Bab 3

199 9 0
                                    

Sepi banget, yaaa?

***

Kyra, Pak Gunawan, dan Bu Dina merasa tak sabar menunggu jawaban Arshaka. Apalagi Kyra, dia bahkan tak memalingkan pandangannya sedikit pun dari Arshaka. Sungguh, jika sampai Arshaka menolaknya, Kyra tak tahu harus menghadapi amarah pamannya seperti apa.

“Kenapa, Shaka?”

“Kak Shaka, tolong ....” Kyra berkata lirih, tapi bukan hanya Arshaka, Bu Dina pun bisa mendengarnya. Sementara Pak Gunawan masih buta akan segala hal karena emosi telah menguasainya.

“Aku mungkin bersedia menikahi Kyra tapi dengan satu syarat.”

Ada sedikit kelegaan yang Kyra, Bu Dina, dan Pak Gunawan rasakan. Selanjutnya, Pak Gunawan meminta semua untuk duduk kembali dan menyelesaikan permasalahan yang ada dengan kepala dingin.

“Syarat seperti apa yang kamu maksud, Shaka?” tanya Pak Gunawan, kali ini tak ada nada sarat akan emosi seperti tadi.

“Jika anak yang Kyra kandung terbukti bukan anakku, aku tidak bisa melanjutkan pernikahan kami nantinya, Yah, Bun.”

Pak Gunawan dan Bu Dina saling melempar tatapan. Terlihat dengan jelas sorot saling tanya dan jawaban yang sudah mereka dapatkan pula tersirat pada dua pasang mata itu. Seketika, rasa sesal menguasai dada Pak Gunawan kala melihat memar pada Arshaka.

“Shaka, rencanamu itu nggak baik, Nak. Itu sama saja dengan kamu mempunyai niat untuk mempermainkan pernikahan, Nak.” Bu Dina bersuara setelah hatinya merasakan ngilu atas pinta Arshaka.

“Tolong hargai permintaanku, Bun, Yah. Aku ingin membuktikan kalau aku bukan lelaki kurang ajar seperti yang kalian pikirkan.”

“Tapi Kyra setuju, Tante, Om.”

“Tapi, Kyra ... Tante ....”

Pak Gunawan bersitatap dengan Bu Dina, lalu dia menengadah sebentar. Pak Gunawan bukan tak suka atas ungkapan Arshaka, tapi dia merasa tak enak hati karena tadi dikuasai emosi hingga mengucapkan kata-kata tai pantas dan bertindak kasar. Bagimanapun, selama ini Arshaka tidak pernah bertingkah macam-macam.

Yang membuatnya percaya adalah, Arshaka belum pernah mengenalkan gadis yang disukanya, pun sebaliknya dengan Kyra. Jadi, kesimpulan Pak Gunawan saat emosi adalah ada rasa di antara anak angkat dan keponakannya itu, bukan karena kecelakaan yang sering kali dia dengar. Ditambah, Pak Gunawan hanya pernah mendengar cerita dari Bu Dina kalau putra angkatnya itu sudah mempunyai kekasih, tapi Arshaka enggan memberitahu siapa orangnya.

“Bun, Yah, apa aku tidak punya hak untuk masa depanku? Aku punya seseorang yang ingin aku perjuangkan, tapi bukan Kyra. Aku sudah menganggapnya seperti sepupuku sendiri, Yah.”

“Shaka benar, Mas. Seenggaknya kita kasih dia kesempatan. Dengan begitu, nama baik kita semua terjaga dan Shaka pun bisa menentukan pilihannya. Supaya nggak ada yang menyesal nantinya, Mas.”

“Baik. Tugas kalian berdua persiapkan diri kalian masing-masing.” Pandangan Pak Gunawan beralih kepada Kyra. “Om akan atur waktunya secepat mungkin. Kalau bisa dan dapat penghulunya malam ini juga, kalian mungkin akan menikah besok. Entah itu pagi, siang, sore, atau malam.”

Melihat Kyra dan Arshaka terdiam, Bu Dina pun berkata, “Mas, apa tidak sebaiknya kita memikirkan tanggal yang pas? Kita harus periksakan Kyra, menunggu Shaka membaik, dan mempersiapkan semuanya sebaik mungkin.”

“Sampai kapan, Bun? Tanggal berapa mereka akan dinikahkan? Apa kita harus menunggu hingga perut Shakyra membuncit dan digunjing sana-sini?”

“Tapi seenggaknya jangan mendadak begini, Mas. Kita redam emosi, dinginkan hati dan pikiran, dan tunggu sampai memar di wajah Shaka membaik.”

Pak Gunawan terdiam. Dia menatap Arshaka dan Kyra yang tengah menunjukkan ekspresi berbeda.

“Bunda benar, Yah, kalau Ayah memaksaku menikahi Kyra dalam waktu cepat, kemungkinan terbesarnya aku akan menarik ucapanku yang akan menikahi Kyra.”

Kyra tersentak. Dia menghapus air matanya yang berjejak di sepasang bulu mata lentiknya. Kyra ingin bersuara, tapi lidahnya kelu, ditambah Pak Gunawan pun menyetujui apa yang Arshaka pinta.

“Minggu besok, kamu luangkan waktumu, Shaka. Kita ke dokter kandungan untuk periksakan kehamilan Kyra.”

“Iya, Yah. Kalau gitu aku ke kamar dulu, Yah, Bun.”

“Shaka, jangan lama-lama. Setelah kamu selesai, kita makan malam.”

“Iya, Yah.”

“Shaka, Bunda obati lukanya sebentar, sini, Nak.”

“Aku bisa obatin sendiri, Bun. Palingan nanti juga membaik. Aku ke kamar dulu.”

Setelah Arshaka berlalu, Pak Gunawan pun menyusul pergi. Kini, tinggalah Kyra dan Bu Dina yang sama-sama sibuk dengan pemikiran berbeda.

“Kyra?” panggil Bu Dina tatkala melihat keponakannya tengah menatap kosong.

“Kyra?”

“Eh, iya, Tante. Kenapa?”

“Kamu nggak papa, Sayang?”

“Nggak, kok, Tan. Kyra cuman agak laper.”

Bu Dina tersenyum kecil. “Masa laper bisa bikin kamu bengong. Jangan melamun, takut kesambet.”

“Iya, Tan,” sahutnya sambil tertawa kecil sambil menghapus jejak air mata.

Bu Dina melirik Kyra yang kini tak semuram tadi. Namun, dari sorot matanya, terpancar rasa khawatir yang Bu Dina sendiri tak tahu sebabnya. Mumpung hanya berdua, Bu Dina ingin berbicara dengan Kyra dari hati ke hati. Sesama wanita, tentu dia lebih berpengalaman dan ikut merasakan apa yang Kyra rasakan.

“Kyra, Tante mau nanya boleh?”

Kyra melirik Bu Dina takut-takut. “Ta-tanya apa, Tan?”

“Apa orangnya benar Shaka, Nak?”

“Ke-kenapa Tante nanyain itu?”

Bu Dina memperhatikan setiap gerak-gerik Kyra. Gadis di dekatnya tampak salah tingkah. Kyra enggan membalas tatapannya, seolah-olah memang ada yang disembunyikan.

Bu Dina menarik napas panjang. Dia memilih mengikuti alur yang akan Kyra buat saja. Bu Dina hanya takut Kyra tertekan dan belum siap bercerita.

“Tante cuman pengen tau aja. Ingat, kalau ada apa-apa, Kyra bisa cerita sama Tante seperti biasa. Kamu siapin baskom berisi air hangat, gih.”

“Buat apa, Tan?”

“Buat kompres tanda tangan om kamu di wajah calon suami kamu, lah, masa buat masak.”

Kyra ikut terkekeh-kekeh walaupun kebimbangan di hatinya mulai berkuasa. Status calon suami yang diucap Bu Dina terasa menusuk gendang telinganya. Kalau bisa jujur, rasanya Kyra belum sanggup bertemu Arshaka.

Nikah tanpa CintaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora