🥀 || 11. Perpisahan Itu

371 56 0
                                    

Red Lights[Komentar Rame = Cepat Update]

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Red Lights
[Komentar Rame = Cepat Update]

🍀Story by Ana Latifa 🍀
Instagram: Onlyana23 | Wattpad: Onlyana23 | GWP: Onlyana23 | Link: onlyana23.carrd.co

🥀

"Apa-apaan, sih? Gue ceritain masalah ke elo bukan berarti gue mau dijadiin badut kayak gini."

Gue berusaha membuat Daren menyingkir dari pintu ruang VIP di kafe kepunyaan Gemma. Tapi, mendadak dia jadi berotot. Badannya berat. Gue yakin otot itu tidak akan bertahan lama. Paling kempes lagi kalau sudah kelar pre-wedding.

Daren menahan pintu agar tetap menutup. "Lo nggak bisa buat keputusan asal kayak gitu! Apalagi di saat lo lagi emosi-emosinya! Gue sahabat lo, Zel. Gue nggak mau lo menyesal berat nantinya. Duduk dulu sana. Kenapa kayak anak kecil, sih?"

"Elo yang bohongin gue. Katanya lo minta ditemenin nemuin klien penting di industri entertain!"

"Itu nggak bohong, tahu. Habis ini kita temuin mereka."

Gue memutar bola mata. "Kapan mereka datang?"

Daren menganga dan tampak berpikir. "Sekitar ... dua puluh tiga jam lagi?"

Gue memelotot. "Itu masih besok, Bambang! Awas, ah. Gue mau kerja!"

Daren mencengkeram tangan gue gemas. "Gue beli waktu lo, Hazel! Berapa juta? Berapa M?"

Tangan gue melemas di cengkeramannya. Gue menatap dia nggak percaya. "Lo sadar baru saja kedengaran seperti sultan menyebalkan?"

"Kan lo yang ngajarin gue jadi nyebelin. Berarti gue murid yang berhasil." Daren tersenyum sampai lubang di pipinya terlihat.

"Bangga, Lo?"

"Baaanget."

Melihatnya begini, gue sama sekali nggak percaya dia adalah pemimpin perusahaan gurita yang anak bisnisnya menggapai segala bidang industri.

"Sikap songong ternyata selalu ampuh melumpuhkan lawan bicara, tapi gue nggak nyaman." Daren bergidik. "Nggak lagi-lagi, deh. Khusus hari ini doang buat lo."

Gue menyerah dan memilih duduk di kursi lalu memejam. Daren duduk di sebelah gue.

"Jadi, sedetik lo seharga berapa juta?"

Gue menjitak kepalanya tanpa membuka mata. Puas sekali mendengar ringisannya.

"Seharga nyawa lo."

Selepasnya, Daren tak bersuara. Gue mengintip dari celah mata yang sempit dan menemukan Daren terlihat berpikir keras.

Gue membuka mata. "Kenapa, Lo?"

"Kalau sedetik lo seharga nyawa gue itu berarti lo mau hidup sampai mati sama gue?" tanyanya polos.

Red LightsWhere stories live. Discover now