TUJUH BELAS

694 79 6
                                    

Hareksa tahu ada yang tidak beres.

Karena begitu ia menginjakkan kaki di sekolah, semua mata memandangnya dengan aneh. Hareksa mencoba untuk tak peduli, tapi semakin masuk ke dalam tatapan mata mereka terasa menguliti tubuhnya membuat ia sangat tak nyaman.

Ada apa? Apa Hareksa membuat kesalahan?

"Itu dia 'kan?"

"Iya, benar. Yang ada di mading itu foto dia."

"Sumpah! Gue nggak nyangka banget."

"Nggak punya moral! Gue harap dia di keluarin!"

"Pantas aja waktu itu gue di tolak, ternyata homo!"

Langkah kaki Hareksa terhenti begitu ucapan terakhir dari seseorang membuatnya mematung. Degup jantung terasa bertalu, rasa takut perlahan mulai merayapi tubuhnya.

Hareksa melanjutkan kembali langkahnya yang terasa linglung, tanah yang di pijaknya seolah bergoyang membuat Hareksa beberapa kali tanpa sengaja menabrak orang. Tak ia pedulikan ketika di setiap langkah yang ia ambil tatapan merendahkan juga bisikan mencemooh mengudara.

Hareksa mencoba menerobos kerumunan orang yang berdesakan untuk melihat sesuatu di papan mading. Kemudian, ketika ia sudah sampai di barisan paling depan dan melihat apa yang tertempel di papan mading, Hareksa merasa dunianya hancur detik itu juga.

Itu, foto dirinya yang tengah berciuman dengan seseorang.

Siapa orang yang menempel fotonya di papan mading?

Di tengah rasa sesak yang menyelimutinya, dahi Hareksa mengerut bingung. Sebab, ia tak mengenali siapa pemuda yang berciuman dengannya di foto itu. Ia hanya pernah melakukan itu dengan Mahesa, tidak pernah sekalipun ia melakukannya dengan yang lain.

Hareksa meremas dadanya ketika rasa sesaknya kian menjadi saat semua orang mulai menjaga jarak darinya, tak lupa mereka juga memberikan tatapan seolah-olah ia adalah penyakit menular yang harus mereka jauhi dan hindari.

Sejujurnya, Hareksa tak pernah takut akan pandangan orang lain mengenai dirinya. Jauh sebelum itu, Hareksa sudah mempersiapkan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Namun, ia sungguh tak mengharapkan akan begini pada akhirnya.

"Gue baru tau kalau orang yang sebelumnya gue suka, ternyata nggak lebih dari cowok menjijikan!"

Hareksa berbalik, menatap orang yang berbicara dengan nada yang terdengar menyakitkan seperti itu padanya.

Ah, Hareksa mengenalnya. Sirea, salah satu gadis yang pernah menyatakan perasaan pada Hareksa yang berakhir ia tolak.

"Enggak ngerti lagi deh sama orang-orang sejenis mereka, kenapa milih buat menyimpang 'sih?!"

"Iya, gue yang bayanginnya aja jijik banget."

"Sumpah! Nyesel banget gue pernah suka sama dia!"

"Gue harap dia dikeluarin dari sekolah! Homo kayak dia bisa bikin nama sekolah kita tercoreng!"

Tanpa sadar, jemari Hareksa bergetar hebat. Sedangkan, bibirnya kelu untuk berucap. Hareksa tahu bahwa kali ini ia tak bisa membela diri, semua tuduhan yang mereka layangkan adalah kebenaran yang tak bisa Hareksa sangkal.

Hareksa memejamkan mata, tubuhnya yang bergetar hebat tiba-tiba meluruh kebawah. Hareksa menutup kasar telinganya, berharap ucapan-ucapan menyakitkan yang terlontar dari bibir mereka tak terdengar. Dan Hareksa tahu, bahwa itu semua hanya sia-sia.

Mahesa, lo dimana?

Di saat seperti ini, ia sangat berharap bahwa pemuda yang lebih tua datang dan membawanya pergi dengan segera.

Butterfly [MarkHyuck]Where stories live. Discover now