Part 15

0 0 0
                                    

[Ning, ini siapa?]

Dua buah foto dikirim Rosa ke nomor Bening. Foto itu ia ambil dari akun Facebook milik gadis yang dikirimi pesan tersebut. Di gambar pertama tampak beberapa anak PMI sedang tersenyum semringah ke arah kamera. Namun, bukan itu yang ingin ditanyakan Rosa, melainkan gambar kedua di mana ada seorang asing berpakaian loreng berbaret hijau berdiri tepat di samping anaknya.

Laki-laki muda yang mencuri perhatian Rosa beberapa saat lalu itu tersenyum lebar ke arah kemera. Saking penasarannya, Rosa sampai mengunduh foto tersebut dan mengirimkannya ke Bening.

Terlihat status online di samping foto profil Bening. Sesaat kemudian, status berubah menjadi sedang mengetik. Rosa benar-benar penasaran dengan laki-laki muda dan tampan yang menjadi teman baru anaknya itu.

[Ndan Arifin, Bu. Teman Bening dari Kodim 0735 Surakarta. Ada apa, Bu?] Secepatnya Bening membalas pesan ibunya. Dengan hati-hati ia menjelaskan siapa laki-laki yang berdiri di sampingnya, ia tak ingin dicurigai berbuat macam-macam lagi.

Balasan Bening membuat Rosa tersenyum simpul. [Oh, namanya Arifin? Asli Solo apa orang mana?] tanyanya lagi.

[Tidak tahu, Bu. Ketemu juga kalau pas CFD.]

Rosa sangat tidak puas dengan jawaban anaknya itu. Ia ingin tahu lebih.

[Sering ketemu?]

[Sering di CFD.]

[Dia orangnya bagaimana?]

[Baik banget, Bu, suka kasih minuman gratis.] Sebuah emotikon wajah tertawa diselipkan Bening di akhir pesan itu.

Gadis itu terkekeh, andai saja Rosa bisa melihat betapa anaknya itu sangat manis ketika tersenyum.

Lagi-lagi Rosa tidak puas dengan jawaban Bening. Ia lalu memutuskan menekan tombol pemanggil untuk melakukan panggilan.

“Eh, dasar bocah dod**. Maksudku itu orangnya bagaimana?” Rosa langsung menembak Bening dengan pertanyaan anehnya ketika telepon tersambung.

“Iya baik, Bu. Orangnya asyik diajak ngobrol dan ramah,” jawab Bening. Mengingat kembali sosok Arifin membuatnya salah tingkah.

Semenjak berkenalan dan sering bertemu di CFD, laki-laki itu memang kerap mengirimkan makanan ringan dan minuman untuknya. Tentunya dengan dalih mentraktir anak-anak PMI agar lebih semangat bertugas.

Dari sekian banyak laki-laki berbaret hijau yang dikenal Bening, hanya Arifin yang sering berkomunikasi dengannya. Mereka bahkan saling mengikuti di akun media sosial masing-masing. Meski canggung saat bertemu langsung, tetapi keduanya bisa betah berlama-lama mengobrol lewat pesan. Ada saja yang dibahasnya.

“Ibu setuju kalau kamu sama dia. Pokoknya seratus persen Ibu akan mendukung kalau perlu kamu deketin aja terus.”

Pernyataan Rosa membuat Bening sedikit terkejut. Waduh, pasti salah paham ini, batinnya.

“Kita cuma temenan aja, kok, Bu. Saya masih ingin kuliah sampai tamat baru mikirin begituan,” ungkap Bening tak ingin ibunya salah paham.

“Eh ... dod** emang bocah ini, dengerin dulu. Coba dulu didekati, TNI itu kebanyakan tidak pandang fisik, tapi otak. TNI lebih suka sama wanita pintar dan pekerja keras. Kamu usahalah biar bisa dekat sama dia siapa tahu nyantol,” kekeh Rosa. Wanita itu terus bicara tanpa jeda.

“Nggih, Bu,” putus Bening akhirnya mengalah. Meski tak setuju, ia terpaksa mengiyakan usulan tersebut.

Arifin memiliki paras yang tampan, tahi lalat di bawah bibir kanannya menambah manis saat laki-laki itu tersenyum. Maka tak heran banyak gadis yang terpesona, tak terkecual Bening. Namun, gadis itu belum tertarik menjalin hubungan khusus dengan lelaki mana pun.

Ingat, Ning. Tujuan kamu di sini cuma belajar. Meski kamu memang dilahirkan oleh Ibu, tetapi kenyataannya di rumah ini kamu tak lebih dari pembantu. Ingat jangan baperan, jangan bikin masalah, jangan bikin malu, ingat! Semua demi cita-cita. Buktikan pada Ibu kamu bisa. Buktikan pada Paklik dan Bu Halimah jika pilihan kamu pulang ke Jawa tidaklah salah. Semua butuh proses dan kamu harus kuat seperti karang yang selalu diterjang gelombang.

Kalimat panjang itu ditulis Bening dalam sebuah buku harian, untuk menasihati dirinya sendiri ketika sedang merasa lelah dan ingin menyerah. Sampai suatu hari sesuatu tidak diinginkan itu terjadi.

Tin! Tin! Tin!

Bening membunyikan klakson berkali-kali agar Honda Jazz merah di depannya menepi. Entah belum mahir berkendara atau apa, mobil itu terlalu lambat dan makan jalan sehingga Bening dan lainnya kesulitan untuk menyalip. Bahkan, sopir minibus di belakang gadis itu sudah mulai uring-uringan.

Tin! Tin!

Kali ini si sopir minibus ikut membunyikan klakson. Laki-laki itu hendak menyalip karena itulah Bening memilih sedikit melambat dan menepi ke sisi kiri. Namun, tiba-tiba seorang ibu paruh baya dengan sepeda ontelnya menyelonong dari jalan di depan kiri jalan hendak belok kiri, mendahului Bening.

Mobil merah yang sedari tadi melambat entah mengapa tiba-tiba mempercepat lajunya sehingga tampak saling kejar dengan minibus. Sementara itu, Bening yang berusaha mengerem agar tak menabrak pengendara ontel justru malah terserempet truk oleng pecah ban dari arah belakang si ibu pengendara ontel.

Gadis itu terlambat mengerem. Keseimbangganya seakan-akan hilang dan ia terpental ke bahu jalan sebelum terseret truk beberapa detik. Para saksi berteriak histeris, termasuk si ibu yang menyerobot jalan Bening.

“Ada yang jatuh!” Entah siapa yang berteriak.

Sopir truk segera turun dan berlari ke arah Bening begitu ia berhasil menguasai kendaraannya. Laki-laki berkaus biru itu terlihat panik karena tak menyangka pagi-pagi sudah mencelakai seseorang.

“Tolong!” Laki-laki itu berteriak. Ia lalu memanggil keneknya yang masih gemetar ketakutan. “Cepetan sini, Jon! Bantuin!”

Laki-laki yang dipanggil Jon atau Joni itu berlari mendekat. Orang-orang di sekitar kejadian pun berdatangan, mereka hendak mengamankan korban, sopir, dan keneknya.

“Panggil polisi!” ujar salah satu dari orang-orang itu.

“Amankan truknya jangan sampai kabur,” kata yang lain.

“Cepat panggil ambulans!” teriak yang lain lagi.

“Helmnya copot dulu!” Seseorang berteriak lagi.

“Kasih minum kayaknya masih sadar.” Entah siapa lagi itu yang ikut bicara.

Nginggg!

Hanya dengingan yang terdengar di telinga Bening. Gadis itu tak bisa mendengar jelas orang-orang membicarakan apa. “Ibu ..., Ibu,” lirihnya.

Gadis itu merasa tubuhnya bagai diinjak gajah seribu ton, sakit dan lemah. Seragam putihnya entah berubah jadi warna apa karena berlumur darah dan tanah yang belum kering akibat hujan semalam. Ia bahkan tak kuasa menolak ketika seorang wanita muda melepas peniti yang ia gunakan untuk mengaitkan jilbabnya.

“Namamu siapa, Nduk? Di mana HP-mu biar Ibu telepon orang tuamu?” Kalimat itu sempat didengar sebelum Bening benar-benar kehilangan kesadaran.

Gelap.


Bersambung ....
Terima kasih atas kunjungannya, jangan lupa jejak bintangnya, ya🙏

Masih Adakah Surga di Kaki Ibu?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang