sedang menari tadi?" sekarang (Name) yang bertanya.

Widya menganggukkan kepalanya dan tiba-tiba saja (Name) memegang pundak gadis itu. "Dengarkan aku, Wid. Kalau ada sesuatu yang aneh, jangan pernah menatapnya terlalu lama."

"Memangnya kenapa (Name)?"

"Intinya jangan menatap sesuatu yang menurutmu aneh terlalu lama, itu saja."

Tapi karena lelah, ia pun memilih untuk melupakannya. Seorang pria dengan kumis tebal, berpakaian batik dengan celana kain hitam mendekati Ayu. Ia menyalaminya seakan mereka sudah mengenal satu sama lain. Tidak hanya Ayu, tapi Nur juga mendekati
pria paruh baya itu.

"Sini, sini, perkenalkan, ini adalah Pak Prabu, Beliau nanti yang akan membantu kita mengerjakan proker kita bersama warga. Beliau kepala desa di sini," ucap Ayu bangga.

Widya, (Name) dan yang lain langsung ikut mendekati, menyalami, dan memohon bantuannya selama
mereka tinggal di sini.

"Mari, saya antarkan ke tempat nanti kalian akan tinggal,"ucap Pak Prabu dengan gerakan tangan mempersilakan.

Widya, (Name) dan yang lain segera
mengikutinya. Di perjalanan itu, Pak Prabu menjelaskan banyak hal. Salah satunya alasan kenapa mereka tinggal di tempat yang sejauh ini, terpelosok sampai harus menembus hutan belantara. Rupanya, desa ini sudah lama berdiri dan menjadi salah satu desa tertua di daerah ini. Di sini mereka masih menjaga adat istiadat
serta budaya dari kakek nenek moyang. Jadi meski terdengar aneh bagi orang asing, bila ada yang masih bertanya perihal mengapa masih betah tinggal di desa ini, maka Pak Prabu akan mengatakan bahwa desa ini adalah rumahnya.

Semua anak tertawa kecuali (Name) saat Pak Prabu mengatakan itu. Ungkapan "rumahku adalah surgaku" seperti penggambaran Pak Prabu itulah yang membuat akhirnya semua anak-anak maklumi, dan mencoba
mengerti serta tidak mengungkit atau mengajukan pertanyaan serupa kepada beliau atau warga desa lainnya. Bukankah Semua orang harus saling hormat menghormati?

Pak Prabu merupakan sosok kebapakan yang sangat ramah. Ia tidak bisa berhenti melepaskan canda gurau untuk membuang rasa sungkan di antara mereka. Hal itu membuat Wahyu dan Anton tidak berhenti saling bertukar gurauan, seakan
lupa bila mereka sedang berbicara dengan seorang Kepala Desa di tempat ini.

"Hus." omel Nur, sambil mencubit lengan Wahyu dan Anton agar mereka diam saja.

Di tengah percakapan itu, tiba-tiba Widya teringat lagi dengan kejadian di perjalanan menuju desa. Awalnya ia memang ingin melupakannya, tapi entah mengapa peristiwa tersebut membuatnya semakin penasaran. Ditambah lagi (Name) melarangnya tadi.

"Mohon maaf Pak, tadi saya dan teman saya tadi mendengar suara gamelan, tapi anehnya saya tidak melihat sumber suara tersebut. Dan juga setelah saya sadari, tidak ada hajatan di sini. Apa ada desa lain di dekat-dekat sini?"

Pertanyaan Widya membuat semua orang berhenti, tak terkecuali Pak Prabu yang menatapnya lama.

"Gamelan?" kata beliau menyelidik.

"Nggih Pak, waktu menuju ke desa ini, tidak terlalu jauh dari sini, saya mendengar Suara gamelan yang didendangkan dengan ramai. Saya pikir ada warga yang mengadakan hajatan di desa ini."

"Kapan kamu dengarnya, Wid?" tanya Ayu penasaran.

"Tadi kok, waktu sudah dekat desa," ucap Widya.

Widya bisa melihat raut wajah yang lain memasang ekspresi yang sama, bingung dan tidak mengerti. Kecuali Nur, ia tidak menatap Widya seperti yang lain, ia lebih memilih untuk diam dan menundukkan kepalanya.

"Tidak ada desa lain di sini, Mbak, hanya desa ini. Mungkin Mbak cuma krunguen (kedengeran) jadi gak usah terlalu dipikirkan ya, mbak. Mari saya antar ke rumah yang akan kalian jadikan tempat tinggal selama ada di desa kami," kata Pak Prabu.

Ia tersenyum kepada Widya, mencoba menghapus rasa penasaran yang mengganjalnya.

~~~ Bersambung ~~~

For SurviveTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon