Part 18

218 24 17
                                    

2850 kata

Lamya ... langit masih diselimuti gelap, tapi kau tahu? Ternyata matahari terbit lebih dulu di matamu.

Rasanya seperti membawa batu di kepalaku. Berat. Lagi-lagi aku harus mengernyitkan dahi ketika bahkan mataku baru terbuka sedikit saja.

Kupandangi atap-atap kamar, dari  lampu yang tak terlalu terang ini tak cukup membantuku sadar. Korden-korden putih menjulang menjamu mataku akan langit pagi yang mulai bangkit. Warnanya gelap tapi cerah, hitam tapi abu-abu? Entahlah. Sepertinya diriku ini belum sadar penuh. Pengaruh alkohol mengobrak-abrik pikiranku yang keluar dari jalur patuh.

Pelan, kualihkan pandangan. Dari atap ke korden jendela. Korden jendela turun ... kutemukan bidadari bersujud cukup lama. Aku juga tidak tahu bagaimana bidadari bisa tersesat seperti ini. Maksudku, kenapa kau harus tersesat kepadaku? Kenapa sosok sepertimu mau berkunjung dan melebur di hidupku yang hancur?

Lamya, siapa yang menuntunmu padaku? Aku tak memintamu. Umma hanya bertanya yang jawabannya bisa kau tolak atau kau terima. Lalu kau memutuskan lewat anggukan sebagai satu-satunya jawaban. Siapa yang menyuruhmu, Lamya? Tuhan kah? Dirimu sendiri kah?

Lamya, keputusan yang kau ambil memang sebuah opsi. Tapi satu pilihan yang kau kehendaki telah mengikat kita dengan kata sepakat yang suci. Di tiap-tiap kemungkinan yang membuat air matamu jatuh, jangan pernah menyalahkan bagian dari dirimu, keputusanmu, atau jiwa yang kau anggap rapuh. Itu adalah aku. Salahkan saja aku ... aku lah yang menciptakan luka dan tangis-tangismu.

Lamya, coba sibak korden putih itu hingga nampak wajah langit dari jendela. Sang surya itu belum ada tanda menampakkan diri, karena menginap di kedua matamu semalaman tadi.

Mungkin, kau pikir aku tak merasakan dingin telapak tanganmu di dahiku? Kau pikir aku tak lihat mata yang mulanya berbinar jadi redup menatapku? Kau pikir aku tak tahu seseorang penuh khawatir dan susah tidur semalaman? Aku tahu, Lamya. Aku tak hanya mabuk tapi juga setengah berpura-pura.

Sial! Tapi alkohol ini tidak bohong. Semalam kepalaku pusing, di dekapku tangan dinginmu itu bergeming. Lalu kau tarik ke dekapanmu sendiri, padahal aku masih ingin tahu apakah detak di nadimu itu betul bagian dari diriku?

Lamya, kupikir kau salah jawaban. Aku tahu kau gadis baik, dan gadis baik tidak mendapatkanku. Gadis baik berhak mendapatkan pemuda yang baik pula. Aku hanya akan melukai hati kecilmu, melukai perasaan dan mengobrak-abrik ruang khusus yang kau siapkan untukku. Begitu, kan?

Kau gadis baik yang kukenal sejak remaja. Lucu, kau dulu masih malu-malu. Sekarang sudah jadi bagian dari keluargaku. Sebenarnya, aku sudah pernah menduga keadaan kita sekarang ini. Umma memang suka seenaknya, menjodoh-jodohkan anaknya dan malah jadi nyata.

Aku berpijak pada apapun yang kupikir benar dalam hidupku, Lamya. Pada apapun yang membuatku bebas, lepas, bahagia. Tentu saja hal ini melahirkan banyak persepsi di benak kita masing-masing. Benar menurutku, adalah salah menurutmu. Dan mungkin sebaliknya. Contoh saja, pernikahan kita yang kukira keputusan buruk, ternyata tak seburuk itu.

I'm still figure out how these things could fixed. Could fix me, fix you, fix us?

Apakah kita ditakdirkan bersama? Sungguh aku benar-benar bertanya perihal ini. Jika tidak, maaf kau harus terluka karenaku. Jika iya, berarti kewajibanku bertambah satu. Mencintaimu.

🌦️✨

Selimut tebal yang menutupi Hakim tersibak pelan. Langit sudah cerah dengan sinar-sinarnya yang menyusup lewat celah jendela. Padahal ingatnya tadi langit masih gelap, entah berapa jam durasi setelah matanya kembali terpejam.

Hakim & LamyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang