Bab 30 : Pulang

3.9K 439 24
                                    

🍟🍟🍟

"Biasanya kami pergi bersama Decan." Onyx bercerita seraya mengikuti laju troli belanja yang didorong Ruby. Laki-laki itu kemudian menawarkan diri untuk mengambil alih troli. "Aku sebenarnya tidak tega. Yeah, selain Decan merepotkan, dia juga pelupa. Kadang dia berjalan memutari lorong untuk kembali ke tempat sayuran dan mengambil kubis dua kali."

"Wah kasihan dia." Ruby melirik Onyx prihatin. "Kalian pernah mengajaknya periksa kesehatan?"

"Tidak mau," jawab Onyx langsung dengan decak sebal, persis seperti penolakan Decan setiap kali hendak diajak medical check up. "Dianya tidak pernah mau. Secaralah orang tua."

"Yeah, mereka lebih percaya jika tubuh mereka bisa bertahan seratus tahun lagi." Ruby menghela napas panjang.

Decan sudah seperti orang tua bagi mereka. Tidak hanya mengurusi Onyx saja, dia juga berperan besar dalam tumbuh kembang Ruby. Sejak kecil mereka selalu merepotkan Decan dengan mainan yang berserakan, dapur seperti kapal pecah, dan sering meminta Decan melakukan hal-hal aneh seperti memanjat pohon mangga bersama. Tak ayal, keduanya memiliki kekhawatiran yang serupa.

Kesehatan Decan semakin memburuk sekarang ini. Matanya semakin rabun sampai-sampai Becky sempat menyebutnya katarak. Decan juga kerap melupakan sesuatu dengan mudah, hanya jeda beberapa jalan atau bahkan beberapa detik. Kadang dia tiba-tiba membuka kamar Onyx begitu saja dan termenung lama di ambang pintu. Ketika Onyx menanyakan ada keperluan apa, Decan tidak tahu.

"Aku tak dapat membayangkan kehidupan anak-anak tanpa adanya Decan," ucap Ruby lemah.

Onyx tahu Ruby tak bermaksud mengatakan hal sedemikian rupa, dia hanya asal bicara secara naluriah. Ruby bahkan tak nampak berpikir, wanita itu mengatakannya dengan fokus tertuju pada warna merah daging sapi.

"Tak ada maksud khusus." Ruby memasukkan daging yang ia pilih ke troli belanja. "Kita dulu juga bergantung banyak pada Decan."

Bahkan perlu diakui jika Onyx pun masih bergantung pada pengasuh yang sudah lansia itu. Selepas kepergian Emma, kebanyakan urusan domestik dipegang oleh Decan.

"Kau harus mulai membiasakan diri mengambil peran ganda." Ruby mengatakannya dengan hati-hati sambil tetap menatap intens mata gelap Onyx. "Aku tidak bisa memberi wejangan apa pun karena aku belum pernah menjadi orang tua. Tapi kalau boleh menyampaikan sesuatu, kau harus tegar menghadapi kenyataan yang ada."

Genggaman tangan Onyx mengerat pada dorongan troli. Dia mengeraskan rahang dengan bibir terkatup. "Kenyataan seperti?"

Kini Ruby meremas ujung troli dan mereka menatap satu sama lain, lekat. "Kalau kau sendirian... maksudnya kalau kau mungkin sendirian." Ruby meralat. "Emma mungkin sudah pergi, tapi itu tak berarti tanggung jawabmu sebagai suami lepas begitu saja. Kau juga perlu mengambil peran istri."

Terdengar berat bagi Onyx. Mau tak mau. "Aku tak tahu harus mulai dari mana."

"Sederhana saja. Mulai dari pulang setiap malam." Ruby mengulum senyum selagi kepala Onyx tertunduk perlahan. Tanpa aba-aba atau kesengajaan, jemari Ruby merayap begitu saja, pelan memanjati lengan Onyx hingga menyentuh bahu laki-laki itu pelan. "Jangan tidur di kantor lagi. Anak-anak mengkhawatirkanmu."

Onyx melirik sejenak tangan Ruby yang menumpuk di bahunya. Kemudian dia menoleh pada putri kembarnya yang tertawa lepas di stan buah-buahan.

"Wah, sampel gratis buah lengkeng!" Ruby berseru riang lantas berlari menuju kerumunan. Membiarkan Onyx terpaku bersama troli yang setengah penuh.

"Tante, lengkengnya gratis!" Becky melambaikan tangan, tak henti mencomoti lengkeng.

"Dulu aku dan Onyx selalu memakan sampel gratis. Pernah sekali ada sampel anggur dan stroberi." Ruby tersenyum lebar mengupas kulit lengkeng.

We Start With The End [TAMAT]Where stories live. Discover now