3. Debing

83 37 5
                                    

Bunyi decap terdengar jelas dari bibir Thalita yang fokus memperhatikan Luka latihan basket di depan cafe

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bunyi decap terdengar jelas dari bibir Thalita yang fokus memperhatikan Luka latihan basket di depan cafe. Gladis sibuk menata meja dan kursi. Di pundaknya, ada lap yang tersampir apik, ada sedikit debu yang menempel di dahinya, menambah ornamen keseriusannya dalam menata ruangan.

Dia menata hiasan kecil dia meja panjang yang ada di sisi ruangan. Bingkai foto besar tersusun rapi di dindingnya. Beberapa barang antik di dalam lemari kaca sudah dilap dengan baik. Gladis menyukai dekorasi, dia menyusun Bantal-bantal cantik di atas sofa bergaya klasik yang menjadi pojokan favorit Kakek Wiskar.

"Estetika di kafe ini harus terjaga, kau tahu pojok ini, bisa menjadi photo both untuk pelanggan kafe kita, mereka unggah di internet, booom! Bisa viral, Hana! Kayak kamu, dulu. Apa kau tak lihat di internet? Banyak banget, loh, kafe dengan dekorasi indah, tapi menunya biasa aja. Aku ingin membuat kafe ini menjadi kafe paling sensasional di jagat maya!" katanya berapi-api.

Thalita menoleh, dia menjilat unjung jarinya yang penuh serbuk keju dari makanan kegemarannya, chiki ball. Dia berdiri, lalu berjalan menghampiri Gladis, matanya memicing, dia menggeser foto di dinding dengan tangannya yang basah oleh air liur. Gladis langsung menepis tangan Thalita.

"Heh! Tanganmu itu kotor, dicuci dulu lah! Kebiasaaan!!"

"Idih!" sahut Thalita. "Itu kamu naruhnya miring, aku 'kan cuma benerin posisinya aja, kok kamu sewooot aja bawaannya?"

"Hana, minta air dingin, dong!" Luka berjalan menghampiriku, dahinya basah, kepalanya juga, rambutnya basah seperti orang yang baru saja mandi. Aku langsung berdiri, mengambil air dingin yang ada di chiller show case di dekatku. Tiba-tiba saja, seseorang merebut botol minuman itu dari tanganku.

"Eh! Ini buat Luka!" teriakku.

"Nada bicaramu naik, Hana. Nggak sopan sama saya," katanya cuek.

"Ya Allah, Pak Pram? Maaf, Pak!"

"Kita les matematika sekarang aja ya, soalnya nanti saya ada urusan mendadak," katanya. Dia berjalan ke ruangan tempat pemutar piringan hitam berada, di sana mejanya cukup lebar untuk dipakai beramai-ramai. Ruangan itu biasa digunakan oleh Kakek Wiskar untuk mendengarkan lagu klasik dari pemutar piringan hitam. Ada sebuah lemari berisi berbagai macam piringan hitam yang masih terawat.

Pak Pram langsung membuka bukunya tanpa menanti kami duduk di dekatnya. raut wajahnya begitu serius, aku takut melihatnya kali ini.

Aku mendekatinya, duduk di sampingnya seperti biasa. Dia bilang, dia tidak suka aku duduk di depannya, bikin fokusnya terganggu. Lah, apa bedanya jika aku duduk di sampingnya?

"Kemaren, kok, kelihatannya seperti orang ketakutan, sih?" tanyanya setengah berbisik.

"Ng...." Aku menoleh, mata kami bertemu.Aku ragu mengatakan yang sebenarnya padanya.

"Memangnya, apa yang kau lihat di celah antara warung fotokopi itu?" tanyanya lagi. Kali ini, pandangan matanya begitu serius menatap ke dalam mataku.

"Saya merasa seseorang sedang memperhatikan dari sana. Apa bapak ingat, saat saya tiba-tiba histeris, lalu dilarikan di rumah sakit? Apa benar orang itu ada di sana?" kataku setengah berbisik.

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Where stories live. Discover now