20

287 70 22
                                    

DON'T FORGET TO LIKE AND COMMENT

HAPPY READING

*
*
*
*
*

"Diberitahukan pada semua siswa kelas 7, 8, dan 9, dimohon untuk segera berkumpul di auditorium sekarang"

Suara nyaring yang disalurkan melalui speaker di masing-masing kelas itu membuat kbm yang sedang dilaksanakan menjadi buyat. Tak terkecuali Rifki.

Siswa kelas 9 atau lebih tepatnya kelas 9E tersebut mendengus kesal karena kegiatan bedah soal yang tengah dilakukan terpaksa dihentikan karena pengumuman dari kesiswaan.

Dengan malas, Rifki mengikuti rombongan teman-temannya yang sudah terlebih dahulu meninggalkan kelas untuk menuju ke auditorium sekolah yang letaknya ada di lantai 4.

Ia memilih untuk duduk di kursi paling belakang. Menatap datar ke depan tepatnya pada jejeran petinggi sekolah yang sudah menyambut dengan senyuman lebar.

Selama acara berjalan, Rifki tak henti-hentinya menghela napasnya bosan. Semuanya hanyalah basa basi baginya.

Kenapa tidak to the point saja sih?

Rasanya menghadapi rumus trigonometri lebih menarik dari pada mendengarkan kepala sekolahnya berceramah.

"Jadi, kami bermaksud untuk mengadakan sedekah yang berasal dari siswa-siswi kami yanh tercinta ini sebagai ajang untuk mensukseskan wisuda yang akan diadakan."

Rasa bosan dan kantuk yang ia rasakan terhempas begitu saja setelah mendengar kalimat dari lisan bau rokok sang kepala sekolah.

Bisik-bisik gunjingan dari para siswa terdengar memenuhi auditorium. Tak terkecuali Rifki yang kini mengumpat pelan. Ia menatap tajam pada jejeran petinggi sekolah yang masih tersenyum lebar seakan tak melakukan apapun.

Salah seorang siswa mengacungkan tangannya. Siswa yang merupakan mantan ketua eskul paskibra itu berdiri setelah menerima microphone dari salah seorang guru.

"Perkenalkan nama saya, Dwi Putih Ayuningtias dari kelas 9A. Izin menyampaikan beberapa pertanyaan. Yang pertama, dari awal isi pembukaan yang kami dengarkan adalah tentang adiwiyata, lalu kenapa diakhiri dengan meminta sedekah untuk wisuda? Benang0 merah dari dua hal yang jelas-jelas berbeda itu apa?"

"Yang kedua, bukankah semua siswa dan siswi kelas 9 sudah melunasi iuran untuk wisuda beserta tetek bengeknya sebesar Rp 9 juta? Lalu esensi sedekah ini untuk apa? Kemana dana yang sudah terkumpul?"

"Dan yang ketiga, kalaupun sedekah ini sangat urgent, berapa nominal yang diharuskan? Apakah sesuai dengan arti sedekah yang berarti seikhlasnya?"

Tiga pertanyaan yang baru saja dikemukakan mengundang anggukan dan juga ucapan 'setuju' dari pasa siswa. Termasuk Rifki yang sangat menunggu jawaban apa yang akan diberikan.

Terlihat sang kepala sekolah tersenyum sejenak sebelum mengambil microphone di depannya dan mendekatkan benda itu pada lisannya.

"Baik. Saya akan menjawab pertanyaan dari Nak Dwi. Yang pertama, Adiwiyata merupakan salah satu visi dari sekolah kita tercinta ini dan saya berharap acara wisuda yang akan diselenggarakan mampu menjadi sarana penyaluran sosialisasi dan kerja nyata demi mencapai sekolah Adiwiyata."

"Yang kedua, dana yang telah terkumpul sudah digunakan untuk reservasi gedung dan lain-lain. Namun seperti yang saya sampaikan tadi, saya berniat mengadakan kegiatan tambahan pada acara wisuda yang membuat kita membutuhkan dana lebih."

"Dan yang ketiga, untuk nominal sedekah itu seikhlasnya. Tapi, kami mematok biaya minimal sebesar Rp 7 juta rupiah."

Tepat setelah pertanyaan ketiga dijawab, suasana mendadak ricuh. Kali ini para siswa tak segan untuk berteriak marah dan memaki pihak sekolah yang herannya masih tetap memamerkan senyuman.

Sementara Rifki hanya terdiam. Namun kedua tangannya mengepal erat dengan mata yang menatap benci ke depan.

Di sekelilingnya, ia bisa mendengar semua suara dengan nada kasar dan juga kata-kata kotor yang menggema bagaikan guntur.

"BRENGSEK! WISUDA 17 JUTA! MENDING GUE BELI RUMAH!"

"KORUPSI PASTI! KORUPSI!"

"SELAMA INI DANA ABIS BUAT ADIWIYATA DOANG ANJING! KURANG IJO APA LAGI NIH SEKOLAH?!"

"ALAH NGAKU AJA PALING DANANYA DIPAKE KALIAN KAN?!"

"PAK, BUK! MIKIR DONG! DI SINI NGGA SEMUA SISWA ITU MAMPU!"

"DANA PIP JUGA KAN KALIAN AMBIL SETENGAH! MASIH KURANG KAH MERAS KAMI?!"

Kondisi benar-benar tidak kondusif. Dan bukannya menenangkan keadaan, para petinggi sekolah yang masih ada di atas panggung itu malah bersiap untuk pergi.

"Keputusan sudah final anak-anakku. Pengumpulan dana akan melalui wali kelas kalian. Selamat siang."

Melihat hal itu, membuat para siswa yang memang sudah dikuasai amarah semakin menggila. Mereka mulai melempari para petinggi sekolah dengan apapun yang ada seperti gumpalan kertas dan juga pulpen kosong.

Namun sayangnya hal itu tak menghasilkan apapun karena para satpam melindungi para petinggi tersebut.

Setelah beberapa waktu berjalan, seorang siswa maju ke atas dan mulai mengendalikan keadaan. Dia adalah Joan Gentala, mantan ketua OSIS yang sekarang ada di kelas 9C.

"Udah, sekarang kita rundingin ini. Ketos yang sekarang, dan semua ketua eskul naik ke sini. Mantan ketua eskul juga ikut."

Titah yang disampaikan Joan dipatuhi para siswa. Beberapa siswa yang dimaksud mulai naik ke atas panggung dan berdiri di samping kanan dan kiri Joan untuk memimpin perundingan.

"UDAH NGGA USAH CANCINCONG! ITU KEPSEK BEJAT PASTI KORUPSI!" Teriak salah seorang siswa yang kembali menyulut amarah siswa yang lain.

Joan dan para ketua juga mantan ketua yang ada di panggung merasa frustasi karena untuk mengendalikan banyak kepala memang sesulit itu.

BRAK!

Tiba-tiba sebuah kursi yang dibanting hingga menimbukan suara keras nan bising berhasil mengheningkan keadaan.

Sementara sang pelaku menatap semua yang ada di auditorium dengan tajam. Dan siswa itu tak lain adalah Rifki.

"DIEM DULU ANJING! PERCUMA LO NGEBACOT TENTANG KORUPSI! LAWAN KITA ORANG BERADA! MIKIR!"

Napas anak itu naik turun. Ia berdecih saat para siswa mulai diam membisu dan kembali duduk di tempatnya masing-masing.

Rifki beralih ke depan dan matanya bertemu pandang dengan Joan yang tengah tersenyum padanya seakan sedang berterima kasih.

Anak itu hanya menganggukan kepalanya sekilas dan kembali mendudukan diri di kursinya. Mengisyaratkan agar Joan bisa kembali melanjutkan perundingan.

"Oke. Kita lanjut diskusinya. Jangan mancing amarah dulu."

Di pojok sana, Rifki mendengarkan dengan fokus semua isi diskusi yang tengah dilakukan. Ia memilih diam dan hanya menjadi pendengar.

Namun ia tau, dimana ia harus memihak.

"Kalaupun mereka semua kalah, gua ngga akan nyerah. Gue ngga mau nyusahin mas Andra lagi."

TBC

Author Note : udah ketebak dong konflik selanjutnya apa.

Maaf ya, lagi batuk jadi hawanya pengin tidur mulu.

KORSA || Enhypen✔Where stories live. Discover now