Chapter 3

97 21 4
                                    

"Selamat pagi, selamat menyambut hari Senin pertama untuk para pendengar yang budiman! Kembali lagi di saluran radio lokal SMA Geumseok, dengan penyiar tercinta kalian, Yeol-ie Yeol-ie Chanyeol-ie yang tahun ini akan menghadiri tahun ajaran baru di kelas dua belas-satu! Sudah kubilang aku pasti naik kelas, kalian saja yang tidak percaya. HA!"

Suara serak Park Chanyeol mengudara nyaring lewat pengeras suara di setiap kelas seantero sekolah itu. Para wali kelas bahkan belum menyelesaikan pidato awal tahun ajaran musim semi untuk siswa-siswi mereka, dan pelajar yang satu itu sudah membuat ulah.

"Mengingatkan kembali untuk rekan-rekan seangkatanku bahwa tahun ini kita akan menjalani ujian SAT dan katanya kelas persiapan akan dimulai minggu depan, yang berarti pertandingan futsal mungkin akan ditiadakan. Aduh, sayang sekali, padahal aku baru lolos jadi pemain utama. Aku jadi ingin berkata kasar."

Para wali kelas menggeleng-geleng pasrah, sementara siswa-siswa kelas dua belas dan kelas sebelas yang sudah terbiasa mendengar Chanyeol mengoceh dari ruang radio hanya tertawa-tawa. Siswa-siswi kelas sepuluh yang baru memulai masa SMA mereka saling melirik satu sama lain, berbisik-bisik bertanya siapa 'Yeol-ie Yeol-ie Chanyeol-ie' yang berisik ini.

"Omong-omong, selamat datang untuk teman-teman kelas sepuluh! Ekstrakulikuler broadcasting masih kekurangan anggota, silakan datang ke ruang siaran di sebelah auditorium untuk mendaftar. Nanti kita siaran sama-sama. Lalu—oh sial, sepertinya Monster Matematika ada di luar. Aku harus lari. Semangat untuk semua! Oh iya, Queenbee-ku tersayang Baek Jinhye, aku mau menyalin catatan di rumahmu nanti sore! Adios, sampai jum—"

Siaran diputus oleh dengan suara denging pendek, lalu pengeras suara hening. Para wali kelas berdeham dan melanjutkan pidato mereka. Setiap kali menerima pertanyaan dari murid baru semacam, "Siapa yang berbicara di radio tadi itu?" Mereka akan menjawab, "Namanya Park Chanyeol. Nanti juga kalian akan sering mendengarnya. Memang dari dulu anak itu suka bicara."


***


"Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan?"

Chanyeol tidak heran saat Kyungsoo menyemburnya seperti itu setelah mendengar ringkasan tentang pertemuannya dengan Ryu Danbi tadi pagi. Ia sudah menduga Kyungsoo pasti terkejut.

"Menyelamatkan nyawa kita," jawab Chanyeol datar.

Kyungsoo memijat-mijat pelipis dengan mata terpejam rapat-rapat, seolah Chanyeol yang duduk di hadapannya adalah bencana dan ia tidak ingin melihatnya. "Apa kau harus bertindak sejauh itu?"

"Dia membawa-bawa tas besar." Chanyeol mengangkat kedua tangan untuk menggambarkan betapa besarnya tas itu baginya. "Menurutmu untuk apa itu, kalau bukan melarikan diri?"

"Jadi kau berpikir dia sedang mencoba melarikan diri? Dari kita?" gerutu Kyungsoo. "Dia pihak yang dirugikan di sini. Kalau ada yang ingin lari, itu adalah kita."

"Lalu aku harus apalagi?" Chanyeol harus mengaku, setelah memikirkannya sekarang, reaksinya tadi pagi memang agak berlebihan. Apa boleh buat. Ia panik dan tidak bisa berpikir dengan benar. Sudah pasti nilainya nol dalam bidang problem-solving. "Lagipula aku berjanji akan membantu novelnya."

"Memangnya kau serius soal itu?" tanya Kyungsoo skeptis.

"Mungkin. Tidak tahu." Chanyeol mengangkat bahu. "Sejujurnya aku hanya mengatakan itu supaya dia menandatangani kontraknya. Yang penting dia menyingkirkan arsip tulisan itu dulu sebelum jadi perkara."

"Itu masalahnya," Kyungsoo menyandarkan punggungnya dan melipat tangan di dada dengan sikap defensif. "Aku tidak setuju kalau kau memperlakukannya seperti itu. Kau berutang budi padanya. Apa kau akan memotong kaki orang yang membantumu berjalan?"

Pretty GhostwriterWhere stories live. Discover now