Enam belas; mencicip ketakutan

1.3K 213 37
                                    

Jangankan ingin ku tersenyumTak ada gairahKuingin s'lalu bersamamuKini ku resahDiriku lemah tanpamu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jangankan ingin ku tersenyum
Tak ada gairah
Kuingin s'lalu bersamamu
Kini ku resah
Diriku lemah tanpamu

-----------------------------------------------------------------------

Tangan Junio bergetar, sekujur tubuhnya masih terasa dingin. Dia masih berada di parkiran rumah sakit, di dalam mobilnya yang diparkir Chendra di bawah lampu jalan. Napasnya pendek-pendek dan pikirannya kalut.

"Kita temennya Kang Nadhi, Tante." Chendra menyerobot ke depan, menjelaskan situasi tanpa diminta.

Namun raut wanita paruh baya di depannya sulit untuk dijelaskan. Meski begitu, Bu Arka tetap menjelaskan dengan nada pelan.

"Nadhi gak apa-apa. Tulang telapak kakinya retak, untuk sementara harus istirahat total. Dan lecet-lecet di tangan dan kepala. Tapi tidak ada yang membahayakan nyawa."

Sementara Chendra menghembuskan napas lega, Junio masih belum sanggup mengeluarkan kata-kata. Dia belum pernah setakut ini dalam hidupnya. Mendengar keadaan kekasihnya tanpa bisa melihatnya saat ini juga terasa tidak mengurangi siksaan untuk batinnya. Sayangnya, Junio tidak punya pilihan. Jam besuk sudah usai, mereka dipersilakan untuk menjenguk kembali besok.

Junio tahu gerak-geriknya diawasi Bu Arka saat mereka melangkah menjauh di koridor rumah sakit, tapi gelombang syok masih belum mau membuatnya peduli.

Chendra masuk ke mobil di kursi pengemudi, mengulurkan sebotol air mineral untuknya. "Minum," suruh anak itu tanpa basa-basi. "Kita ada depan UGD tapi jangan sampe lo ikut pingsan di sini, Kak."

Tanpa protes, Junio membuka botolnya dan minum beberapa teguk. Kepalanya yang tadi berdenging kini membaik, meski fokusnya belum sepenuhnya kembali. Jantungnya sedikit melambat dari dentuman keras seperti bunyi laju kereta. Dia menundukkan kepala.

Sang adik sepupu melihatnya prihatin. Ketidak beruntungan menabrak Junio tanpa jeda. Situasinya sudah carut-marut beberapa waktu kebelakang, dan kini Nadhi baru saja kecelakaan. Chendra membiarkan keheningan menyelimuti di mobil untuk beberapa waktu kedepan. Dia tahu Junio membutuhkan ketenangan.

Momen ini digunakannya untuk kilas balik apa saja yang sudah terjadi selama tujuh tahun terakhir. Waktu berlalu begitu cepat. Rasanya, baru kemarin Chendra menahan Nadhi untuk menemui Junio yang sedang patah hati, yang percaya jika dialah satu-satunya yang menaruh rasa di antara mereka berdua. Selanjutnya, dia menyaksikan Nadhi mencintai Junio hampir setiap hari, setiap waktu, setiap kesempatan. Yang lama-lama memang membuatnya muak, tapi sekaligus bersyukur, bahkan untuk seseorang sepesimis Junio tentang kehidupan cintanya, ada seseorang seperti Nadhi yang hadir dan meyakinkannya kapan saja.

Chendra melihat mereka dari garis batas lapangan, cukup dekat untuk merasakan hangat dan nyatanya, tapi cukup jauh untuk tidak ikut campur. Mandala berkali-kali bilang jika hubungan keduanya mustahil, dan Chendra menolak untuk menyampaikannya langsung ke Junio. Dia bersikukuh, apapun yang membuat Junio bahagia akan didukung olehnya, mengingat sang kakak sepupu sudah terasa seperti kakak sendiri.

batas; di antara - JaemRenWhere stories live. Discover now