Bab 1

1 0 0
                                    

Seseorang dengan pakaian serba hitam dan topeng berbentuk rubah berwarna putih dengan gambar belati berwarna merah di bagian mata kanan menatap seseorang yang sudah tergeletak di hadapannya. Tangannya memegang sebuah map berwarna cokelat yang ia amati setiap bagiannya. Sosok itu membuka map cokelatnya, lalu dibaca satu persatu tulisan yang ada di dalamnya. Senyum merekah dari bibirnya yang tak tertutup topeng setengah muka itu. Ia segera memasukkan map ke dalam tasnya, lalu keluar dari ruangan itu dengan langkah santai. Sosok itu telah berganti penampilan sebelum keluar ruangan menjadi seorang gadis yang berpakaian serba mini dan bermake-up tebal. Ia berjalan di lorong hotel tanpa kepayahan, lalu keluar dari lift dengan santai. Gadis itu melenggang pergi dari hotel seolah tidak ada sesuatu yang terjadi.
***
“Seorang anggota DPR Luhur Santoso diketahui meninggal pagi ini karena serangan jantung di Hotel Andalusia. Sebelumnya, KPK berhasil menemukan jejak adanya kasus penggelapan dana yang dilakukan pada proyek Pembangunan Desa Tertinggal yang baru-baru kini digalakkan pemerintah. Korban sempat dicurigai dibunuh oleh oposisi karena ditemukan adanya luka bekas tusukan jarum setelah mayat diotopsi meskipun kemudian polisi membantah karena tidak ditemukan barang bukti apapun di TKP. Bahkan ahli forensik akhirnya mencabut pernyataannya karena tidak ditemukan adanya reaksi kimia apa pun di dalam tubuh korban. Untuk korupsi yang dilakukan korban, dari data yang diperoleh KPK tersebut ...” seorang pembawa acara sebuah berita lokal membawakan berita yang mengguncang Indonesia itu. Sebuah berita yang kebetulan merupakan berita bagus. Tapi, ibarat berita kemalingan di dalam angkot, orang-orang yang ada di sana tidak ada yang peduli dengan suara presenter di televisi yang terdengar jelas dan tetap melanjutkan apa yang mereka lakukan. Sebenarnya, lumayan unik juga kafe ini karena bukannya menyetel lagu-lagu galau yang sedang hits malah menyetel berita lokal yang rasanya di zaman sekarang nyaris tidak memberi informasi penting karena seringnya hanya diisi oleh para public figure sensasional dan berita remeh seperti kucingnya Rafatar beranak lima.
“Ra, dapur kosong, kan? Gantiin gua di kasir bentar, sih. Gua mau ke kamar mandi. Mumpung sepi,” panggil seorang perempuan berusia seperempat abad yang menjaga kasir di sebuah cafe kecil ini. Aroma kopi menyeruak dan memenuhi ruangan. Gadis yang dipanggil ‘Ra' tersebut bertugas membuat makanan di dapur, datang dengan langkah gontainya.
“Andara! Buru. Udah di pucuk ini!” pekik perempuan itu. Andara terkikik geli.
“Iya, iya. Ya sudah sana, Kak. Daripada jadi batu ginjal,” sahut Andara santai.
“Nggak ada rasa bersalahnya yah, nih anak.” Perempuan itu meninggalkan Andara dengan terburu-buru. Andara juga sudah malas meledek perempuan yang lebih tua dua tahun darinya dan memilih untuk segera menyambut pelanggan yang baru datang.
“Ra, dipanggil Bos.”
Andara menatap gadis yang baru saja keluar dari kamar mandi itu dengan menaikkan salah satu alisnya.
“Tadi gua udah dari sana loh, Kak. Kak Alin bohong, ya?” Gadis yang dipanggil Alin itu akhirnya benar-benar menjitak rekan kerjanya itu. Beberapa pembeli yang duduk di dekat meja kasir menatap interaksi mereka berdua yang terlihat sangat akrab. Seorang laki-laki yang memegang gelas pesanan mendekati keduanya dan berdehem. Andara yang bermaksud mengganggu Alin lebih lama terpaksa hengkang dan segera masuk menghampiri bosnya.
“Bang Arga emang paling bisa ngontrol Andara. Tuh anak paling muda, tapi nggak ada takut-takutnya,” puji Alin. Arga yang kembali ke mesin kopinya mengulas senyum tipis. Andara memang sedikit segan pada Arga. Kalau boleh dilihat, Arga menempati posisi kedua yang disegani gadis itu setelah bosnya. Padahal Arga sendiri tidak banyak bicara. Justru sangat pendiam dan penyayang yang entah mengapa memiliki aura yang kuat karena keterdiamannya itu.
Tak terasa sehari telah selesai dilalui. Andara sedikit merasa tidak mood karena dimarahi bosnya. Yah, ia sedikit merasa tidak adil saja. Karena dirinya yang sudah bekerja keras bukannya dipuji malah ditegur karena sedikit kesalahan. Tapi untung bosnya masih memberikan pujian di akhir omelannya itu. Tidak terlalu buruk.
Total ada empat orang karyawan yang bekerja di kafe kecil ini. Kafe bernama ‘Diksi Senja’ itu selalu tutup di pukul 22.00 dan buka di pukul 15.00, yang mana dalam manajemennya tidak ada pergantian sift. Dari empat karyawan itu, dua perempuan dan dua laki-laki dengan Andara sebagai anggota termuda dan Bang Faisal sebagai member tertua. Satu-satunya karyawan yang awalan nama panggilannya bukan A dan sering disayangkan oleh Andara. “Kan kalo A juga, jadi Squad A dong. Andara, Alin, Arga, dan Aisal.” Adalah salah satu kalimat yang diucapkan Andara.
“Dapur beres semua kan, Ra?” tanya Bang Faisal. Sama seperti dirinya, Bang Faisal juga memegang dapur. Bedanya, Andara hanya mengurusi makanan ringan, sedangkan Bang Faisal lebih kepada chef utamanya. Bang Arga yang memegang minuman dan perkopian yang sesekali dibantu Kak Alin yang memegang bagian kasir.
“Beres. Andara kalo kerja selalu beres. Nggak mungkin ada yang salah,” sombongnya.
“Kalo nggak mungkin ada yang salah, nggak mungkin dong bos marahin tadi?” lede Bang Faisal. Andara langsung merengut.
“Demi apa sih, Bang. Jangan diingetin! Lagian kan cuma salah dikit, loh. Cuma keasinan dikit waktu goreng kentang. Masa gara-gara itu aku kena marah,” sungutnya.
Bang Arga yang sudah selesai membereskan meja kerjanya dan mendengar dumelan Andara mendekati gadis itu. Ia menepuk kepala Andara dua kali. Si empunya kepala sudah hafal dengan tangan yang mengacak rambut yang sudah ia ikat tidak melayangkan protes.
“Kalo pelanggannya punya darah tinggi, bisa-bisa naik tekanan darahnya. Emang kamu mau kena kasus bikin pelanggan darah tinggi?” tanya Bang Faisal. Bang Arga terdiam dengan merangkul pundak gadis itu.
“Ya makanya kalo makan jangan sambil emosi biar gak darah tinggi. Yang ada juga nanti cepet tua,” dumel gadis itu kesal.
“Protes terus. Kamu itu kalo nggak protes kayanya gatel mulutnya,” sambar Alin.
“Kak Alin nyambung aja kaya kabel,” protes Andara.
“Udah. Sekarang kita pulang. Udah beres semua, kan?” tanya Bang Arga. Semuanya mengangguk, termasuk Andara.
“Ya udah. Ayo pulang!” ajak bang Faisal sembari mengacak-acak rambut Andara.
“Bang! Rambutku berantakan astaga!” pekiknya kesal.
Faisal tertawa terbahak-bahak. Ia meminta maaf dengan tawa yang masih ada. Andara memilih untuk diam saja dan langsung naik ke atas motor Faisal. Ya, karena searah, gadis itu diantar Faisal. Awal kerja, ia memilih untuk naik ojek online. Tapi, karena malah dikejar begal, keesokan harinya ketiga orang itu sepakat melarang Andara untuk naik ojek online, apalagi naik motor sendiri. Kalau Alin, karena gadis itu dan Arga adalah kembaran, jelas keduanya pulang bersama. Ya, Alin dan Arga adalah anak kembar. Dan Faisal yang bertugas mengantar Andara pulang karena kebetulan rumah Andara dilewati olehnya kalau dari kafe.
Saat mereka dalam perjalanan, Faisal melirik spion karena merasa tidak nyaman dengan dua motor di belakangnya. Saat ia melambat, motor di belakang ikut melambat. Saat ia menambah kecepatannya, motor di belakang melakukan hal yang sama dengan tetap menjaga jarak.
“Hais. Kenapa pula ada tikus rese. Aku masih kesel karena dimarah bos tadi, malah ada yang mau jadi samsak hidup,” ucap Andara.
“Jangan. Nggak usah. Bisa bahaya kalo ada yang mati.”
“Tumben Abang khawatir,” sahut Andara cepat.
“Gua nggak khawatir sama lo! Justru sama mereka!” jawab Faisal tegas. Andara terkekeh. Jangan remehkan gadis dengan sabuk hitam karate dan hapkido yang merangkap dengan sabuk hitam Judo ya, kawan. Apalagi tenaga Andara tidak bisa dianggap remeh.
“Udah, kita kabur aja. Gua males kalo mereka mati, kita yang repot.”
Andara berdecih. Faisal akhirnya memamerkan skillnya dalam menguasai kendaraan roda dua itu dan berhasil lepas dari pembegal tanpa harus melakukan perlawanan.

Dalam BayanganWhere stories live. Discover now