52

6K 158 2
                                    

Perjalanan menuju sebuah gedung putih begitu padat dengan kendaraan yang memiliki tujuan masing-masing.

Suasana mulai berubah menjadi hangat kala sebuah genggaman menyapanya di seperempat jam perjalanan.

Gadis mungil itu tersenyum simpul pada lelaki yang tengah menyetir dengan satu tangan.

"Fokus nyetir aja kan bisa. Aku gak kabur, kokk ... tenang aja," ledek gadis itu.

•••••

"Ehh, Ayyara. Sini-sinii, nih Vero baru aja mandi. Kamu udah makan?" tanya wanita berpakaian sederhana dengan daster dan cepolan di kepalanya.

"Udah, Tan. Tadi sama Kak Altar," balas Aya di akhiri senyumnya yang manis.

"Ohh, udah. Yaudahh ... nanti jangan capek-capek lho, ya. Berapa hari lagi kan, kalian udah--"

"Kakk! Ayo, mainn!" paksa Vero, sambil menarik tangan Aya ke arah taman belakang rumah milik Altar yang terdapat kolam renangnya juga.

Lelaki mungil itu berhasil membawa Aya menuju area belakang rumah, dan membuatnya duduk di bangku.

Lelaki itu membiarkan Vero bermain dengan Bubu, kucing Aya yang ditaruh di sini untuk Vero.

"Lucu ya, Kak ..." Aya terkekeh singkat, menuai tatapan intens dari Altar.

"... kalau bukan karena aku keterima kuliah ke Jepang, kayaknya kita gak bakal dijodohin."

Mungkin, jika garis takdir kedua orang tuanya tiada, ia tidak akan bertemu dengan keluarga Samuel.

Ia juga tidak akan dibiayai hidup dengan keluarga Samuel, sampai harus kuliah di tempat, di mana Samuel dilahirkan. Yaitu, Tokyo.

"Tanpa lo diterima di sana, kita udah jodoh."

Blush!

Oh, ternyata begini rasanya diberi skak mat oleh lelaki cuek yang dinginnya seperti seribu freezer ice cream.

Mendengar balasan Altar, membuat Aya tertawa kecil sambil menggelengkan kepala singkat.

Ia merasa, ini adalah sebuah bumbu pemanis dalam hidup setelah merasa asam dan pahitnya menjalani hubungan dengan Samuel.

Meski bersama Altar melalui paksaan-perjodohan-beberapa bulan setelah tahu bahwa Aya diterima di universitas Jepang, tapi Aya merasa tidak ada yang mengganjal untuk merasakan hubungan ini.

"Udah hubungin, Samuel?" tanya Altar, dengan tatapan yang sudah beralih pada Vero.

Ini yang Aya suka. Altar bisa menerima masa lalunya yang keruh. Sangat keruh. Bahkan Aya tidak tahu persis bagaimana menjadikan masa lalunya bersama Samuel itu menjadi lebih terang, dan hilang menjadi putih polos dengan bersih sempurna.

Sehingga ia bisa menerima orang baru tanpa harus menjadikan bahan untuk melupakan kenangannya.

Aya mengangguk cepat. "Udah kemarin. Katanya sih gak bisa dateng. Karena Kak Vania lagi kabur-kaburan terus."

"Papa sama Mama tau?" Aya menggelengkan kepala seraya menoleh singkat pada Altar.

Jangankan tentang Vania yang sering kabur-kaburan dari rumah, bahkan orang tuanya juga tidak tahu tentang Aya yang pernah menjalin hubungan hampir serius dengan Samuel.

Mendadak Aya tertawa kecil mengingat betapa cueknya Altar waktu pertama kali bertemu, dan sampai lelaki itu lulus SMA pun ia masih menghitung perkembangan Altar yang berhasil mengucapkan banyak kalimat saat perpisahan.

"Kenapa?" tanya lelaki itu keheranan.
Aya menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tertawa kecil.

"Enggakk ... lucu aja."

MOST WANTED [END] Where stories live. Discover now