Keinginan

490 51 3
                                    

   Mersik bel berbunyi. Nampak riuh gaduh siswa-siswi berlarian masuk termasuk empat remaja yang baru saja memarkir sepedanya. Gerombolan manusia terlihat bak ribuan rayap tengah berbondong-bondong memasuki lubang mereka.

   Gegap-gempita tertelan aura sunyi kelas sebelas. Naufal dan Januar me-liar-kan mata. Sekitar tampak beberapa siswa bonyok. Perasaan keduanya runyam mendapati kepala sekolah di meja guru, duduk melempar aroma-aroma ganas menusuk kepala juga menggempur degup jantung. Berakhir lah Naufal diseret memasuki ruang kepsek ditemani guru BK. Dia seorang wanita, kakak sepupunya, Riris.

   "Sekali lagi kelasmu yang blingsatan meresahkan warga desa."

   Naufal berdiri tepat didepan meja pak kepsek sementara guru BK duduk bersilang kaki di sofa, menyaksikan Naufal seraya menyunggingkan bibir, menikmati ketakutan sang adik.

   "Lima belas warga ikut terserang, niat hanya memisahkan malah terseret juga peperangan remaja konyol seperti kalian!" suara pria tua itu meninggi, menatap tajam.

   "Sudah saya pasrahkan kepada kamu, Naufal, sudah saya peringatkan. Kamu bagaimana? Kata si Aryo sudah dapat persetujuan mu, ada apa gerangan, sih, Naufal, kemana pikiranmu, membiarkan manusia-manusia liar di kelasmu lepas kendali, hah!?" sambung pria tua itu.

   "Untuk kesekian kali, saya memohon maaf lagi." Naufal mendongak menatap tegas pak kepsek dengan rasa takut yang berangsur surut.

   "Maaf usaha saya mungkin kurang untuk meredam keliaran teman blingsatan saya, juga sayangnya murid-murid bapak," sedikit penekanan ia berikan pada saat berucap 'saya-bapak'.

   "Maaf, tapi ini kesekian kali juga bapak telah menyalahkan saya sepihak! Bukankah anda sendiri juga kurang pergerakan? Dan untuk perkataan Aryo soal saya, itu salah besar! Kemarin, sempat mereka meminta izin dengan alibi membangun perdamaian juga bersilaturahmi pun saya bantah, sudah tegas saya larang! Bisa saja mereka mencuri surat izin keluar dari saya, dipalsukan nya tanda tangan saya sehingga penjaga gerbang pembatas desa beri izin."

   Semenjak sering terjadi perseteruan antar pemuda desa hampir tiap angkatan, dua kepala desa memutuskan untuk memberi pagar pembatas, sebagai pencegahan. Terkadang di beberapa angkatan, seorang yang paling dipercaya, memegang surat izin sebagai kunci keluar. Masalah tersebut sempat diremehkan sebab orang-orang dewasa tidak ikut andil dalam perseteruan, melainkan remaja sekolahnya saja. Namun ada suatu waktu tragedi tragis melenyapkan satu siswa desa Garuda dan dua desa sebelah. Entahlah, jalan pikir anak muda sekarang terkadang cukup memprihatinkan.

    "Saya tidak tahu apa benar-benar itu yang terjadi, itu hanya perkiraan, bisa juga mereka memakai jalan memutar melewati hutan serta pekarangan, meski jalan tersebut sulit dilalui, namun, hei, tidakkah bapak lihat tubuh-tubuh yang akan beranjak dewasa itu, rintangan seperti itu bukan apa-apa, berhenti menyalahkan saya pak, saya lelah, cobalah untuk mencari solusi, jangan bebani terus murid malang mu ini! Seliar apa mereka bapak tahu, kan? Bapak saja kesulitan, bagaimana dengan saya?"

   Unek-unek panjang lebar membelalakkan mata pria tua sedang cermat mendengarkan. Riris selaku guru BK terkejut menyaksikan Naufal Saddam si anak yang lemah-lembut melontar sedemikian kalimat.

   "Naufal!" Riris berdiri lantas menarik adik sepupunya, menjura (bow) menyampai maaf, lanjut memohon izin keluar.

   Di luar, di jalan lorong menuju ruang tadi, dengan jarak agak jauh ia mendorong Naufal ke dinding dengan sekuat tenaga. "Dimana sopan santunmu!"

   Dengan sigap Naufal mendekat, menatap intens. "Tahu apa kau soal sopan santun!? Ibumu sendiri yang merintih kesakitan mengeluarkan jalang sepertimu, membopongmu sembilan bulan tanpa keluh, kau teriaki hampir tiap ia berada di rumah, untung saja kamu tidak ringan tangan juga!"

Utopia 2014 || The Prologue [End]✔️Where stories live. Discover now