[ INFINITY ] : Pembuka

10 1 0
                                    

Berhenti, kumohon.

Jangan tinggalkan aku.

Amara, dengar aku. Aku di sini.

Semakin parau, pria itu berpijak. Deru napasnya makin pula menjadi-jadi. Rautnya ketakutan, dadanya berdentum keras. Pijak demi pijak yang tidak pelan lagi itu menitipkan luka dalam setiap jejaknya. Di ujung lintas matanya, dapat ia lihat jelas postur tubuh yang berdiri di depan pagar jembatan kota. Itu gadisnya, gadis yang paling ia cintai.

"AMARA!" teriakan itu mengiringi pijak di mana Amara berhasil berdiri di atas pagar alas persegi panjang itu. Lingkar mata Jaenathael berdenyut mengikuti tempo bagaimana pujaan hatinya tanpa segan menoleh ke arahnya dan mengucapkan seutas kata sebelum melompat begitu saja.

"Maaf," ucapnya, selalu lembut. Amara selalu selembut itu. Air mata Jae pecah, dihuyungkan pula tangannya yang hanya mampu menyentuh permukaan halus gaun peach yang diberikan pada Amara olehnya beberapa tahun lalu.

Jae tersadar bahwa gadis kesayangannya semakin kurus, bahkan gaun itu terlihat sedikit kebesaran. Jae juga tersadar bahwa mata penuh kesedihan itu seringkali ia hiraukan, dan dirinya juga menyadari bahwa sebenar-benarnya sudah terlambat untuk sadar akan segala hal tentang Amara.

Jae memutuskan untuk menaiki pagar jembatan tersebut, memberanikan dirinya untuk ikut melompat. Hembusan napasnya tidak lagi terarah dan bergerak seirama dengan manusia normal. Jae menangis di antara dentuman tubuhnya dengan air di bawah jembatan. Dia tenggelam bersama harapan dapat menyelamatkan gadis itu, bisa ... pasti ada kesempatan. Jae mengayuh dengan tangannya, seolah seluruh bagian tubuhnya adalah perahu yang berenang di atas deru ombak. Semakin ia kejar, semakin jauh tubuh Amara. Ia mulai kehabisan napas, namun tetap mencoba untuk bertahan. Sampai akhirnya berhasil untuk menjerat tubuh Amara, memeluknya.

Jae terkejut bukan main setelah melihat gumpalan yang memecah merah di wilayah air tempatnya berada, matanya terbuka lebar tatkala melihat pergelangan tangan Amara yang sudah terkoyak tepat sebelum gadis itu melompat dari jembatan. Hati Jae sakit, sangat. Sangat sakit.

Ini yang kedua kalinya.

Kedua kali di mana aku gagal menyelamatkannya.

Aku tahu akan muncul bagian-bagian selanjutnya.

Jae mendongak, menatap bagian permukaan air, melihat lampu-lampu, dan sorot mata memandang ke bawah. Cahaya-cahaya itu seolah bergabung, bukan sekali ia lampaui tahap-tahap ini. Apa kalian tahu? Tahap yang paling berat bukanlah tahapan yang ini.

Jae menutup matanya, menarik napas dari lenguhan yang tidak terdengar karena dihimpit air. Dia menangis, tersedu-sedu. Sampai akhirnya dapat membuka mata.

"Jae, bangun. Hari ini kamu dinas pagi kan, ayo sarapan!" Mata yang kelihatan kokoh itu melemah, ia terbangun dengan pilu. Pria itu melirik ke arah tumpukan jurnal yang harus ia review, beberapa buku, dan jas putihnya. Seperti yang ia lakukan kemarin, kemarin, dan kemarin lagi. Pria dengan mata coklat tua itu menyibak selimutnya, meraih ponsel dengan layar ucapan selamat pagi yang manis dari kekasihnya.

"Amara, ayo bertemu. Aku benar-benar merindukanmu," ketiknya pada ponsel itu, sebelum ia benar-benar berdiri dan mencari tahu pasti cara yang paling tepat untuk menyelamatkan gadisnya, lagi.

Tahapan ini yang dimaksud, tahapan awal yang paling menyakitkan bagi Jaenathael. 

Aku mencintaimu, sampai kapan pun akan senantiasa mencintaimu, jadi tunggu aku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 02, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

INFINITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang