Part 12

2 0 0
                                    

“Dik, Ibu bilang kemarin kamu minta tas gunung. Ini tasnya?” tanya Sintia. Ia memperhatikan tas hitam yang telah kosong karena isinya sudah berpindah tempat.

Sintia anak bungsu Bu Halimah, ia memang terbiasa memanggil Rosa dengan sebutan Ibu.

Dahulu ketika masih sangat kecil, Bening memanggil ibunya dengan panggilan 'Mbak'. Takada yang salah, ia hanya menirukan cara panggil Sintia dan itu juga yang dimau Rosa. Namun, seiring berjalannya waktu, Rosa ingin panggilan itu berubah.

“Dik, mulai sekarang coba kamu panggil aku Ibu, biar Bening juga ikutan mau panggil Ibu,” pinta Rosa. Waktu itu keluarga besar mereka sedang berkumpul merayakan hari raya Idulfitri.

Begitu sulit memang memahami pikiran Rosa, wanita itu suka berubah-ubah. Terkadang baik, terkadang ketus, dan tak jarang suka mengungkit hal yang sudah-sudah. Plin-plan kata keluarga besar mereka.

Sintia menyanggupi keinginan Rosa tanpa banyak tanya. Ia tahu betul jika kakaknya itu tidak suka dibantah. Lagi pula, ia merasa tak seharusnya anak SMA ikut campur urusan orang dewasa.

“Sepatu juga. Memangnya sepatu yang kemarin sudah tidak muat, ya? Ibu ngomel-ngomel, tuh, dari semalam. Ke gunung aja ngabisin uang dua juta katanya.”

Pertanyaan Sintia membuat Bening sedikit terkejut. Pasalnya ia tak merasa memaksa ibunya untuk membelikan tas dan sepatu semahal itu.

Gadis itu hanya tersenyum. “Sepatu yang kemarin, kan, enggak cocok dipakai mendaki, Mbak. Lagian aku sudah bilang nggak ikut juga enggak apa-apa. Ibu sendiri yang milih dan beli tas itu,” ungkapnya sedikit kecewa. “Ibu juga, kan, yang nyuruh aku ikut BEM dan ikut PMI. Aku sebenarnya belum tertarik ikutan BEM, pengen fokus ke PMI aja, tapi ya itu ... aku nggak bisa nolak keinginan Ibu. Wong kuliah dia yang bayarin, gitu katanya.”

Sintia hanya mengangguk mendengar jawaban adik angkatnya itu.

“Lagian mana ada ke gunung pakai pantofel. Sepatu kets yang dibeliin Ibu kemarin itu sesak, yo, Mbak. Udah nggak enak dipakai,” lanjut Bening masih menjelaskan alasannya.

“Hah ..., memang ukuran kakimu berapa sekarang?” Sintia bertanya tak percaya, ia lalu terkekeh melihat angka yang tertera di sepatu Bening. “Ya, sudahlah kalau begitu, Mbak cuma tanya aja, sih. Jangan diambil hati, ya. Ibu, kan, memang seperti itu,” tuturnya.

Bening mengangguk. Ia memang sedikit terkejut dan kecewa, tetapi berusaha untuk tidak peduli. Baru sekali beliin barang mahal aja udah cerita yang enggak-enggak, batinnya.

“Pantesan perasaanku enggak enak dari kemarin,” gumamnya lagi sambil menghela napas.

Bening segera pamit ke keluarga angkatnya. Ia sebenarnya masih rindu dengan Bu Halimah, tetapi harus segera pulang ke rumah ibunya karena takut kesorean dan kehujanan.

Sepanjang jalan, Bening terus memikirkan perkataan Sintia. Kenapa bisa ibunya mengeluh tentang pengeluaran tas dan sepatu untuknya? Sementara tak jarang paketan barang mahal selalu dikirimkan untuk adik dan ayah tirinya.

Rosa memang wanita yang kuat dan tangguh. Sejak lulus sekolah menengah sudah bekerja demi hidup yang lebih baik, katanya.

Jauh sebelum menikah dan menikah lagi, ia sudah memiliki pekerjaan dengan gaji lumayan besar. Bahkan, sesungguhnya ialah yang menjadi tulang punggung ketika masih menjadi istri ayah kandung Bening. Jadi tak heran jika wanita itu selalu sayang untuk melepas pekerjaannya begitu saja.

Hasil jerih payahnya seakan-akan tiada arti. Boni—ayah kandung Bening—ternyata ringan tangan dan sering menghabiskan tabungannya di meja judi. Sejak mengetahui belang suaminya itulah derita batin Rosa dimulai hingga ia sangat membenci anaknya, Bening.

Aku ini sebenarnya anak siapa? Lagi-lagi Bening membatin.

Di rumah, ayah tirinya sudah menunggu. Laki-laki itu sedikit kesal karena tokonya sedang ramai dan ia terpaksa tutup. Bening memang tidak membawa kunci duplikat jika bepergian jauh, dulu pernah dan hilang itulah sebabnya sekarang ia tak mau lagi.

***

Pagi seperti biasa, Bening meminta jatah uang saku kepada Toni. Entah mengapa sudah hampir dua minggu ini gadis itu merasa seperti sengaja didiamkan.

Sebenarnya Bening juga ingin mengakrabkan diri dengan ayah kandung adiknya itu. Namun, ibunya tak pernah mengizinkan.

“Kamu tak punya hak dekat sama ayah Vania, bahkan seharusnya kamu panggil dia Om.” Begitu ucap Rosa kala pertama kali Bening tinggal bersamanya.

Meskipun tinggal satu rumah, tetapi Bening jarang bertegur sapa dengan Toni. Sementara itu, Toni sendiri terkesan seolah-olah membangun tembok pemisah dengan anak tirinya. Mungkin ia lebih takut jika istrinya mengomel.

Harga BBM naik, tentunya hal ini membuat pengeluaran juga ikut naik. Apalagi mendekati ujian semester, banyak tugas dan kegiatan yang harus dikerjakan. Bahkan tak jarang para mahasiswa keperawatan itu pulang lebih lama dari jam yang seharusnya. Namun, sayangnya uang saku Bening tidak ikut naik, sedang ia tak berani meminta lebih.

Pernah Bening meminta transferan kepada ibunya, tak lupa ia sertakan perincian biaya apa saja yang dibutuhkan. Namun, Rosa jadi kesal karena baginya urusan uang adalah urusan Toni.

“Kan, sudah Ibu bilang, minta ke Ayah dan jangan dadakan! Punya telinga nggak, sih? Pikirlah sedikit!” sengit Rosa. Selalu dan selalu emosi yang diutamakan.

Jika sudah seperti itu, satu-satunya harapan Bening hanyalah simpanan yang dipegang Bu Halimah. Ia akan pulang ke rumah ibu yang membesarkannya itu untuk mengambil uang di ATM miliknya. Bank khusus yang hanya diketahui oleh Arya dan Bu Halimah serta suaminya dan hanya Arya yang akan mengisi rekening tersebut.

Seperti biasa, hal itu tak pernah diceritakannya kepada Rosa maupun Toni.

“Uang itu mau kamu pakai berapa pun tidak perlu minta izin, Paklik hanya bisa bantu-bantu secukupnya.” Itulah pesan Arya sebelum meminta Bening untuk membuka rekening baru yang hanya diketahui oleh keluarganya.

Bu Halimah pun sampai hafal dengan tabiat bungsunya itu. Tak jarang ia meneteskan air mata karena hatinya sakit melihat Bening diperlakukan tak adil oleh orang tuanya sendiri.

***

Toni menyerahkan uang saku kepada Bening. Setelah itu ia mengeluarkan motor hendak mengantar Vania sekolah.

“Terima kasih, Yah,” ucap Bening menerima selembar uang dua puluh ribu.

“Ya.” Lagi-lagi hanya satu kata yang diucapkan Toni. Entah terlalu pendiam atau sengaja tak mau akrab dengan Bening.

“Yah, yang kemarin itu gimana?” tanya Bening ragu-ragu.

Toni mengarahkan pandangannya kepada Bening, ia seperti tak mengerti. Sorot matanya tampak meminta penjelasan.

“Hari ini rencananya mau ke perpustakaan sama teman-teman. Kalau boleh minta uang lebih,” ungkap Bening sedikit takut.

“Oh iya, lupa. Berapa butuhnya?”

Bening sebenarnya ingin sekali membeli buku sebagai pegangan kuliah. Buku di perpustakaan kampus kurang lengkap dan jumlahnya pun terbatas. Namun, ia ragu apakah ayahnya itu akan mengizinkan atau tidak. Sementara ia masih belum berani meminta kepada ibunya.

“Sebenarnya ada beberapa buku yang ingin dibeli, Yah. Tapi, belum tahu di sana ada apa tidak,” jawab Bening ragu. Ia sungkan sebenarnya meminta uang dadakan seperti itu, takut kena amarah ibunya.

“Ayah ada uang, tapi ini untuk servis motor. Lain kali aja belinya? Atau kamu mau sekalian servis ganti olinya?”

“Nggih, Yah,” jawab Bening akhirnya.

Gadis itu memandang ayah dan adiknya perlahan menjauh, lalu hilang di tikungan. Tak lama setelah menjemur cucian pun ia juga segera berangkat ke kampus.



Bersambung

Terima kasih, kunjungannya
Ditunggu krisannya, ya
Jangan lupa jejak bintangnya

Masih Adakah Surga di Kaki Ibu?Where stories live. Discover now