1. Distorsi

213 42 10
                                    

Aku memandangi rapot yang baru saja Ayah ambil, dia menepuk pundakku dengan bangga

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku memandangi rapot yang baru saja Ayah ambil, dia menepuk pundakku dengan bangga. Tak apa, begitu katanya. Setidaknya, aku sudah berusaha maksimal, di tengah gempuran kemalangan yang menyelimuti keluarga kami beberapa bulan belakangan.

Kebakaran yang merenggut nyawa Niko dan Milli, masih menyisahkan secuil luka di hati ayah. Hal itu, terlihat jelas di mata rentanya. Dia mematut senyuman saat menatapku. Senyuman datar yang ditarik secara paksa.

"Ayah, apa ibun, akan segera pulang dari rumah sakit?"

Ayah menatapku sekilas. Dia tersenyum ragu, "semoga ya," katanya disertai desah yang terdengar berat. Dia pasti masih belum bisa menerima keadaan ibu yang sekarang. Namun, walau begitu, ayah masih jauh lebih beruntung daripada aku, yang jelas-jelas dilupakan dari benak ibu.

Kami keluar dan bergegas pergi ke rumah sakit untuk menemui ibu. Sejak Niko dan Milli meninggal setelah kebakaran rumah kami, dia dirawat di rumah sakit selama berbulan-bulan.

Kepingan kenangan yang berhasil aku rekatkan di puzzle kehidupan milik ibu, membuatnya melupakan aku. Aku terdistorsi dari ingatannya, baginya aku hanya seorang teman. Nahasnya, teman khayalan ibu.

"Hana! Kamu mau ke mana?" Suara bariton yang paling aku benci itu terdengar kuat sekali. Aku menoleh, dia berdiri di teras ruang guru menatap ke arahku. Seperti biasa, dia memakai kemeja lengan panjang yang digulung sampai siku, dan satu tangannya di dalam kantung celananya. Sok keren, seperti biasa.

"Ke Rumkit, jenguk ibun!" sahutku sambil berteriak.

Ayah juga menoleh ke arahnya, Pak guruku itu langsung lari dan menyalami ayah. Wajahnya tiba-tiba saja memasang senyuman menyebalkan.

Ayah menyuruhku pergi terlebih dahulu. Katanya, dia ingin berbincang sebentar. Dua laki-laki itu, jika sudah bertemu, tidak akan ada kata sebentar untuk berbincang.

Kemarin, ibu bilang dia ingin sekali mencicipi buah naga sambil membaca majalah. Kakek Wiskar memberikan majalah-majalah antik, dari dalam kapsul waktu. Aku tak pernah tahu, benda-benda ini, bisa diambil dari sana.

Namun, kalau dipikir-pikir, aku harus cari di mana majalah Aneka Yess yang usianya jauh lebih tua dari aku ini? Bahkan, toko buku paling tua di kota ini pun, sudah tidak menjual benda seperti ini lagi. Perpustakaan? Perpustakaan paling lengkap di sini pun tidak memilikinya.

Kami hanya tinggal di kota kecil yang berjarak 80km dari ibu kota Propinsi Sumatera Utara. Letaknya, hanya satu jam berkendara via tol, dan sekolahku ini, berjarak 3km dari pintu tol. Ayah yang bekerja di kota sebelah, setiap hari pulang pergi via tol untuk kembali ke sini menjenguk ibu.

Jantung hati ibu, ya, Ayah. Lelaki karismatik yang menjadi tambatan hatinya itu, selalu menepati janjinya untuk pulang. Walau tak jarang, ibu juga melarangnya datang. Ayah menangis, merengek seperti anak kecil, agar ibu mau pindah agar bisa tinggal bersamanya. Namun, ibu enggan, entah apa yang ada di dalam pikiran ibu, sekarang.
...

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Where stories live. Discover now