Part 17 - Lullaby

280 49 11
                                    

Seokjin mendatangi pertunjukan piano yang selalu diadakan di gedung teater itu. Sebuah tempat yang menjadi naungan Seokjin selama terlunta-lunta tidak tahu arah sebelum takdir mempertemukannya dengan Namjoon. Tempat itu ialah rumah, namun laki-laki yang duduk di sebelahnya itu adalah rumah ternyaman buatnya. Laki-laki itu sempurna.

Merasa diperhatikan lekat tanpa satupun kedipan dari sosok tidak terlihat di sampingnya, Namjoon berpaling dari permainan piano di atas panggung. Balas memandangi Seokjin dengan sepasang mata naga yang menyempit.

Cepat-cepat fokus Seokjin kembali pada panggung. Tidak, tidak! Seokjin tidak ingin terlihat mengagumi wajah tegas Namjoon yang kadang-kadang lekuk samarnya muncul di pipi. Siapa suruh laki-laki itu memesona sekali!! Tuhan benar-benar kejam padanya!

Namjoon tidak terima dijahili begitu! Wajah tampannya dipandangi puas-puas tapi si pelakunya berpura-pura tidak melakukan apapun? Baiklah. Akan Namjoon balas.

Tangan kiri Namjoon meraih tangan kanan Seokjin yang terkulai di pangkuan dan secepat mungkin merajut kelima jari-jari agar bertautan erat. Seokjin sedikit berjengit, buru-buru menoleh pada Namjoon. Dilihatnya, laki-laki itu tersenyum jahil lalu ikut menubrukkan pandangan dengan Seokjin. Paras wajahnya tetap tenang dan hanya mengangguk samar sebagai ketetapan.

Keduanya tersipu bersamaan. Sepakat untuk kembali mendengarkan melodi piano merdu yang menyusuri lorong pendengaran. Hingga permainan piano yang dimainkan sang pianis senior itu akhirnya berakhir. Seperti biasa, pianis dengan jas rapi itu berdiri menghadap kursi-kursi penonton sebelum membungkuk sopan lalu tirai-tirai merah bergerak menutup panggung.

Akan tetapi, laki-laki dengan rambut kelabu itu tidak langsung membungkuk untuk mengakhiri pertunjukan, melainkan meminta seorang staf belakang panggung untuk memberinya sebuah mikrofon. Sang pianis ingin menyampaikan sesuatu. Seokjin baru menyadari, selama mendatangi pertunjukan piano yang rutin diadakan tiap minggu, pianis senior itu tidak pernah berbicara sepatah katapun. Bahkan namanya juga tidak pernah Seokjin ketahui.

"Boleh aku meminta waktu sedikit?" Suara laki-laki tua itu penuh ketegasan dan wibawa. Bergaung lirih dan tidak ada komentar riuh dari para manusia yang hadir. Dengan tertib mereka tetap duduk di kursi dan terus mendengarkan.

"Aku merasa begitu senang atas kehadiran kalian semua. Ada banyak waktu-waktu berharga yang kalian habiskan di sini. Mendengar bagaimana jari-jariku yang bergetar berlompatan di atas tuts, melihat senyum di wajah tuaku juga menjadi penghapus kesedihanku ketika sendirian. Tapi, dengan berat hati aku umumkan bahwa malam ini adalah kali terakhir kalian semua melihat dan mendengar musikku. Aku akan turun panggung dan tidak akan kembali lagi."

Kerumun yang ada mulai berbisik-bisik ketika sang pianis memberitahu sebuah berita yang paling mengejutkan. Di barisan bangku paling jauh dari panggung, Seokjin termasuk salah satu yang memasang wajah terperangah, merasa tidak percaya. Namjoon pun tidak kalah bingung. Jadi, kedatangannya yang pertama justru sebuah salam perpisahan?

Seorang wanita tua berdiri kesusahan dari kursi di jajaran depan. "Kenapa Anda melakukan itu? Kehadiran Anda, musik Anda semuanya sangat berharga bagi kami. Termasuk diriku. Berada di sini membuatku ingat pada waktu-waktu yang kuhabiskan bersama suamiku serta masa tua kami."

"Benar. Musik Anda memberi harapan baru bagi kami." Seorang laki-laki muda turut menyampaikan perasaannya dari bangku agak belakang.

"Aku ... menemukan rumah yang nyaman di hidupku setelah bertemu dengannya," lirih Seokjin dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Namjoon segera menariknya dekat dan merangkulnya.

"Sebenarnya, aku juga masih ingin bersama kalian. Namun kurasa lebih baik aku berhenti untuk terus berharap. Aku menyibukkan diriku di sini dengan harapan besar bahwa seseorang yang begitu berharga di hidupku akan kembali pulang. Nyatanya, Tuhan tidak pernah mengabulkannya." Pianis itu nampak menunduk lesu. Matanya sedikit mengabur oleh air bening yang menggenang.

Finding Light - NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang