🥀 || 20. Menuju Bahagia

441 66 1
                                    

Red Lights[Komentar Rame = Cepat Update]

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Red Lights
[Komentar Rame = Cepat Update]

🍀Story by Ana Latifa 🍀
Instagram: Onlyana23 | Wattpad: Onlyana23 | GWP: Onlyana23 | Link: onlyana23.carrd.co

🥀

...

🥀

Keinginan mati dan Hazel adalah dua hal kontradiktif.

Dia yang beban hidupnya jauh lebih berat dariku tidak pernah memikirkan untuk mati sejak SMA, bahkan ketika ayahnya meninggal, dia harus mengurusi dua adik kecilnya dan membiayai pengobatan ibunya semasa hidup, lalu ketika ketika ibunya meninggal, ketika dia mendatangi Dokter Luki dan mengeluh merasa cemas, Hazel paling anti berpikir mengakhiri diri.

Kepalaku nyaris pecah memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan mengapa Hazel bisa berkata begitu. Itu bukan Hazel sekali. Atau itukah dirinya yang selama ini dia sembunyikan?

Argh! Aku kesal karena kebodohanku tidak sanggup langsung memahaminya.

"Belinda! Di mana Bunda Yere?"

Belinda menahan diriku yang ingin masuk lebih dalam ke lorong kafe. Dia menaikkan telunjuk di depan bibir lalu mengajakku melangkah hati-hati ke pintu di sisi kiri sebelah bioskop mini. Napasku tertahan. Dari celah pintu yang hanya mengirim cahaya sedikit sekali ke dalam ruangan gelap itu, Bunda Yere tampak duduk di bangku panjang, memeluk pigura, dan menahan mulut yang menangis tersedu-sedu.

Belinda pun mengajakku duduk di meja kafe.

"Ada apa sama Bunda Yere?" tanyaku menggebu.

"Hari ini ulang tahun adiknya."

"Adik?"

Belinda mengangguk. Dia menunjuk sesuatu di belakang punggungku. "Mendiang pelukis itu."

Mendiang? Tubuhku meremang. Belinda pun menjelaskan kalau Yena, adik Bunda Yere, adalah korban kekerasan mental. Sama seperti kasusku, suami Yena tidak pernah memukul, berselingkuh, atau tidak mencukupi kebutuhan keluarga, tetapi dia tidak pernah mau mendengar Yena.

Selama tujuh tahun pernikahan, tak sekali pun Yena diizinkan keluar rumah meski itu sekadar belanja ke pasar. Semua keperluan Yena disiapkan oleh suaminya. Yena hanya diminta hadir dan mengiyakan seluruh keinginan suami. Yena bahkan tidak bisa memilih pakaian yang dia suka. Yena kehilangan dirinya sendiri.

Beberapa kali, Yena meminta bantuan pada Bunda Yere, tetapi Bunda Yere selalu meminta Yena untuk memahami suaminya saja dan mengatakan apa yang dinilai tidak adil oleh Yena tentang perlakuan suaminya adalah hal yang kekanak-kanakan.

Sampai satu waktu, kabar terbaru Yena tidak datang melalui panggilan telepon Yena atau suaminya, melainkan kepolisian.

Aku menutup wajah yang menangis sesenggukan.

"Ya, Yena gantung diri. Dia meninggalkan surat yang menyatakan mungkin dia harus mati agar semua orang akan mau mendengar dan benar-benar mendengarkannya."

Tepat Belinda selesai bercerita, Bunda Yere muncul dari mulut lorong. Wajahnya terlihat kuyu. Matanya terlihat tegar.

Dia menemukan wajahku. "Hai, Ra."

🥀

Aku dan Bunda Yere sepakat hanya membahas perihal masalah rumah tanggaku saat berada di Denial Cafe. Kami tidak pernah berbicara seolah teman akrab di rumah sakit. Selain waktu yang kami punya memanglah sempit, Bunda Yere bukan orang yang senang dicurhati saat bekerja. Walaupun, ya, jiwa ibu-ibunya kadang muncul. Untuk kasus-kasus nyata yang terlihat di depan mata saat kami bekerja, Bunda Yere tetap gatal menasihatiku atau yang lainnya.

"Dari semua yang kamu pelajari, apa perceraian satu-satunya jalan keluar?"

Aku tersentak. Kukira Bunda Yere adalah orang pertama yang akan bersorak paling keras mendengar kabar perceraianku.

"Ya, kalau nggak apalagi, Bun? Aku sama sekali nggak bisa bahas hal apa pun sama dia. Satu-satunya hal yang paling membuatku merasa adalah seorang istri hanya saat dia menyentuhku. Selain itu, aku nggak mengerti konsep pernikahan apa yang ingin suamiku jalani."

Bunda Yere menggumam. Dia duduk menggantikan posisi Belinda. "Jadi, kamu mencari kebebasan?"

"Ya, Bunda."

"Apa kamu lega dan bahagia?"

Aku meneguk saliva. "Ya, aku merasa lega."

"Kamu bahagia?" sergah Bunda Yere.

Dalam bayanganku, aku sedang beranjak dari resort, menyusul kepergian Hazel yang dengan cepat menuruni anak tangga. Pada detik itu hingga detik ini, aku masih memiliki perasaan yang sama. Kalau saja ... aku bisa menahan kepergian Hazel.

Sudut mataku berair. Aku segera mengusap itu. "Kalau dengan menangis tiap malam adalah jalanku menjemput bahagia itu berarti aku menuju bahagia."

"Kamu merindukan dia?"

Kulirik Bunda Yere dengan sinis. Bunda Yere memang paling jago membuat rusukku hancur berhamburan.

Aku menghela napas pasrah. "Aku merindukannya setiap detik." Dia suamiku. Cinta pertamaku. Dan, mungkin, cinta terakhirku. Aku tak bisa membayangkan ada lelaki lain di hidupku selain Hazel.

"Jadi, apa kamu pikir yang Bunda harapkan adalah perpisahan?"

"Ya! Si gadis harus melepaskan tangan lelaki itu! Dia harus tahu kalau dia sanggup berdiri di kaki sendiri dan nggak termakan ilusi seolah hanya laki-laki itu pahlawan sejatinya. Dia ...." Aku menarik napas. Mataku terasa sangat panas. "Harus berpisah demi kebebasan. Kebebasan mencintai tanpa terlukai."

Aku pulang ke rumah lamaku, menuju kamar. Kaus hitam Hazel masih berada di kasurku. Aku renggut itu, dan kudekap erat, dan kuhirup aromanya. Aroma Hazel. Aku tertawa hambar. Bersamanya atau tidak, aku tahu sesuatu yang pasti; aku akan gila.

"Cinta tidak pernah menuntut pembebasan. Cinta itulah kehadiran bebasnya," balas Bunda Yere tenang.

"Aku nggak mengerti, Bun."

"Perlu waktu untuk mengerti atau kamu bisa coba pergi ke konsultan pernikahan."

Aku menggeleng berat. Kembali lagi ke meja operasi tanpa pisau bedah itu? Sekali saja, aku ingin menggunakan kekuatanku sendiri.

"Di beberapa saat, aku merasa bisa hidup bersama Hazel sampai tua. Namun, di beberapa saat yang lain, aku merasa hanya mati rasa satu-satunya jalan agar pernikahan kami tetap utuh dan berjalan seperti seharusnya, seperti yang disetir Hazel sepenuhnya," kataku.

Tapi, aku tidak mau berakhir seperti Yena.

"Sebelum bisa mendapat jawaban, kamu harus memahami yang mana pertanyaan untukmu. Dan, Bunda nggak pernah bilang menemukan itu adalah hal yang mudah dan sederhana."

Pertanyaan? Aku beranjak dari ranjang menuju laci nakas paling atas, dan menariknya keluar. Surat gugatan ceraiku ada di sana. Sendirian, dingin, tak tersentuh. Seperti seseorang.

"Pernikahan siapa yang kamu jadikan patokan ideal?"

Pernikahan ... siapa?

Perceraian ini apakah jalan yang tepat? Ataukah hanya satu jawaban yang kupilih dari sekian banyak jawaban?

🥀

.
.

Jadi, sudah cerai belum?

Love,

Ana Latifa
Post: 28 Januari 2023

Red LightsWhere stories live. Discover now