PART 6

176 23 4
                                    

806 kata

Mahmoud Darwish, penyair keturunan Arab pernah bilang,
"And if a thousand others love you, they will only love you a drop compared to my ocean of love for you."

"Dan jika seribu orang lain mencintaimu, mereka hanya akan mencintaimu setetes dibandingkan lautan cintaku untukmu."

Manis, jauh, dan tak tersentuh. Begitulah anggapan Lamya mengenai puisi-puisi Arab yang pernah dibacanya. Para penyair Arab memiliki ke-khasan tersendiri dalam menulis puisinya. Salah satu yang paling Lamya sukai adalah puisi-puisi milik Darwish. Meskipun banyak penyair Arab yang mahsyur, ia tak bisa mengelak Darwish-lah yang harus bertanggung jawab atas perasaan sedih yang timbul selepas membaca sekumpulan kata miliknya.

Air biru yang membentang begitu jernih seolah menyatu dengan langit yang senada. Memunculkan persepsi pada diri Lamya di mana sebenarnya garis batas dari kedua ciptaan Ilahi ini.

Ketika telapak kakinya menyentuh susunan kayu kering yang menjadi basah, Zahid menghampirinya mengambil benda yang selama beberapa jam Lamya gunakan di mata dan mulutnya itu.

"Apa lagi yang ditawarkan Maldives?"

"Masih banyak kalau kau mau."

"Sore ini?" tanya Lamya.

Zahid mengiyakan gadis di depannya. Secara tidak langsung ia menutupi kebahagiaannya jika saja dirinya bisa menemani Lamya lagi sore nanti.

"Five poin eight under sea restaurant, itu rekomendasi paling luar biasa." ucap Zahid masih membenarkan alat di tangannya.

5.8 Under Sea Restaurant adalah restoran terbaik di Maldives yang menyuguhkan hidangan lezat dengan vibes makan di dalam laut. Bahkan tempat ini telah meraih nominasi World largest All Glass Underwater Restaurant. Seperti namanya, restoran ini berada di dalam air dengan hampir 180 derajat memperlihatkan isi laut. Lamya pernah mencarinya di internet, tentu saja ia tak akan melewatkannya selama masih di Maldives.

Lamya mengiyakan tawaran Zahid, mereka berjanji pukul tiga untuk menuju ke restoran yang katanya sangat 'extravaganza' itu.

Kembali ke penginapan, Hakim masih tertidur. Hanya saja kelambu sudah tersibak, ditali sedemikian tidak rapi serta asal-asalan. Lamya juga mendapati makanan di atas meja. Mungkin Hakim tadi sudah bangun, memesan sarapan kemudian tidur lagi atau bagaimana, entahlah. Dua porsi roti yang mirip seperti ia makan semalam, tuna--lagi-lagi--, beberapa buah-buahan, serta pudding yang terlihat lezat di mata orang yang baru mentas berenang.

Tangannya terulur mengambil satu piring roti yang beberapa yang dirasa cukup, jika saja Hakim belum makan karena makanan di depannya ini seperti belum tersentuh. Lantas ia membawanya ke luar ruangan, memasukkan kakinya ke dalam kolam dan menikmati hidangan pengganjal perut.

Menuntaskan makannya, Lamya tidak tahan untuk tidak menjajal kolam di bawahnya. Meskipun kemarin ia baru saja berpikir tentang betapa persen kemaksimalan dari adanya kolam ini.

Dirinya melepas penutup kepala yang diberikan Zahid tadi, membiarkan rambut panjangnya terurai bebas di permukaan air.

Sejenak ia membayangkan bagaimana jika hari ini dia tidak di Maldives melainkan di Dubai. Ia tidak tahu apakah di Dubai terdapat wisata atau tempat khusus untuk menyelam dengan ikan pari dan kura-kura. Karena setahunya Dubai adalah tempat yang menyuguhkan glamorisasi, dengan brand-brand pakaian ternama, aksesori mahal, serta mobil-mobil yang bahkan mesinnya nyaris tak terdengar sekalipun saling menderu.

Kemudian Lamya berbalik, melihat laki-laki hidup tertidur yang telah menjadi suaminya sekarang. Tiba-tiba ia teringat bagaimana Umma bersikukuh meminta dirinya untuk menikah dengan putra bungsunya itu.

Kala itu dirinya masih menyelesaikan urusan di Amsterdam sebelum kembali lagi ke Maroko. Umma memintanya datang ke rumah lama untuk makan bersama. Seperti yang sudah-sudah terjadi, Lamya pasti dipertemukan dengan Hakim karena dirinya yakin itu adalah akal-akalan Umma semata untuk membuat keduanya semakin dekat saja.

Hakim yang kala itu tidak sedang bermain tentu saja pulang dari London ke Amsterdam untuk mengobati rindunya. Menghabiskan waktu bersama keluarga adalah kebahagiaan paling utama bagi pemuda itu, meskipun ia tak selalu rutin pulang pergi London-Amsterdam. Kadang Umma membiarkan anak bungsunya untuk menghabiskan masa mudanya sesuai keinginannya. Pergi ke Dubai, NYC, dan kota-kota borju lain yang ia senangi.

Singkatnya, Umma selalu senang mempertemukan Lamya dan Hakim. Lamya mampu merasakan energi itu lebih dominan dibanding alasan Umma mempertanyakan kabar Baba Lamya di Maroko, atau bagaimana kuliahmu meskipun sudah lulus bertahun-tahun lalu, Ngapain aja ke Amsterdam, dan lain-lain.

Ia tak akan berpikir sejauh ini hingga mendapati pemuda bungsu kesayangan Umma akan menjadi suaminya. Meski Lamya mengakui ia menaruh hati kepada pemuda itu sejak masih remaja.

Senyum simpul tercetak di wajahnya. Sejujurnya ia masih harus bertanya pada dirinya sendiri bentuk cinta seperti apa yang ia simpan untuk pemuda itu. Apakah ini cinta karena Umma yang mempertemukannya, atau cinta murni yang ia miliki. Sejauh ini Lamya belum tertarik pada pemuda manapun selain Hakim. Tapi ia tidak bisa menyangkal bahwa ada perasaan "tidak apa-apa" jika ia tak mendapatkannya, meskipun setelah bersama pemuda itu, Lamya tidak mendapatkan apa-apa dalam hal kasih sayang. Lamya tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia juga ingin dipeluk, digenggam, dicium pucuk kepalanya ketika akan tidur. Atau yang paling nyata adalah setidaknya diakui keberadaannya oleh Hakim.

Belum. Mungkin belum. Pikir Lamya dengan yakin

Hakim & LamyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang