NOL

151 9 7
                                    

"Kamu pikir, perasaan itu semacam sel sperma atau sel punca? Bisa dibekukan, disimpan, lalu diambil kapan aja semaumu ... dan akan tetap sama selama bertahun-tahun?"

Bianca melompat dari duduknya, napasnya cepat, mata bulatnya yang biasa berbinar-binar, kini menatap lurus dan tajam ke arah Nero. Gadis manis penggemar kerudung putih itu tak peduli kalau semua pengunjung cafe steak murah meriah di seberang kampus Harapan Bangsa itu, sekarang memandang ke arahnya. Beberapa bahkan sempat tersedak dan batuk-batuk berjamaah.

"Bia... Bia, please, tolong duduk dulu ... ssstt." Nero berseru sepelan mungkin, berharap gadis itu mau kembali duduk.

Bia mendengkus lalu duduk dengan kasar. Ia lanjut mengiris steak yang tipisnya hanya 5 mm dan sudah termasuk lapisan tepung crispy-nya. Tentu saja, teknik mengirisnya tak kalah kasar dengan caranya duduk. Garpunya mendenting seakan menancap ke piring. Cukup membuat pelayan-pelayan melirik-lirik sambil menahan napas. Khawatir piring mereka retak tertikam pisau tumpul di tangan Bianca.

"Bia ... Tiga tahun lagi tak akan terasa lama ...." Nero memelas. Sepanjang pengalamannya menjadi pemimpin puluhan proyek dan organisasi di kampus, hingga kini menjadi staff di perusahaan besar, baru kali ini dia memohon, kepada seorang cewek pula.

"Kalau aku jawab 'ya' sekarang, sedangkan kita belum pasti akan menikah tiga tahun lagi, lalu apa bedanya kita dengan berpacaran?"

"Soal pacaran, ya jelas beda, kita kan tidak kemana-mana berduaan, bahkan tidak bersentuhan sama sekali?"

Bia menggeleng, "Tiga tahun itu waktu yang lama Kak Ner, ini semua masalah perasaan, masalah hati. Begitu kita berkomitmen, perasaan itu mungkin akan terus bertumbuh, lalu sangat mungkin kita akan mulai menurunkan batas-batas fisik dan jarak pribadi ...." Bia merinding membayangkannya. Lagi pula siapa yang bisa menjamin kalau Nero tidak akan berpindah ke lain hati dalam jangka waktu yang panjang itu? Bisa-bisa Bia hanya membuang-buang waktu saja.

Kali ini, Nero yang menggeleng, "Kamu bisa pegang komitmenku. Bukan itu niatanku. Aku cuma ingin agar nanti bisa memberi nafkah yang lebih pantas buat kamu dan keluarga kita. Aku ingin jadi qowwam yang layak."

"Memangnya, pantas menurutmu itu sampai berapa banyak? I trust you, tho. No matter how much you earn now, kamu pasti akan terus bertumbuh. Ingat Kak Nero, rezekiku bukan berasal dari kamu, tapi dari Allah. Aku juga bisa kerja, apalagi kalau belum punya anak." Bia tak sedang menggombal, tapi kenyataannya Nero telah membuktikan sikap bertanggung jawabnya. Bukan sekali dua kali dia dipercaya memimpin berbagai tim, dan teman-temannya selalu ingin dipimpin lagi olehnya. Soal nafkah, Bia juga tak ragu, begitu lulus, Nero langsung dilamar sebuah perusahaan multinasional.

Uhuk. Kata "anak" membuat Nero tersedak minuman hitam yang baru diseruputnya. Rasanya terasa semakin pahit. Tentu saja semua rencana masa depan sudah dia pikirkan. Ia tahu rejeki keluarga tak melulu harus lewat suami, tapi that is not his Plan A. Bagi Nero, mampu menafkahi istri dan keluarganya sepenuhnya adalah harga mati. Bahkan biaya pendidikan anak-anaknya kelak sudah dia perhitungkan. Akan tetapi, saat Bia yang mengucap kata "anak" itu, jantung Nero rasanya seperti mau meledak. Sesuatu dalam dirinya bergejolak. Rasanya ingin segera kabur dan mencuci muka, kalau perlu ambil wudhu sekalian.

"Nah, soal anak ... justru itu, kalau kita langsung punya ... ehem... anak, gimana?" Sebenarnya, Nero merinding sendiri mengatakannya. Pengunjung di meja sebelah mulai melirik-lirik. Ah, seharusnya aku pilih tempat yang lebih representatif, batinnya. Sial, Zav kemana sih nggak datang-datang!

"Nggak masalah, Kak Ner, as long as we are together ... bukankah bisa kita usahakan bersama-sama?" Mata Bia melembut, bertemu dengan mata Nero yang nyaris putus asa meyakinkannya. Sedetik mereka saling menatap, Nero mengalihkan pandangan. Detak jantungnya mulai tak keruan lagi.

The Candidates Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang