Permintaan Konyol

5.2K 272 16
                                    

"Aku ingin menjenguk dan mungkin ... mengambil putraku." Suara itu terdengar lugas.

Pelita tertawa renyah. Mengejek dan memandang lucu lelaki di hadapan, ia menggeleng pelan. Sejak kapan anaknya menjadi putra lelaki itu? Mimpi?

"Anda masih waras, Tuan? Sejak kapan putraku menjadi putramu. Kita tidak pernah menikah. Dan apa katamu? Mengambil?" Pelita tertawa kencang lagi.

Acara weekend yang sempat Pelita rancang bersama Awan harus tersendat. Mereka tadi tengah bereksperimen masakan baru di dapur kecil kontrakan tempat bertinggal. Nahas, ketukan pintu memecah keseruan yang ada. Seperti cuaca yang berubah secara tiba-tiba, hati Pelita mendung, tak lagi bahagia.

"Pelita Nuri!" panggil lelaki dewasa itu penuh penekanan.

"Ya?!" Suara lantang Pelita sebagai jawaban.

"Anda tidak sopan jika datang dan langsung berkata hal demikian. Apa itu sebuah kebenaran? Bagaimana kalau dugaan Anda hanyalah kesalahpahaman?" Pelita bertanya dengan tenang.

Dari luar, wajah Pelita terlihat santai. Namun, dalam hati, segalanya telah tercerai berai. Tangis, luka, dan pedih sudah akrab dalam setiap episode hidupnya. Ia baik-baik saja. Bukti nyata, sampai saat ini ia tak membutuhkan sosok lelaki guna menjadi suami. Ia bisa berdiri tegak melewati batas dengan tenaganya. Lantas, baru tiga tahun hidup tenang, mengapa pula Guntur Pranaja tiba-tiba datang?

"Dia putraku?" tanya Guntur selepas menormalkan segala keterkejutan.

Gadis delapan belas tahun; berwajah polos, suka menangis, dan rapuh, telah berbeda ditempa masa. Pelita bukan lagi Pelita yang Guntur kenal. Pelita lebih dewasa, tenang, dan dingin tanpa keramah tamahannya. Menelisik ingatan masa lalu, Guntur delapan puluh persen yakin, wanita di hadapan memang membawa bagian dari seorang Guntur Pranaja.

"Tidak!" Pelita berkata keras.

Guntur terdiam, tetapi bukan berarti patah arang. Ia tengah menyusun kata agar kebenaran terbuka. Sayangnya, Pelita bukan lagi manusia yang bisa ditindas hanya dengan suara.

"Apa mungkin seseorang yang tak menikah bisa memiliki anak, Lita?" tanya Guntur pelan tapi menusuk.

Intimidasi Guntur tak berimbas apa-apa. Pelita masih setia menatap lelaki jangkung di hadapannya dengan tatapan tak terbaca. Jika saja Guntur tidak membuat kegaduhan depan kontrakan, Pelita tak akan terjebak guna berbicara berdua. Bahkan mungkin, ia tak sungkan untuk memukul Guntur. Nahas, Pelita kurang nyaman pada tetangga kanan kirinya yang seperti CCTV berjalan.

"Apa kamu lupa kalau zaman sekarang hal itu sudah biasa?" Pelita bertanya dengan tatapan tak kalah tajam.

Bungkam. Mata keduanya masih beradu. Guntur tak percaya. Melihat bocah bernama Awan tersebut seakan menggambarkan sosoknya di masa remaja. Bocah hitam manis itu memiliki alis juga hidung yang mirip dengannya. Lantas, apa kata Pelita? Zina menjadi hal biasa? Begitu kesimpulannya?

"Lita, aku mohon maaf jika ada salah tapi-"

"Anda tidak ada salah, Tuan. Oh ya, Anda bukan satu-satunya lelaki di dunia ini. Jadi ...." Pelita menggantung kalimatnya.

Guntur bukan lelaki bodoh, hingga ia mampu mengerti. Kalimat tanpa penyelesaian tersebut seperti teka-teki, tetapi pria itu bisa mendapat jawaban tanpa dijelaskan. Tangannya tak sadar mengepal pertanda terpantik emosi. Dia mengenal Pelita dengan baik, hingga perkataan tadi serupa letupan magma yang membanjiri dada.

"Apa kamu serendah itu?" Guntur bertanya dengan sorot mata tak percaya.

Pelita tertawa dan mengangguk. Sekalipun hatinya sudah tak berbentuk, pantang untuk dirinya mengadu. Situasi berbeda juga luka lama yang belum sepenuhnya sembuh, adalah acuan untuk ia kuat menatap Guntur lama.

"Bukankah saya sudah tak memiliki harga diri lagi? J a l a n g, ya itu sebutan saya, Tuan," ujar Pelita ringan.

Mematung, mata cokelat Guntur meneliti. Hatinya tercubit atas kata yang tersemat pada Pelita. Demi Tuhan, ia masih memiliki hati. Semua wanita berharga adalah ajaran dalam keluarganya. Lantas, kenapa Pelita malah merendahkan diri sendiri seperti ini?

"Tidak ada kepentingan lain, 'kan? Maaf, saya sibuk," ujar Pelita berbalik pergi.

"Apa kamu kekurangan uang hingga memperjual belikan badan, Lita?" tanya Guntur menghentikan langkah si wanita.

Menarik napas diam-diam, Pelita merangkai kata. Senyumnya terpantik seiring tawa renyah sarat luka yang menggema. Ia mengangguk, berbalik badan, dan tersenyum lebar.

"Apa harga diri orang miskin selalu disamakan dengan uang, Tuan? Em, maaf, saya sibuk. Semoga kita tidak bertemu lagi."

Melambaikan tangan, Pelita berbalik lalu pergi. Langkahnya konstan dan anggun, tak ada pertanda ketakutan atau apa pun. Guntur sampai menatap lama hingga bayang wanita itu lenyap beserta pintu yang tertutup rapat.

Sebelum memutuskan untuk menemui Pelita kedua kali, Guntur sudah mempersiapkan segala. Jejak wanita itu dengan profil lajang, bagaimana bisa menghasilkan Awan? Tidak mungkin, begitu praduganya. Nahas, jawaban Pelita justru semakin menarik Guntur untuk menyelidiki Pelita lebih lagi. Selepas pertemuan ini, ia justru semakin memiliki alasan kuat untuk mengulik kehidupan seorang Pelita Nuri selepas sepuluh tahun tak bertemu.

Di lain sisi, Pelita memegang dadanya. Wanita itu ambruk selepas pintu kontrakan tertutup. Lemahnya mendominasi di detik ini. Namun, kala Awan datang dan menatap dengan tatapan tanya, wanita itu bisa tersenyum lebar seakan tak terjadi apa-apa. Memang, sandiwara sudah menjadi bagian dari kehidupannya.

"Mama kenapa?" Bocah yang hampir berumur sepuluh tahun itu bertanya.

"Gapapa, Nak. Mama cuman agak pusing. Gimana kalau kita lanjutin buat kuenya?" tanya Pelita sembari mengusap pipi Awan dengan lembut.

"Om tadi enggak nakal, 'kan?" tanya Awan.

Menggeleng, Pelita tersenyum lebar. Syukur, Awan tak melihat Guntur tadi. Pelita memang menyuruh bocah itu mengerjakan kue setengah jadi kala pintu diketuk brutal. Feeling wanita itu mengatakan ada yang tak beres. Benar saja, Guntur Pranaja datang seperti yang ia takutkan kala pertemuan pertama mereka.

"Enggak, tadi teman mama. Awan emang tahu wajahnya?" Pelita bertanya memastikan.

"Enggak, Ma. Awan gak tahu, kok."

Pelita tersenyum, ia bangkit dan menggenggam tangan putranya. Mereka kembali bercengkerama meninggalkan percakapan yang menurut Pelita runyam. Senyum, canda, dan tawa kembali ada. Pelita merasa lega. Bebannya bisa terangkat hanya karena sang putra, Laksana Awan.

Kala jemari-jemari kecil itu bekerja seolah chef ternama, pikiran Pelita dibuat melayang. Bayang pilihan antara mempertahankan atau mele n y ap kan datang. Sekarang, Pelita baru tahu kenapa Tuhan memberi keyakinan untuk menempuh jalan sedemikian terjal. Ia juga baru bisa menyimpulkan kenapa hadir seorang Awan. Meski lelah, luka, dan pedih ada, Pelita masih memegang janji untuk sampai mati, Awan tetap bagian dari seorang Pelita Nuri.

"Apa Awan boleh punya papa, Ma?" tanya itu membubarkan segala awang-awang Pelita.

Terdiam, ketakutan menyerang. Wanita itu susah payah menelan ludah. Menatap wajah Awan dan matanya, Pelita bisa membaca hanya satu keinginan sang bocah yang tak bisa ia beri. Papa. Bahkan, kata itu teramat asing untuk dirinya sendiri.

"Awan ...." Pelita memanggil dengan nada pelan.

"Em, gapapa, Ma. Gapapa. Awan cuman tanya aja, kok."

Percakapan berakhir seperti biasa. Diam-diam, Awan tengah memikirkan bagaimana rupa papanya, sedangkan Pelita hanya mampu merajut rencana masa depan. Satu tanya yang mewakili, akankah Pelita seperti ini sampai nanti? Hidup dengan anak, tetapi tanpa suami?

B e r s a m b u n g ....

Pelik (21+)Where stories live. Discover now