MAKAN SIANG YANG SEMPURNA

17 6 3
                                    

Nero memasuki cafe yang tampak lebih meriah dari biasanya. Dekorasi balon-balon bentuk hati berwarna emas dan ungu, menghiasi ruangan cafe yang sudah asri itu. Sebuah foto keluarga berukuran besar, terpampang di dekat pintu masuk. Di dalam juga sedang tampil live music yang dimainkan oleh group band Bandung yang hits tahun 90-an.

"Tumben, rame amat. Ada acara apa?" tanya Nero pada Zav yang sedang sibuk menyiapkan bercangkir-cangkir kopi pesanan.

"Ada yang booking buat pesta anniversary."

"Siapa?"

"Ehm ... Pak Adrian ... atasan Bia ...."

"Hah? Adrian yang buaya darat itu?"

Nero langsung naik pitam. Dia sudah tahu kisah Adrian dan Bia dari Zav. Ketika mendengarnya pertama kali, Nero menyesal kenapa tidak mendaratkan tinjunya di wajah pria itu waktu dia melihatnya di Taman Ismail Marzuki. Apalagi sekarang, orang itu tampak mengobral senyum dengan santainya, menyalami para tamu. Apa artinya pesta anniversary kalau diam-diam melirik perempuan lain?

"Ssstt ... kontrol suara, Bro! Manusia bisa salah dan pintu tobat juga dibuka lebar-lebar sama Allah! Mereka sudah rekonsiliasi sekarang, jangan bikin rumah tangga orang pecah kongsi. Bu Adrian nggak tahu kasus suaminya dengan Bia." Zav menempelkan telunjuknya di bibir seraya berbicara setengah berbisik. "Lagi pula, sekarang status dia itu customer kita. Kudu dilayani dengan baik dan profesional. Paham?"

Nero mendengkus kasar. "Gue nggak habis pikir aja, udah punya istri kok masih lirik-lirik cewek lain. Serakah amat! Bianca itu juga polos banget, bisa-bisanya ketipu sama laki-laki beristri ...." gerutu Nero kesal.

"Habisnya ... yang bujangan masih senang main-main sih ... baru siapnya tiga tahun lagi." Zav berkata dengan wajah datar tanpa ekspresi, tapi terasa menyakitkan buat Nero. benar-benar pukulan telak.

"Eeh ... gue kerja keras ya, bukan main-main!" sangkal Nero tidak terima. "Lagi pula ... kan gue sama Bia sekarang nggak ada hubungan apa-apa." Sebetulnya lidah Nero sangat berat mengucapkan kalimat 'tidak ada hubungan apa-apa' itu. Sebenarnya dia masih berharap. Namun, melihat Bia yang dalam waktu tak sampai setahun ini saja, sudah membuka peluang buat beberapa laki-laki, tampaknya memang Nero harus mundur teratur. Sudah jelas baginya bahwa Bia memang tidak punya perasaan apa-apa padanya. Pesan WA pun sering tidak dijawab. Kalau pun dibalas, irit banget, paling hanya dengan satu atau dua kata saja.

"Nah, itu lu sadar. Kalo gitu nggak usah patah hati kalo Bia mau dideketin sama siapa pun. Nggak usah sibuk mantau terus juga."

"Ya ... tapi bukan dideketin suami orang juga kali, Zav. Tega amat lu ...."

Tiba-tiba Adrian datang mendekat membawa gelas kosong di tangannya. "Mas, boleh saya minta air putih lagi?" pintanya dengan ramah pada Nero. Meskipun saat itu Nero tidak mengenakan seragam karyawan, tapi karena berdiri di pantry bersama Zav, membuat tampangnya jadi mirip pramusaji.

Nero mengambil gelas itu lalu mengisinya dengan air dingin. Dia berusaha tidak berkata apa-apa, khawatir salah bicara atau malah mendamprat Adrian yang sudah di depan mata.

"Saya salut sama kalian, masih muda sudah menjalankan bisnis sendiri. Alumni kampus Harapan Bangsa kan?"

"Iya, Pak," jawab Nero. "Salah satu teman saya juga ada yang bekerja di kantor Bapak. Namanya Bianca, Bapak kenal?" Entah ilham dari mana Nero bertanya seperti itu.

Adrian yang sedang meneguk air putih langsung tersedak dan terbatuk-batuk. "Ya ya ... saya kenal. Apa kalian berteman dekat?"

"Ya ... bisa dibilang begitu." Lagi-lagi Nero mengklaim sepihak. "Titip tolong dijaga ya, Pak. Jangan sampai diganggu laki-laki buaya darat." Nero memberikan senyumannya yang paling manis.

The Candidates Where stories live. Discover now